cahaya

cahaya

Rabu, 08 Februari 2017

Kajian Gender dan aku, sebuah refleksi pribadi



Tulisan berikut awalnya kubuat pada tahun 2015, dalam rangka mengevaluasi dan merefleksikan kiprahku di Kajian Gender, dan secara khusus keterlibatanku di pusat studi gender milik Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, tempat aku bekerja. Lewat refleksi tersebut, aku mulai lebih menyadari betapa rumitnya hubungan diriku, dengan segala kompleksitas identitasku, dengan bidang studi Kajian Gender yang kini, pada akhirnya, makin aktif kugeluti. 


Pada tahun 2005, saat aku mulai mengajar di Sadhar dan Anjani (Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni) secara informal didirikan (dengan acara pertama berupa workshop “Tubuh Ini Milik Siapa?” bulan April 2005), pengetahuanku mengenai Kajian Gender masih sangat terbatas. Selain tidak pernah secara formal mempelajari Kajian Gender semasa kuliah sampai tingkat S3 di Jerman, keresahan seputar masalah gender tidak memainkan peran yang sangat besar dalam kehidupan pribadiku sampai saat itu. Aku tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku feminis. Aku pun tidak merasa memiliki pengalaman-pengalaman pahit yang membuatku dendam pada kaum laki-laki, dan jarang merasa dinomorduakan atau ditindas atas dasar genderku. Dengan latar belakang seperti itu, aku menyambut baik usul rekan-rekan di kampus untuk mendirikan pusat studi perempuan, namun tanpa adanya motivasi atau dorongan kuat yang berakar pada keresahan atau kepedulian pribadi. Apakah keperempuananku menjadi masalah? Adakah sesuatu yang perlu dibongkar atau direnungkan pada identitas genderku? Entah – pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang kupikirkan.
            Meskipun demikian, dalam keseharianku bukan tidak pernah ada masalah atau kegelisahan berkaitan dengan identitasku, atau konkritnya, dengan persepsi diri dan persepsi orang lain terhadap siapa diriku, dan posisi diriku di tengah lingkungan sosialku. Namun identitas tersebut umumnya bersifat lebih kompleks daripada sekadar identitas gender. Aku hampir tidak pernah secara terisolasi mengalami diri sebagai perempuan, namun yang cukup sering menjadi persoalan dalam kehidupan sehari-hari adalah identitasku sebagai perempuan bule. Dengan kata lain, aku jarang mempersepsi diri (dan merasa dipersepsi) sebagai bagian dari “kaum perempuan” berhadapan dengan “kaum laki-laki” secara umum, tapi aku cenderung secara lebih spesifik mengalami diri sebagai perempuan kulit putih di tengah masyarakat Indonesia. Seringkali dalam interaksi sehari-hari, aku merasa dibedakan dari perempuan lokal, atau bahkan diperhadapkan dengannya. Sebagai perempuan bule, aku cenderung dipandang “lebih bebas”, “lebih terbuka”, atau “lebih teremansipasi” daripada perempuan Indonesia, atau, dalam versi yang lebih negatif dan menyakitkan, dipandang sebagai objek seks yang mudah didekati, dengan asumsi bahwa perempuan bule tidak bermoral sehingga “bisa diajak”. Namun kejengkelan dan ketidaknyamanan terhadap asumsi-asumsi semacam itu baru bisa kuekspresikan seadanya pada saat itu. Aku belum memiliki bahasa dan pendekatan yang tepat untuk membicarakan pengalamanku.

            Aku gelisah bukan sekadar karena jengkel akan pandangan stereotipikal terhadap perempuan kulit putih yang seringkan tidak mengenakkan itu. Meski pada mulanya belum dapat mengartikulasikannya dengan jelas, kurasakan betapa ada persoalan yang lebih mendasar di balik stereotipe-stereotipe itu, dan bahwa permasalahan tersebut memiliki kaitan dengan relasi kekuasaan global dan pascakolonialitas. Sering kuamati atau kualami betapa prilaku atau nilai (yang dipersepsi sebagai) “khas Barat” dicitrakan sebagai “lebih maju”. Kaumku – perempuan Barat – konon punya ruang gerak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh adat dan aturan agama, bebas dalam hal seksualitas, berpakaian lebih terbuka dan merdeka, bebas berkarir tanpa perlu memikirkan keluarga, dan segudang “keistimewaan” lainnya. Pemosisian tersebut membuatku merasa tidak nyaman. Benarkah kami – perempuan Barat – demikian bebas dan bahagia? Berdasarkan pengalaman hidupku, aku kurang bisa membenarkannya. Di samping itu, mengapa nilai-nilai yang terdefinisikan sebagai “Barat” dipandang lebih “maju”? Lebih mulia dan teremansipasikah seorang perempuan bila dia berpakaian “terbuka” dan berganti-ganti pasangan seks? Dan kata siapa nilai-nilai “Barat” sudah pasti lebih baik daripada apa yang bisa ditawarkan oleh adat lokal atau ajaran agama? Kehadiranku di Indonesia tidak pernah dilatarbelakangi asumsi akan keunggulan budayaku sendiri, yang ingin kutularkan pada “saudara-saudaraku yang kurang beruntung” di “Dunia Ketiga”. Justru sebaliknya: sudah lama - minimal sejak usia remaja – aku kerapkali kurang puas akan apa yang bisa ditawarkan oleh budayaku sendiri.

          Ada beberapa adegan dari workshop “Tubuh Ini Milik Siapa?” tahun 2005 yang terekam dalam ingatanku, dan adegan itu dengan cukup jelas mewakili keresahanku. Workshop itu menghadirkan tiga orang perempuan Jepang, dua di antaranya seniman (performance dan komik), dan yang ketiga pemilik sebuah sexshop khusus perempuan. Dalam sesi diskusi, pemilik sexshop tersebut menjadi salah satu pembicara, dan sebagai ilustrasi atas presentasinya, dia membawa berbagai jenis produk sebagai contoh, terutama berupa dildo dan vibrator. Produk itu diedarkan, sehingga peserta bisa melihat-lihatnya sambil mendengarkan penjelasan pembicara mengenai gagasan di belakang sexshop khusus perempuan yang dikelolanya itu. (Kalau tidak salah ingat, gagasan tentang perlunya sexshop khusus perempuan berangkat dari pengalaman perempuan yang merasa tidak nyaman dan tidak leluasa saat berbelanja di sexshop umum yang banyak dikunjungi laki-laki.) Peserta workshop mayoritas mahasiswi yang masih relatif muda, banyak di antaranya dari universitas lain, mungkin UNY atau UIN. Terlihat dengan cukup jelas bahwa benda-benda yang diedarkan tersebut merupakan barang baru bagi mereka. Benda itu, beserta pemaparan tentang sexshop, dengan sendirinya menggiring diskusi pada topik masturbasi. Norma agama pun mulai dipersoalkan oleh beberapa peserta, khususnya dalam konteks agama Islam (di antara peserta banyak yang menggunakan jilbab, menandakan bahwa mereka sendiri Muslim). Apakah masturbasi itu terlarang dalam Islam, dan bagaimana larangan itu mesti disikapi? Beberapa peserta dengan cukup lantang memprotes norma agama berkaitan dengan masturbasi. Mendengarkan protes lantang itu, aku makin lama makin kurang nyaman, sehingga akhirnya merasa perlu berintervensi. Kutekankan betapa apa pun pendapat pribadi masing-masing, pilihan untuk tunduk pada norma agama perlu dihormati. Kata siapa bahwa perempuan yang bebas melakukan masturbasi adalah manusia lebih “maju” daripada perempuan yang menahan diri dalam hal itu atas dasar keyakinan bahwa masturbasi itu dosa?

            Aku mengingat adegan itu antara lain disebabkan oleh keganjilannya. Di saat perempuan-perempuan berjilbab itu mengungkapkan gugatan terhadap norma agama mereka sendiri, mengapa aku yang bukan Muslim (bahkan tidak memiliki agama saat itu) justru merasa perlu membela pilihan hidup yang diambil atas dasar ketaatan beragama? Yang mendasari tindakanku tersebut terutama satu hal: aku merasa sangat tidak nyaman dengan situasi dimana di antara perempuan yang beragam dengan pilihan hidup masing-masing, ada yang dianggap “lebih benar”, dalam arti lebih bebas, maju, dan teremansipasi, dan ada yang dicap “salah”, dalam arti tertindas dan kolot. Siapa yang berhak membuat penilaian seperti itu, atas dasar apa? Lebih jauh lagi, aku merasakan betapa penilaian seperti itu seringkali dibuat seakan-akan atas namaku, yaitu dengan merujuk pada nilai-nilai budayaku (yang konon lebih maju dan teremansipasi). Meskipun tidak mampu kuekspresikan seeksplitit ini pada momen tersebut, tampaknya ketidaknyamanan akan posisi yang diberikan padaku itulah yang menggerakkanku untuk berintervensi pada saat itu. Sebagai wakil lembaga yang mengadakan workshop itu, aku merasa bertanggung jawab akan pesan yang tersampaikan. Rasanya tidak rela kalau sebagian peserta workshop pulang dengan membawa kesimpulan bahwa nilai yang mereka yakini selama ini ternyata bersifat kolot dan seksis, atau bahwa diri mereka tertindas dan tidak maju. Dan  terutama sekali, kalau pesan seperti itu tersampaikan oleh lembaga yang dikelola oleh seorang perempuan Barat (yaitu diriku), bukankah akan kelewat sejalan dengan wacana dominan yang memang memposisikan perempuan Barat di atas perempuan “Dunia Ketiga”? Aku sangat tidak ingin mengambil bagian dalam wacana semacam itu.

            Masih ada adegan lain yang kuingat dari workshop yang sama. Adegan tersebut tidak membawa keresahan serupa, justru sebaliknya, terasa wajar-wajar saja. Dalam diskusi yang sama dengan perempuan Jepang yang berbicara tentang sexshopnya, sambil lalu pembicara tersebut menyebut tampon sebagai salah satu produk yang dijual di tokonya. Spontan di saat itu aku menginterupsi pembahasannya dan meminta waktu sebentar, sekaligus meminjam tampon yang dibawanya sebagai contoh. Aku mengangkat tampon itu sambil memberi penjelasan singkat tentang kegunaannya, yaitu bahwa fungsi tampon serupa dengan pembalut, tapi tampon dikenakan dengan cara memasukkannya ke dalam vagina. Setelah itu dengan suara rendah aku menjelaskan pada pembicara bahwa di Indonesia tampon jarang digunakan, sehingga kemungkinan besar sebagian peserta belum tahu tampon itu apa. Pembicara mengucapkan terima kasih, sebab tanpa intervensiku itu, dia tidak akan menyadari hal itu. Dia berasumsi bahwa perempuan Indonesia terbiasa memakai tampon, sama seperti perempuan Jepang.

            Dalam ingatanku, adegan tersebut terekam sebagai detail yang menyenangkan, sebab di situ kekhasan identitasku menjadi kelebihan yang membawa manfaat bagi orang di sekitarku. Komunikasi seputar tampon hampir gagal karena pembicara tidak tahu bahwa tampon tidak umum digunakan di Indonesia. Dengan latar belakangku yang bersifat lintas budaya, aku mengenal tampon, sekaligus juga mengenal kondisi di Indonesia. Maka dengan mudah aku bisa menfasilitasi komunikasi yang terhambat itu. Namun kali itu, hal itu terjadi tanpa kurasakan kerumitan ketimpangan relasi kekuasaan. Tampon tidak dicitrakan lebih baik atau lebih maju daripada pembalut pada momen itu. Maka aku pun nyaman-nyaman saja dalam posisiku sebagai pemberi penjelasan: Aku sekadar sedang berbagi informasi yang kebetulan kumiliki, bukan sedang memberi “penyuluhan”.

            Pada dasarnya, keresahan terkait dengan kerumitan posisiku tersebut berlanjut sampai saat ini. Rasa kurang nyaman dengan posisiku sebagai perempuan kulit putih yang tak jarang diuntungkan dalam hal tertentu, diasumsikan mewakili nilai budaya tertentu, atau bahkan diharapkan membawa pencerahan atau menjadi penolong bagi perempuan non-Barat, cukup mempengaruhi pilihan-pilihan hidupku, baik di ranah pribadi maupun akademis. Khususnya berkaitan dengan kiprahku di dunia penulisan, hal itu sempat semakin kusadari dan kuekspresikan dengan lebih eksplisit dalam kasus perdebatan seputar Ayu Utami dan karyanya (lihat terutama eseiku “Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas” dalam bukuku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, 2013). Kritikku terhadap karya Ayu, terutama representasi seksualitas dalam karyanya, berawal dari kegelisahan yang kira-kira sehaluan dengan yang kudeskripsikan dalam adegan pertama di workshop di atas, namun lebih kukembangkan. Kemudian berdasarkan reaksi orang terhadap tulisanku, baik di Indonesia maupun di Jerman, aku makin sadar betapa “aneh”nya pemosisian diriku di mata sebagian orang. Sebagai perempuan Barat, aku diharapkan mendukung usaha Ayu Utami untuk “membebaskan” perempuan dari tabu dan larangan berkaitan dengan seksualitas, bukan malah mengkritiknya. Namun di sisi lain, cukup banyak reaksi positif yang sampai kepadaku, terutama dari teman-teman perempuan Indonesia. Mereka senang dengan kritikku, dan merasa keresahannya terwakili.

            Jadi di satu sisi aku menolak relasi kekuasaan yang seakan-akan mengarahkanku untuk menggurui perempuan lain, atau berbicara atas nama mereka. Namun di sisi lain, ternyata suaraku kadang-kadang mampu menjadi wakil keresahan perempuan lain, dalam arti memberi bentuk pada sesuatu yang tadinya sulit diekspresikan mereka. Aku rasa, hal itu pun sebetulnya terkait dengan keistimewaan posisiku, antara lain aksesku terhadap tulisan-tulisan teori (terutama feminisme pascakolonial), pendidikan yang kuperoleh dengan relatif lebih mudah (sebagai perempuan Eropa kelas menengah), dan keakrabanku dengan lebih dari satu budaya. Dengan kata lain, posisiku yang agak istimewa ini memiliki dua potensi yang berlawanan: pertama, potensi menjadi “wakil budaya Barat” yang bersikap menggurui yang merasa dirinya lebih maju; kedua, potensi untuk memudahkan akses terhadap wacana kritis bagi orang/perempuan lain (terutama non-Barat).

            Di tengah keseharianku, misalnya saat mengajar atau saat menulis, aku kerapkali terombang-ambing antara kedua posisi itu. Apakah aku sedang menyediakan akses terhadap wacana yang dibutuhkan (misalnya oleh mahasiswaku), atau aku sedang bersikap sebagai orang Barat yang memaksakan perspektifnya sendiri dan sok lebih memahami segala sesuatu? Kedua hal itu tidak selalu mudah dibedakan satu sama lain.

            Sepuluh tahun telah berlalu sejak workshop yang kuceritakan di atas. Dalam waktu yang cukup lama tersebut, kerumitan posisiku menjadi semakin nyata bagiku, dan aku semakin menemukan medium dan perspektif yang tepat untuk mengungkapkannya. Justru perspektif tersebut, yaitu terutama feminisme pascakolonial, sekaligus merupakan modal yang bisa kutawarkan pada orang di sekitarku. Meskipun demikian, sampai saat ini aku tetap berjuang untuk secara lebih spesifik memahami posisiku sendiri, dan menempatkan diri di tengah lingkunganku. Hal itu terjadi lebih-lebih karena sejak kira-kira 4 tahun lalu, posisiku diperumit sekali lagi setelah aku menjadi Muslim. Sejauh mana itu mengubah posisiku di tengah relasi kekuasaan global? Dan apa implikasinya dalam keseharianku? Pertanyaan itu, bersama sekian pertanyaan lain seputar posisi diriku yang kompleks dan unik, menjadi tantangan (dalam arti positif) dan penggerak dalam pekerjaan dan pencarian akademisku.