cahaya

cahaya

Kamis, 18 Januari 2018

Telembuk: kisah sebuah pemerkosaan


Judul novel Kedung Darma Romansha yang terbit tahun lalu (2017) ini mungkin terkesan provokatif, lebih-lebih bagi orang yang akrab dengan bahasa lokal yang digunakan: Telembuk: dangdut dan kisah cinta yang keparat. Mengapa topik semacam itu dipilih untuk sebuah karya sastra? Apa perlunya dunia para pekerja seks, penyanyi dangdut, serta klien dan penggemar mereka, digambarkan dalam sebuah novel sepanjang 410 halaman? Dan apa tujuannya? Apakah untuk mengajak kita mengecam prilaku amoral mereka? Atau sebaliknya, untuk mendobrak nilai-nilai moral, seperti yang dilakukan dalam beberapa karya sastra yang sempat dihebohkan di ibu kota, seperti novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, atau cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu? Saya di sini akan berargumentasi bahwa kedua-duanya bukan tujuan novel Telembuk. Novel Telembuk menawarkan sesuatu yang berbeda, yang justru menjadi alternatif menarik di tengah kecenderungan-kecenderungan dominan dalam sastra Indonesia kontemporer berkaitan dengan representasi seksualitas.

Dua trend yang saling berhadapan: fiksi “pembebasan seksual” dan fiksi dakwah
Seksualitas dan agama (Islam) merupakan dua “trending topics” utama di dunia fiksi1 Indonesia dalam beberapa dekade ini, khususnya sejak masa reformasi. Yang saya maksudkan dengan istilah “trending topics” bukanlah bahwa jumlah karya dengan kedua topik tersebut sangat dominan. Saya tidak melakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap karya yang terbit di era yang dimaksudkan, juga belum pernah menemukan data statistik berkaitan dengan persoalan tersebut. Dengan istilah “trending topics” saya merujuk pada wacana dominan: kedua topik itu hangat dibicarakan, diperdebatkan, juga dirayakan. Karya dengan topik lain terbit dalam jumlah yang tidak kecil, namun tidak disambut dengan pembahasan yang seantusias itu, sehingga cenderung tidak memasuki wacana publik di luar kalangan sastrawan dan pemerhati sastra secara khusus.

Kedua trend tersebut cenderung saling berhadapan, dalam arti bahwa kedua-duanya bersifat sangat moralis, namun pesan moral yang disampaikan bertentangan satu sama lain. Fiksi dengan pesan “pembebasan seksual” mulai bermunculan pada akhir tahun 90an, dengan novel Saman karya Ayu Utami sebagai momen awal. Saya telah menganalisis trend tersebut secara kritis dari berbagai perspektif dalam beberapa tahun belakangan ini.2 Analisis tersebut tidak perlu saya paparkan ulang di sini. Secara singkat dapat diutarakan bahwa karya-karya tersebut merepresentasikan norma seksual yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia sebagai kelewat tertutup dan kolot, dan membawa pesan yang mengarah pada pendobrakan terhadap berbagai macam tabu seksual. Gaya hidup yang “lebih bebas” tersebut direpresentasikan sebagai lebih maju dan membahagiakan.

Kalau pesan moral mengenai “pembebasan seksual” tersebut umumnya tersampaikan secara implisit sehingga mayoritas pembaca tidak mempersepsi karya-karya tersebut sebagai moralis, kasusnya sangat berbeda dengan trend kedua, yaitu trend fiksi islami. Karya-karya yang tergolong fiksi islami ini secara eksplisit diposisikan sebagai alat dakwah, dan dengan demikian pesan moral dikemukakan secara terbuka. Pesan yang dibawa tersebut seringkali bertentangan secara langsung dengan karya “pembebasan seksual” (dan mungkin memang dimaksudkan antara lain sebagai respon terhadap jenis karya tersebut). Gaya hidup yang dianjurkan lewat fiksi islami adalah gaya hidup yang didasarkan pada tuntunan agama, termasuk dalam hal norma seksual.

Dalam kaitan dengan gaya hidup tersebut, saya menilai bahwa fiksi populer yang berlabel “islami” semacam itu dapat dipahami sebagai bagian dari politik identitas Islam yang menguat sejak berakhirnya Orde Baru. Politik identitas tersebut ditandai oleh membludaknya berbagai produk khusus yang dapat dikonsumsi dalam rangka mengekspresikan identitas Islam. Buku populer menjadi bagian dari kecenderungan tersebut, dengan fiksi islami sebagai salah satu genrenya. Dalam konteks itu, fiksi islami menjadi produk yang konsumsinya berstatus sebagai bagian dari politik Islam (orang mengekspresikan keislamannya dengan cara membeli dan membaca buku semacam itu), dan sekaligus, lewat isinya dan cover bukunya, menjadi afirmasi terhadap berbagai bentuk gaya hidup “islami” yang lain, misalnya lewat plot yang menekankan pentingnya ekspresi keislaman yang bersifat publik, seperti busana, sholat berjamaah, dan sebagainya.

Menurut hemat saya, apa yang dapat ditawarkan lewat politik identitas semacam itu cenderung sangat terbatas, dan agak bermasalah. Umumnya fiksi islami mengandung pesan-pesan moral yang sangat kuat dan relatif disederhanakan. Dengan demikian, penggambaran menjadi hitam-putih, dan kompleksitas kehidupan manusia tidak terepresentasikan secara utuh.

Mencari alternatif, meninggalkan moralisme
Kecenderungan-kecenderungan yang secara singkat saya bahas di atas, terutama sekali trend wacana “pembebasan seksual”, sudah cukup sering saya kritik dari berbagai perspektif. Pada saat ini, yang ingin saya lakukan bukanlah melanjutkan pembahasan kritis tersebut. Sebaliknya, saya memilih untuk mencari karya yang membawa perspektif berbeda daripada yang umumnya kita temukan dalam novel atau cerpen jenis mainstream, baik jenis “pembebasan seksual”, maupun fiksi islami. Di antara karya yang saya anggap potensial dan relevan dipandang sebagai alternatif, Telembuk karya Kedung Darma Romansha merupakan salah satu yang paling menarik. Novel ini membawa kita ke dunia pedesaan di pulau Jawa, khususnya daerah Indramayu. Tokoh-tokohnya mayoritas orang-orang sederhana, misalnya buruh, petani, atau pedagang, dengan catatan bahwa sebagian bekerja di dunia hiburan (dangdut) dan di dunia prostitusi. Kalau diposisikan di tengah sastra Indonesia secara lebih luas, pilihan tokoh semacam itu sangatlah menarik, khususnya terkait representasi seksualitas. Tokoh-tokoh “pendobrak tabu seksual” dalam jenis fiksi “pemberbasan seksual” yang saya bicarakan di atas, umumnya digambarkan sebagai bagian dari kelas menengah yang hidup di kota besar. Trend budaya populer islami pun cenderung lebih berpengaruh di perkotaan, di khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah yang mampu berpolitik identitas lewat konsumsi produk-produk berlabel islami. Saat kita meninggalkan setting metropolitan dan kelas menengah tersebut, representasi seksualitas (dan representasi agama) menjadi seperti apa?

Novel Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat karya Kedung Darma Romansha (2017) memiliki tokoh yang sangat beragam. Tokoh utamanya, Safitri, adalah seorang penyanyi dangdut dan pekerja seks. Kisahnya diceritakan dari sekian perspektif, dengan melibatkan orang-orang yang mengenalnya. Kisah mereka masing-masing penuh kompleksitas, kerapkali juga penuh misteri (dalam arti bahwa mereka menyimpan rahasia atau menyembunyikan aib, yang tidak selalu berhasil digali oleh sang pencerita dalam novel tersebut). Yang mana pahlawannya, dan yang mana penjahatnya? Sulit sekali ditentukan. Kalau kita mencari sebuah pesan moral yang mudah ditangkap dalam novel itu, kita akan kecewa. Seksualitas terus-menerus dibicarakan, dan kata-kata yang relatif vulgar dan eksplisit bertebaran dalam obrolan para tokohnya. Namun konteksnya bukanlah sebuah “pembebasan” atau pendobrakan tabu. Kevulgaran tersebut tidak terhindarkan demi sebuah penggambaran realistis atas lingkungan pergaulan yang dijadikan fokus dalam novel tersebut. Pembaca diajak memasuki sebuah dunia yang meriah dan gembira, sekaligus kasar dan kejam. Kenikmatan dan penderitaan saling berdampingan, begitu juga eksploitasi dan kesetiakawanan.

Di tengah lingkungan itu, apalah agama masih memiliki peran? Dalam novel Telembuk, kita tidak menemukan dikotomi yang jelas dan sederhana antara manusia taat dan manusia yang ingkar. Meskipun norma agama kerapkali dilanggar oleh sebagian besar tokohnya, dan bahkan dosa-dosa yang tidak ringan seperti berzinah dan minum alkohol sangat umum dilakukan, agama tetap berperan dalam kehidupan mereka. Agama menjadi salah satu unsur keseharian yang dengan sendirinya selalu hadir di lingkungan pedesaan Jawa yang menjadi tempat berlangsungnya kisah novel ini, dan membentuk tokoh-tokohnya sejak kecil. Di samping itu, penggambaran yang disajikan cenderung mementahkan segala usaha kita (sebagai pembaca) untuk mengambil kesimpulan mengenai baik-buruknya tokoh yang kita hadapi. Ibadah bisa saja hanya berfungsi untuk pencitraan, pendakwah bisa berubah menjadi pemabuk, dan laki-laki jahat yang mengaku sebagai biang keladi segala penderitaan tokoh utama, mendadak menyesali diri dan bertanya-tanya tentang Tuhan.

Pemerkosaan sebagai topik langka dalam sastra Indonesia
Di tengah kemunculan seksualitas sebagai trending topic seperti yang saya bahas di atas, apakah kita menemukan perhatian khusus terhadap masalah kekerasan seksual? Sejauh yang saya amati, topik itu sama sekali tidak menjadi fokus perhatian, meskipun terkadang dimunculkan dalam karya. Misalnya, salah satu cerpen karya Djenar Maesa Ayu yang cukup mendapat perhatian adalah cerpen “Menyusu Ayah” (kumcer Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), 2004). Cerpen tersebut berkisah tentang seks oral antara seorang ayah dan anak perempuannya yang masih kecil, dimana sang anak meminum sperma dari penis ayahnya selayaknya anak menyusu pada ibunya. Bagi saya, cerpen tersebut cukup ganjil, sebab tidak ada ketegasan sama sekali dalam penilaian terhadap peristiwa tersebut. Bukankah prilaku seorang ayah semacam itu merupakan kekerasan seksual yang sangat mencolok? Namun tampaknya yang menjadi fokus utama dalam cerpen itu, sejalan dengan karya Djenar lainnya, bukanlah unsur kejahatan dan trauma seksual, tapi unsur keterbukaan dan pendobrakan tabu. Cerpen-cerpen Djenar merayakan kebebasan untuk membicarakan seksualitas dalam berbagai bentuk di ranah publik (lewat karya sastra). Status pengalaman seksual yang digambarkan – apakah sukarela atau dipaksa, traumatis atau menyenangkan – seakan-akan menjadi sekunder.

Keadaan yang sangat berbeda berlaku untuk karya Kedung Darma Romansha. Salah satu jenis kekerasan seksual yang paling ekstrim, yaitu pemerkosaan, dialami oleh tokoh utama. Dan dalam novel Telembuk, pemerkosaan bahkan menjadi titik awal keseluruhan kisah perjuangan dan penderitaan tokoh utamanya, Safitri. Safitri diperkosa, dan kemudian hamil akibat pemerkosaan itu, di usia yang masih remaja. Karena stres, trauma, dan tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya dalam keadaan tersebut, Safitri minggat dari rumah, lalu akhirnya menjadi pekerja seks (telembuk, dalam bahasa lokal) dan penyanyi dangdut.

Alur cerita novel Telembuk secara keseluruhan berkaitan erat dengan topik pemerkosaan tersebut. Pencerita (narator), yang merupakan teman sekampung Safitri, berkisah penuh lompatan-lompatan antara masa kini dan masa lalu, sambil berusaha menelusuri, tepatnya apa yang terjadi pada Safitri. Siapa yang menghamilinya? Benarkah yang terjadi adalah pemerkosaan, ataukah kehamilan itu merupakan hasil pergaulannya dengan Mukimin, pemuda yang menjadi kekasihnya di saat itu? Kalau memang ada sebuah pemerkosaan, maka siapa pelakunya, dan tepatnya bagaimana kejadiannya? Agak mirip seperti dalam sebuah novel kriminal, pembaca diajak berkenalan dengan sekian tokoh dan menyimak sekian informasi, yang semuanya mungkin saja relevan dalam menjawab teka-teki seputar peristiwa pemerkosaan Safitri, tapi mungkin juga tidak berkaitan. Hanya saja, berbeda dengan novel kriminal yang sesungguhnya, Telembuk tidak memberi jawaban. Di akhir novel, kita tetap tidak memperoleh kepastian mengenai duduk perkara pemerkosaan itu. Safitri akhirnya bercerita tentang apa yang dialaminya pada malam kejadian, yang oleh Safitri kerapkali disebut sebagai “malam keparat”, namun disebabkan oleh traumanya, ingatan Safitri buram dan bolong-bolong:

“Aku mencoba mengingat siapa laki-laki itu.
‘Tidak! Bukan dia orangnya. Tidak mungkin!’
Aku berusaha lari dari kejaran sesosok wajah gelap yang selama ini mengintaiku. Aku tutup wajahku rapat-rapat. Aku coba mengingat-ingat tapi tak bisa. Malam itu aku seperti dibius.
Dengan gusar aku coba memberontak. Tanganku terus bergerak-gerak dengan berat, berusaha meraih benda entah apa di kanan-kiriku. Tapi tak bisa. Dengan cepat tangan si lelaki mulai mencengkeram kedua tanganku. Napas lelaki itu bagai anjing yang lapar. Bau debu basah, keringat, parfum murahan, tahi tikus, menguar di kamar itu. Selangkanganku sakit, tubuhku ngilu, dan napasku sesak. Aku terus menangis sambil menahan sakit.” (Telembuk, hlm. 379-380).

Demikian sepotong kisah Safitri mengenai kejadian tersebut. Sekian detail kecil mengenai keadaan di kamar tersebut terekam dalam ingatannya, namun karena kengerian yang amat sangat, sosok atau wajah pelakunya tidak mampu diingatnya. Dengan demikian, trauma korban membentuk alur cerita secara sangat substansial. Karena Safitri tidak bisa atau tidak mau mengingat pelakunya, maka teka-teki yang dibawa sepanjang novel, pada akhirnya tidak terjawab. Di samping itu, tidak terjawabnya teka-teki tersebut juga dapat kita kaitkan dengan kenyataan bahwa kasus pemerkosaan tersebut sama sekali tidak ditangani oleh yang berwenang. Tidak ada laporan ke polisi, ataupun sidang pengadilan. Bahkan, gagasan bahwa peristiwa itu merupakan sebuah tindakan kriminal yang seharusnya dilaporkan, sekalipun tidak muncul. Yang tertarik untuk memikirkan dan mengusutnya hanyalah sang pencerita, seorang penulis muda yang tidak memiliki otoritas apapun dalam hal itu.

Pemerkosaan hadir sebagai momen yang sangat mengerikan dan traumatis dalam novel Telembuk. Namun dalam konteks lingkungan pedesaan dimana kisah tersebut berlangsung, kengerian tersebut hanya disimpan sendiri oleh korban atau orang-orang terdekatnya. Selain tidak ada penyelesaian secara hukum, juga tidak ada pengakuan terhadap penderitaan korban di tengah masyarakatnya, atau pendampingan apa pun untuk meringankan trauma, misalnya secara agama atau secara medis/psikologis. Pemerkosaan seakan-akan bersifat sangat mengerikan pada satu sisi, tapi sekaligus sangat sehari-hari pada sisi lain. Pemerkosaan hanyalah salah satu dari sekian musibah yang biasa menimpa perempuan-perempuan di lingkungan yang digambarkan, yang kemudian dihadapi secara pribadi tanpa diekspos secara lebih luas dan ditangani secara lebih serius, seperti yang mungkin akan terjadi dalam kasus serupa di lingkungan kelas menengah perkotaan.

Meskipun tidak semua tokoh digambarkan sebagai Muslim taat, bahkan sebagian besar sangat jauh dari ketaatan, bukan berarti bahwa agama tidak memiliki peran dalam kehidupan mereka. Dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, tetaplah nilai agama yang menjadi rujukan. Demikian pun dengan persoalan pemerkosaan. Dalam salah satu adegan yang cukup menarik, dikisahkan betapa salah satu tokoh, seorang laki-laki bernama Sondak, mengakui keterlibatannya dalam musibah yang menimpa Safitri (meskipun tampaknya bukan dia sendiri yang melakukan pemerkosaan terhadap Safitri). Pengakuan tersebut terjadi dalam sebuah dialog antara dirinya dengan Abah Somad, kemit masjid setempat yang mungkin bisa diklasifikasi sebagai “tokoh sufi”nya novel tersebut. Sondak menangis di hadapan Abah Somad, menyesali dosa-dosanya. Kemudian terjadi percakapan seperti berikut antara kedua laki-laki tersebut:

“Alloh Maha Pengampun, Dak. Kalau kamu memang sungguh-sungguh bertobat.”
“Lalu bagaimana tentang orang-orang yang aku sakiti, Bah?”
“Takdir itu bukan wilayah manusia, Dak. Wilayah manusia hanya di nasib.”
“Kenapa Alloh sepengampun itu ya, Bah? Tidak masuk akal menurutku.”
Abah Somad tertawa, lalu ia berkata, “Dak…, Dak…, jangan kamu pikirkan itu. Kayak Tuhan saja.” (Telembuk, hlm. 358)

Berkat eksperimen gaya penceritaan yang dilakukan oleh Kedung Darma Romansha dalam novelnya tersebut, adegan tersebut kemudian tertandingi. Di beberapa bagian novel tersebut, tokoh-tokoh cerita mendadak muncul, berhadapan langsung dengan penceritanya, dan berdialog mengenai kisah yang sudah diceritakan. Alasan kemunculan mereka adalah karena mereka berkeberatan terhadap unsur cerita tertentu. Demikian pun Safitri sendiri yang lantang mengutarakan protes berkaitan dengan adegan di atas:
“Begini, An, kenapa Sondak dosanya diampuni?! Padahal dia sangat keji perlakuannya padaku. […] Enak sekali tiba-tiba bertobat, terus diampuni. Sementara aku ke mana-mana menderita, jadi telembuk, dihina, mau dibunuh, itu semua gara-gara dia awalnya. Nah, sekarang dia seenaknya saja diampuni seluruh dosa-dosanya. Apa-apaan itu?” (Telembuk, hlm. 371)
Apa yang diutarakan dengan agak jenaka lewat eksperimen gaya tulis ini, tentu pada dasarnya sama sekali bukan persoalan sederhana. Masalah agama yang pelik seputar keadilan dan pengampunan dilontarkan lewat kedua adegan tersebut. Allah Maha Adil dan Maha Pengampun sekaligus – bagaimanakah kedua sifatNya itu dapat dipahami secara bersamaan? Tampaknya, perspektif seorang korban pemerkosaan dengan perspektif pelakunya (dalam arti: biang keladinya) tidak tersatukan dalam permasalahan pelik semacam itu.

Pelanggaran norma: buat apa dibicarakan?
Masyarakat pedesaan yang digambarkan dalam novel Telembuk bersifat cukup agamis, dalam arti bahwa kegiatan agama memainkan peran yang tidak kecil dalam kehidupan bersama. Sebagian penduduk, termasuk beberapa di antara tokoh yang berperan penting di novel itu, belajar di pondok pesantren selama beberapa tahun. Namun bersamaan dengan itu, pelanggaran norma sangat umum dan lazim dilakukan dalam keseharian. Sebagian laki-laki digambarkan gemar berkumpul sambil minum-minum, tidak jarang sampai mabuk. Hubungan seks di luar nikah, juga nelembuk alias menggunakan jasa pekerja seks, pun umum dilakukan. (Bahkan, disebutkan bahwa sebagian istri yang sedang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran, sengaja menyediakan anggaran buat nelembuk sebagai bagian dari kiriman bulanannya, dengan harapan agar dengan demikian sang suami terpuaskan, dan tidak tergoda untuk menjalin hubungan permanen dengan perempuan lain.)

Fokus utama dalam novel Telembuk adalah deskripsi mendetail terhadap lingkungan sosial yang digambarkannya, dengan tujuan untuk memahaminya, bukan untuk menghakimi ataupun merayakannya. Pelanggaran norma digambarkan di tengah kompleksitas kondisi hidup, dimana segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan, tapi juga bukan dengan penyebab yang dapat diidentifikasi secara sangat sederhana. Di antara faktor yang digambarkan sebagai pendorong bagi tokoh yang secara substansial dan sengaja melanggar norma, ada kesulitan ekonomi, masalah keluarga, kekecewaan dalam relasi cinta, dan pengalaman traumatis. Namun identifikasi terhadap faktor tersebut tetap direpresentasikan sebagai hal yang sangat subjektif, yang sulit diverifikasi ketepatannya. Misalnya, sambil lalu tokoh Aan (selaku narator) memunculkan pertanyaan mengenai kehidupan salah satu tokoh perempuan, Wartiah (tokoh yang tidak memainkan peran penting dalam novel tersebut): mengapa Wartiah menjadi telembuk? Menurut pendapat salah satu teman mereka yang bernama Keriting, “desakan ekonomi yang membuatnya seperti itu” - “alasan yang klise” menurut Aan, dan di samping itu, keluarga Wartiah tidaklah miskin. Menurut analisisnya sendiri, Wartiah kecewa setelah menyaksikan suaminya berselingkuh, kemudian setelah bercerai dari suami tersebut, dia akhirnya memilih menjadi pekerja seks.3 Karena ingin lebih memahami persoalan tersebut, Aan akhirnya menemui Wartiah:

“‘Sudah kerjanya enak, dapat duit lagi,’ ujar Wartiah sambil tertawa kecil. Aku sendiri tidak tahu apakah waktu itu dia berkata jujur atau tidak. Tapi aku lihat di raut wajahnya tidak tampak ada beban.” (Telembuk, hlm. 261)
Terekspresikan dengan jelas lewat kasus Wartiah ini betapa sulitnya menilai kehidupan manusia. Aan dan Keriting masing-masing punya analisis terhadap kesulitan hidupnya, sedangkan Wartiah sendiri seakan-akan menjalani pekerjaan yang bertentangan dengan nilai agama tersebut dengan enteng dan tanpa beban. Namun jujurkah Wartiah? Pendapat siapa yang benar? Tidak ada kepastian mengenai hal itu.

Namun meskipun penilaian terhadap prilaku manusia menjadi demikian sulit, tetap saja ada pola tertentu yang terlihat, yaitu bahwa umumnya pengalaman buruklah yang digambarkan sebagai penyebab mengapa seseorang terjerumus ke dalam kehidupan yang menyalahi norma agama. Hal itu terlihat dengan paling jelas dalam kasus tokoh utamanya sendiri, Safitri, yang menjadi telembuk disebabkan pemerkosaan yang dialaminya. Dan meskipun pengalamannya setraumatis itu, di tengah pekerjaannya sebagai penyanyi dangdut dan pekerja seks, Safitri terus-menerus merindukan kemunculan laki-laki yang dapat dipercaya dan diajak membangun sebuah rumah tangga baik-baik. Artinya, apa yang diimpikan oleh tokoh perempuan tetaplah kehidupan yang sesuai dengan norma – mirisnya, dia terus menerus ditipu dan dibohongi, dan impiannya tidak pernah terwujud.

Penggambaran pengalaman perempuan tersebut, yaitu representasi penderitaan perempuan yang disebabkan oleh prilaku laki-laki yang melanggar moralitas agama, menghadirkan aspek fungsi agama sebagai pengekang hasrat yang sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan perempuan. Aspek tersebut cenderung diabaikan dalam karya mainstream, terutama sekali dalam fiksi bercorak “pembebasan seksual”. Fiksi mainstream tersebut menggambarkan pelanggaran norma sebagai pembebasan, baik bagi tokoh perempuan maupun laki-laki. Realitas masyarakat dimana perempuan dilukai dan dirugikan lewat pelanggaran nilai yang dilakukan oleh laki-laki, seakan-akan boleh dilupakan begitu saja. Padahal, bukankah justru pengalaman buruk semacam itu menjadi masalah yang jauh lebih mendasar dan mendesak bagi mayoritas perempuan Indonesia, daripada sebuah “pembebasan seksual”?

Pada saat yang sama, bagi saya novel Telembuk menawarkan perspektif yang jauh lebih menarik daripada apa yang umumnya ditawarkan novel-novel populer islami. Seandainya pun sebuah novel dengan tujuan dakwah mengangkat tokoh pekerja seks dan penyanyi dangdut, pastilah tokoh tersebut harus dibuat “taubat” dalam arti mengubah gaya hidup secara mencolok sehingga mendadak menjadi “perempuan baik-baik”. Telembuk berhasil membuat kita simpati pada tokoh utamanya, tanpa adanya “pertaubatan” semacam itu. Di samping itu, kita diajak untuk secara lebih realistis mengenal kehidupan sang tokoh: Safitri bukan tidak mau menjadi istri baik-baik, namun sekian kali dia dikecewakan saat berusaha meraih kehidupan yang lebih baik dan sesuai norma.


Lalu bagaimana dengan para laki-laki, yang kelakuannya juga digambarkan dengan berbagai detail dalam novel Telembuk ini? Mengapa begitu banyak laki-laki yang sibuk mabuk-mabukan, lepas kontrol sambil menonton dangdut, nelembuk, berkelahi tanpa alasan yang jelas, atau bahkan menjadi pemerkosa? Ada apa yang salah dengan kehidupan mereka, sehingga prilaku mereka menjadi cenderung destruktif seperti itu?

Karena novel Telembuk lebih berfokus pada usaha memahami tokoh perempuannya, terutama Safitri, pertanyaan mengenai prilaku para laki-laki tersebut dibiarkan tetap terbuka. Sebagai pembaca, saya tidak merasa diajak memahami mereka dengan cara yang sama seperti saya diajak untuk memahami Safitri. Mungkin Kedung sebagai penulis pun belum memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai konstruksi maskulinitas yang kasar dan agresif semacam itu. Siapa tahu topik tersebut bisa diperdalam dalam karya-karya lain di masa depan.

Sebuah jawaban tentatif mungkin bisa kita peroleh dengan cara sekali lagi mengutip ungkapan Abah Somad, saat menasehati Sondak dalam adegan yang sudah disebut di atas:

“Abah hanya kemit masjid. Tugasku itu hanya membersihkan masjid, mengurusnya sampai mati. Setiap kali membersihkan masjid, abah merasa sedang membersihkan diri sendiri.” (Telembuk, hlm. 356)

“Abah melakukan pekerjaan abah dengan sebaik mungkin. Kamu juga mesti begitu. Nah, kebetulan abah menjadi kemit masjid, maka abah harus menjadi kemit masjid yang terbaik. Karena pekerjaan kemit masjid itu kelebihan abah” (Telembuk, hlm. 357)
Sebuah konsep menarik mengenai pekerjaan manusia diekspresikan di sini, dimana pekerjaan dilakukan bukan demi uang atau status, tapi untuk memberi makna pada kehidupannya dan demi pembersihan diri. Tentu bukan itulah yang umumnya dijalani orang di tengah sekian desakan ekonomi dan godaan konsumi dalam masyarakat kontemporer. Di sebuah daerah dengan akses pendidikan terbatas, dimana demi pemenuhan kebutuhan dan hasrat ekonomi sebagian perempuan berangkat menjadi buruh migran, atau bahkan memilih menjadi telembuk, mungkin para laki-laki pun semakin kehilangan arah dan makna dalam kehidupan.

Kesimpulan: Telembuk sebagai novel dakwah
Bagi saya, dengan judul yang mungkin terkesan cabul pada pandangan pertama, novel Telembuk yang mengajak kita memahami manusia tanpa menghakiminya, sambil menyisipkan pesan-pesan spiritual yang sederhana tapi dalam, pada dasarnya merupakan novel dakwah yang kuat dan menyentuh, dengan model dakwah yang mengutamakan respek, pemahaman, dan kasih sayang.


Daftar Pustaka
Bandel, Katrin, Sastra Perempuan Seks, Jalasutra: Yogyakarta, 2006
- Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, Pustaha Hariara: Yogyakarta, 2013- Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Sanata Dharma University Press: Yogyakarta, 2016
Kedung Darma Romansha, Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat, Indie Book Corner: Yogyakarta, 2017


Catatan Kaki
1 Saya sengaja menggunakan istilah “fiksi” di sini, bukan “sastra”. Sebagian karya yang dimaksud berupa bacaan populer, yang belum tentu dapat digolongkan sebagai bagian dari sastra.

2 Pembahasan tersebut berkaitan terutama dengan karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, sebagai wakil dari sebuah kecenderungan yang terkadang dinamai “sastrawangi” dalam wacana publik seputarnya. Lihat Bandel 2006, 2013, dan 2016.

3 Telembuk, hlm. 258.