tag:blogger.com,1999:blog-21646572080588384582024-03-13T11:01:37.595-07:00Dunia KatrinBlog ini sekadar menjadi sarana dokumentasi dan sharing tulisan yang agak campur aduk, mulai dari bahan kuliah, esei, sampai pada catatan yang bersifat lebih personal. Silakan dipakai sesuai kebutuhan, semoga bermanfaat.Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-79442356699541136562020-02-01T01:27:00.002-08:002020-02-01T01:27:55.287-08:00Seri Pengalaman Mualaf #1<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "abyssinica sil"; font-size: large;">(Menjadi mualaf
bule di tengah masyarakat bermayoritas Muslim di Indonesia ini,
sering membawa pengalaman lucu. Berikut edisi pertama seri pengalaman
unik, sekadar untuk hiburan.)</span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: large;"><br /></span>
</div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: large;"><br /></span>
</div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "abyssinica sil"; font-size: large;">Juli
2013, bulan puasa. Malam itu saya sholat tarawih di sebuah mushola
tidak jauh dari rumah saya, bersama beberapa tetangga. Seorang
perempuan, ibu muda yang kelihatannya belum lama tinggal di kampung
itu (dan belum mengenal saya), duduk di sebelah saya. Tampaknya pada
mulanya dia tidak memperhatikan siapa yang ada di sampingnya. Namun
kemudian mendadak dia sadar bahwa yang ada di sebelahnya ternyata
seorang perempuan bule. Dia kaget bukan main, sebab tampaknya dia
tidak begitu terbiasa melihat bule dari dekat. Tanpa malu-malu saya
dipelopoti sepuasnya, juga ditanyai berbagai macam hal yang terkesan
agak kurang ajar, sehingga membuat ibu-ibu lain menjadi tidak enak
hati pada saya. Misalnya, dia menanyakan usia saya, lalu menuduh saya
berbohong karena menurut persepsinya, tidak mungkin usia saya sudah
setua itu. Mungkin baginya mualaf seperti saya tampak seperti anak
kecil yang imut dan lucu. Dia pun bertanya, kuatkah berpuasa sampai
maghrib? Lalu dia kembali menuduh saya berbohong saat saya mengaku
kuat. Dengan perasaan antara geli dan jengkel, saya tidak tahu mesti
berbuat apa selain sekadar bersabar akan sikapnya yang ganjil itu.</span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "abyssinica sil"; font-size: large;"><br />
Rasa
penasarannya terekspresikan bukan hanya lewat kata-kata. Dengan gemas
pipi saya dicubitnya, hidung saya dipencet-pencetnya. Bahkan karena
penasaran bagaimana rupa tangan seorang bule, mukena saya kemudian
disingkapnya, agar tangan saya tampak dan dapat disentuhnya. Komentar
saya bahwa ini toh sama-sama tangan, jarinya lima sama seperti
tangannya sendiri, tampaknya sama sekali tidak berhasil
meyakinkannya. Baginya, perbedaan jauh lebih menarik daripada
persamaan.</span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "abyssinica sil"; font-size: large;"><br />
Untungnya,
sholat isya kemudian dimulai. Selama sholat, tentu dia “terpaksa”
memandang ke depan tanpa mengusik saya. Namun begitu selesai mengucap
salam, segera perhatiannya tercurah kembali pada saya. Padahal, saya
masih sedang membaca wirid dan berdoa setelah sholat. Saat mulut saya
masih sibuk membaca, mukanya didekatkan sedekat-dekatnya pada muka
saya. Jarak antara matanya dan muka saya hanya beberapa sentimeter
saja. Tak heran konsentrasi saya buyar, bacaan saya menjadi
amburadul…</span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "abyssinica sil"; font-size: large;"><br />
Beberapa
hari kemudian kami bertemu sekali lagi saat tarawih di mushola yang
sama. Kebetulan pada hari itu saya sudah datang lebih dulu, dan sudah
duduk di antara dua orang perempuan lain, yaitu ibu-ibu tetangga
kenalan saya. Namun karena sholat belum dimulai, maka hanya sajadah
kami yang berderet rapi di situ. Sebagian perempuan masih sedang di
luar atau sedang duduk-duduk bersantai. Saat perempuan itu tiba di
mushola dan melihat saya sudah hadir, dia segera memberi isyarat agar
saya pindah duduk di sebelahnya. Saya enggan karena tidak siap
menghadapi sikapnya yang berlebihan itu sekali lagi. Namun dia
pantang menyerah. Melihat bahwa saya tetap bertahan di tempat semula,
dia kemudian nekat memaksakan kehendaknya dengan cara mengambil
sajadah saya untuk dipindahkan ke sebelahnya. Karena tidak berniat
pindah, saya mempertahankan sajadah itu. Maka terjadilah adegan
tarik-menarik sajadah yang cukup seru dan tentu saja agak konyol...</span></div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<style type="text/css">
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }</style></div>
<style type="text/css">
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }</style>Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-4815536729771172172019-06-13T09:09:00.012-07:002021-10-03T19:26:10.848-07:00Seksualitas dan Kekuasaan: memahami Sejarah Seksualitas karya Michel Foucault (bagian I)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<header class="entry-header" style="background-color: white; color: #383838; font-size: 18px; outline: currentcolor none 0px; overflow-wrap: break-word;"><h1 class="entry-title" style="-webkit-font-smoothing: antialiased; clear: both; color: #333332; font-family: "Alegreya Sans", sans-serif; font-size: 47px; font-weight: 400; line-height: 1.3; margin: 0px; outline: currentcolor none 0px; overflow-wrap: break-word;">
</h1>
<div>
<span style="font-size: small; text-align: justify;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">22 April 1969, di Universitas Frankfurt. Theodor W. Adorno, salah satu pemikir Mazhab Frankfurt yang paling tersohor, sedang memberi kuliah dengan judul “Estetika II”. Di tahun 60an yang penuh pergolakan di kalangan mahasiswa tersebut, sebetulnya sebagai pemikir dan teoritikus kiri, Adorno menjadi figur penting. Namun sebagian mahasiswa dan aktifis kiri, terutama dari kelompok-kelompok yang paling radikal, kecewa dengan sikap Adorno yang tidak bersedia mendukung aksi-aksi kekerasan, dan tetap memberikan kuliah-kuliah teoritis yang bagi mereka terkesan tidak relevan. Berkali-kali kuliahnya diprotes dan diganggu.</span></span></div>
<div>
<span style="color: #383838; font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><br /></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Pada 22 April 1969 tersebut, terjadi sebuah aksi protes dalam bentuk yang sedikit berbeda. Di tengah kuliah, tiga orang mahasiswi berpakaian jaket kulit naik ke podium tempat Adorno sedang memberi kuliah. Mereka mengelilinginya, lalu membuka jaket mereka dan mempertontonkan payudara telanjang mereka. Mereka juga mencoba menciumnya dan mengolok-oloknya. Adorno, yang pada saat itu sudah berusia 65, terlihat syok dan terpukul. Beliau mencoba melindungi diri dengan menggunakan tasnya. Akhirnya beliau meninggalkan ruang kuliah dalam keadaan menangis.</span></span></header><br />
<br />
<div class="entry-content" style="background-color: white; color: #383838; font-size: 19px; margin: 0px 0px 0.875em; overflow-wrap: break-word;">
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Alasan mengapa saya menceritakan ulang peristiwa memalukan itu di sini bukan untuk lebih lanjut membahas detail sejarah seputar hubungan Adorno dengan gerakan mahasiswa tahun 60an. Namun bagi saya, kejadian yang kemudian dijuluki “Busenattentat” (“serangan payudara”) itu menjadi menarik sebagai ilustrasi wacana seksualitas yang berkembang pada masa itu di negara-negara Barat. Mengapa protes terhadap sikap politis Adorno mesti diekspresikan dengan cara demikian? Apa hubungan antara payudara telanjang dengan radikalisme kiri?</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Dalam pemikiran gerakan kiri pada masa itu, memang terdapat kaitan erat antara ideologi kiri dan “pembebasan” seksualitas. Budaya otoriter dan fasisme diyakini memiliki dasar dalam pengalaman personal manusia di masa kecilnya, terutama berupa sikap represif dalam keluarga dan moralitas seksual yang kelewat mengekang. Secara teoritis, pandangan tersebut didukung antara lain oleh ahli psikoanalisis Austria Wilhelm Reich dan para pemikir Mazhab Frankfurt (termasuk, <span lang="en-US">ironis</span>nya, pemikiran Adorno).</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Dalam praktek gerakan, keyakinan tersebut membuahkan berbagai eksperimen untuk menemukan bentuk hidup bersama yang baru. Salah satunya adalah komune (Inggris: <i>commune, </i>Jerman:<i> Kommune</i>), dimana sejumlah orang hidup bersama dalam komunitas, dengan mencoba mensubversi struktur keluarga konvensional yang diyakini sebagai sumber represi. Berikut pernyataan <i>Arbeitskreis Kommune </i>oleh SDS (Persatuan Mahasiswa Sosialis Jerman), yang menjadi dasar pendirian <i>Kommune 1 </i>di Berlin pada tahun 1967:</span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">“<span style="font-size: small;">Fasisme timbul dari dalam keluarga inti. Keluarga adalah sel terkecil dalam negara, dan sifatnya yang represif menjadi dasar bagi semua institusi negara. Suami istri hidup dalam ketergantungan satu sama lain, sehingga masing-masing tidak dapat menjadi manusia bebas. Karena itu keluarga harus dihancurkan.”</span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Antara lain, mereka berpandangan bahwa ketertutupan dalam hal seksualitas harus didobrak. Anggota <i>Kommune 1</i> (yang terdiri, pada awalnya, dari 9 orang dewasa – 6 laki-laki dan 3 perempuan – dan satu anak kecil) tidur bersama di ruangan besar, sehingga tidak ada tindakan apa pun, termasuk tindakan seks, yang ditutup dari penyaksian orang lain.</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Dengan semangat yang sama, sebuah komune<i> </i>lain, Horla Kommune di Köln (Cologne, Jerman), mengeluarkan sebuah koran anak-anak yang antara lain bertujuan mengajak anak-anak bertanya tentang seksualitas. Pada tahun 1969, koran itu memuat sebuah cerita berjudul “Inge dan lobang kunci”, yang menceritakan seorang anak kecil yang penasaran akan kelakuan orangtuanya di kamar tidur, kemudian mengintip dari lobang kunci.</span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">“<span style="font-size: small;">Setiap malam orang tua Inge menonton TV. Ibu merajut dan ayah minum bir. Setelah ayah menghabiskan botol bir yang ketiga, Inge disuruh tidur. Biasanya dia mengantuk dan langsung tertidur. Tapi kadang-kadang dia tak bisa tidur. Dia mendengar ayah dan ibu naik tangga dengan hati-hati, lalu mengunci diri di kamar tidur. Awalnya tak ada suara, tapi tidak lama kemudian tempat tidur berderak-derak, dan sering<span lang="en-US">kali</span> Inge merasa mendengar desah dan jeritan tertahan yang menakutkan – malam ini dia memutuskan untuk mencari tahu rahasia apa yang tersembunyi di belakang pintu kamar tidur. Dan bagaimana dengan KALIAN?<span lang="en-US">”</span></span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Menurut Wilhelm Reich, individu yang seksualitasnya direpresi cenderung menyukai kekerasan dan senang hidup dalam struktur hierarkis; seksualitas bebas (yang membawa rasa puas karena hasrat dapat dipenuhi) akan membuat orang bersifat damai, kreatif, dan tidak menyukai hierarki dan kekerasan. Atas dasar konsep semacam itulah, kegiatan politis kiri radikal menjadi tidak terpisahkan dari “kebebasan seks” yang radikal pula, seakan-akan memang sudah “satu paket”. <span lang="en-US">Keyakinan </span><span lang="en-US">ini, yaitu</span><span lang="en-US"> bahwa “pembebasan seksual”</span><span lang="en-US"> merupakan</span><span lang="en-US"> bagian integral dari kegiatan politis berhaluan kiri, </span><span lang="en-US">lama-lama</span><span lang="en-US"> menjadi bagian dari </span><span lang="en-US"><i>common sense </i></span><span lang="en-US">yang berbekas sampai sekarang dalam budaya-budaya Barat.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Jadi demikianlah semangat zaman saat Foucault menulis jilid pertama karya terakhirnya, <i>Sejarah Seksualitas</i>. Jilid pertama yang berjudul <i>La volonté de savoir </i>(<i>The Will to Knowledge </i>dalam terjemahan bahasa Inggris) tersebut terbit pada tahun 1976. Kalau kita membaca kalimat-kalimat pembuka bab pertama buku Foucault itu tanpa mempertimbangkan konteks semangat zaman tersebut, mungkin kita akan kebingungan atau salah paham:</span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">“<span style="font-size: small;">For a long time, <u>the story goes</u>, we supported a Victorian regime, […]</span></span></div>
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">At the beginning of the seventeenth century a certain frankness was still common, <u>it would seem</u>.” (<i>The Will to Knowledge</i>, hlm. 3)</span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Lewat ekspresi yang saya garisbawahi di atas (“the story goes”, “it would seem”), Foucault mengindikasikan bahwa dia sedang menceritakan sesuatu yang <i>konon </i>benar dan diyakini banyak orang, tapi pantas dipertanyakan. Apakah yang konon benar tersebut ternyata hanya sebuah mitos?</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Mitos alias “kebenaran” apa yang diceritakan Foucault di sini? Foucault bercerita tentang keyakinan sebagian orang Barat di zamannya bahwa seksualitas mereka direpresi lewat berbagai larangan dan kekangan yang merupakan warisan zaman Viktoria. Konon, begitu kisah yang disampaikan Foucault, sebelum zaman Viktoria manusia masih dapat mengekspresikan seksualitasnya dengan sangat bebas, baik secara verbal maupun dalam prilaku. Lalu datanglah zaman Viktoria dengan moralitas borjuisnya yang sangat kaku. Seksualitas “dirumahkan”, diizinkan hanya antara pasangan suami-istri dalam privasi kamar tidur, itu pun bukan demi kenikmatan, tapi hanya demi reproduksi. Meskipun psikoanalisis Sigmund Freud merupakan semacam perlawanan terhadap represi tersebut, itu hanyalah langkah kecil menuju kebebasan: Psikoanalisis tetap menempatkan seksualitas di ruang yang sangat pribadi, yaitu dalam dialog dengan sang dokter di atas sofa dalam privasi ruang praktek, dilindungi oleh kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan kisah sang pasien. Begitulah mitosnya, paling tidak menurut Foucault.</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Siapakah yang sedang Foucault sapa dengan nada ironisnya itu? Orang sezaman dan sehaluannya, tentu saja, yaitu terutama <span lang="en-US">kaum kiri </span><span lang="en-US">yang sudah saya bahas di atas. Tepatkah sikap mereka, saat mereka menempatkan “pembebasan seksual” sebagai bagian integral dari aktivisme politik kiri, seperti misalnya dalam “serangan payudara” terhadap Adorno tahun 1969?</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Foucault menamai keyakinan bahwa seksualitas sedang direpresi sejak zaman Viktoria sebagai<span style="font-weight: 700;"> “hipotesa represi” </span>(<i>“repressive hypothesis”</i>). Represi tersebut dibayangkan beroperasi lewat pelarangan, penyensoran dan tabu. Lewat represi konon orang didiamkan, dan kebebasan yang dulu ada (wacana atau prilaku seks yang lebih bebas) dihapus atau dihilangkan.</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Pembicaraan seputar represi seksualitas serta perlawanan terhadapnya, menurut Foucault, terkadang bahkan punya ciri yang mirip wacana agama. Ada imaji utopis tentang kebebasan seks yang akan terwujud di masa depan (<i>prophecy</i>), disampaikan lewat “khotbah seks” (<i>sexual sermon</i>). Lewat wacana semacam itu, revolusi, yang umumnya kita kaitkan dengan kekerasan, bisa dibayangkan akan membawa kebahagiaan dan kenikmatan.</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span style="font-weight: 700;"></span>Setelah mendeskripsikan hipotesa represi tersebut, Foucault kemudian mengemukakan kritik dan keraguannya terhadap hipotesa itu secara lebih eksplisit. Langkah yang dilakukan Foucault adalah mengambil jarak dari wacana yang ada, dan memandang persoalan dari perspektif baru. Hipotesa bahwa seksualitas direpresi dihadapinya bukan dengan membantahnya (= dengan mengatakan bahwa seksualitas tidak direpresi), tapi dengan memandang wacana seputar represi tersebut dari luar. Dia mengajak pembacanya melihat betapa wacana tersebut sebetulnya sangat unik dan ganjil:</span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">“Why do we say, with so much passion and so much resentment against our own most recent past, against our present, and against ourselves, that we are repressed? […] It is certainly legitimate to ask why sex was associated with sin for such a long time […], but we must also ask why we burden ourselves today with so much guilt for having once made sex a sin.” (<i>The Will to Knowledge</i>, hlm. 8-9)</span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Orang tidak lagi merasa berdosa karena melanggar norma moral, melainkan sebaliknya: orang kini merasa berdosa karena merepresi seksualitasnya. Bukankah itu sangat aneh? Mengapa wacana seputar seksualitas bisa berbalik demikian rupa?</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Foucault kemudian mengajukan tiga keraguan terhadap “hipotesa represi”:</span></span></div>
<ol style="list-style-position: outside; margin: 0px 0px 1.75em 2em; padding: 0px;">
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Benarkah represi seksualitas merupakan fakta sejarah? (<i>historical question</i>)</span></span></div>
</li>
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Apakah kekuasaan (<i>power</i>) memang beroperasi terutama lewat represi, misalnya lewat larangan atau sensor? (<i>historico-theoretical question</i>)</span></span></div>
</li>
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Benarkah ada dua kekuatan yang berlawanan, yaitu represi seksualitas yang telah lama berkuasa dan berakar tanpa perlawanan yang berarti di satu sisi, dan wacana kritis terhadap represi tersebut di sisi lain? Bukankah keduanya menjadi bagian dari jaringan historis (<i>historical network</i>) yang sama? (<i>historico-political question</i>)</span></span></div>
</li>
</ol>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Foucault menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukannya dalam bab-bab selanjutnya dalam buku tersebut, bukan sekadar bertujuan untuk membuktikan bahwa “hipotesa represi” ternyata keliru. Foucault lebih tertarik meneliti wacana seputar seksualitas di budayanya secara keseluruhan, dengan “hipotesa represi” sebagai bagian dari wacana tersebut.</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Maka d</span><span lang="id-ID">i bagian 2 </span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge </i></span><span lang="id-ID">(berjudul “The Repressive Hypothesis”)</span><span lang="id-ID"><i>,</i></span><span lang="id-ID"> Foucault lalu memaparkan versinya sendiri tentang wacana seputar seksualitas sejak abad ke-17, dengan sekadar sekali-sekali merujuk pada hipotesa represi untuk menekankan perbedaan pandangannya sendiri dengan hipotesa tersebut. Pada akhir bagian 2 dia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa hipotesa represi terbukti tidak benar:</span></span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">“We must therefore abandon the hypothesis that modern industrial societies ushered in an age of increased sexual repression.” (</span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge</i></span><span lang="id-ID">, hlm. 49)</span></span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Selanjutnya, mari kita simak, bagaimana Foucault sampai pada kesimpulan tersebut.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Foucault mengakui bahwa dengan menguatnya peran kaum borjuis pada abad ke-17 </span><span lang="id-ID">di Eropa</span><span lang="id-ID">, cara orang berbicara tentang seksualitas mengalami perubahan. Muncul kode etis ketat yang mengatur di mana, kapan dan di depan siapa orang boleh berbicara tentang seks, dan bagaimana cara yang pantas untuk melakukannya. Kata-kata yang sebelumnya biasa diucapkan di mana-mana, tiba-tiba dianggap “cabul”.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Bukankah itu membuktikan bahwa memang benar terjadi represi? Benar, kalau dengan “represi” kita hanya memaksudkan perubahan cara berbicara tentang seksualitas. Tapi kalau kita membayangkan sebuah “represi” dalam arti bahwa seksualitas dan wacana tentangnya dibungkam dan dan dilarang, kita ternyata keliru. Foucault menunjukkan bahwa wacana tentang seksualitas bukan berkurang atau menghilang pada masa itu, namun sebaliknya justru bertambah, </span><span lang="id-ID">yaitu terjadi sebuah ledakan wacana (</span><span lang="id-ID"><i>discoursive explosion</i></span><span lang="id-ID">).</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Foucault kemudian menggunakan </span><span lang="id-ID">beberapa</span><span lang="id-ID"> contoh </span><span lang="id-ID">untuk</span><span lang="id-ID"> menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan </span><span lang="id-ID">istilah</span><span lang="id-ID"> “ledakan </span><span lang="id-ID">wacana</span><span lang="id-ID">”</span><span lang="id-ID">. Yang pertama, dan yang dibahasnya dengan cukup panjang, adalah contoh </span><span lang="id-ID">pengakuan </span><span lang="id-ID">dosa. </span><span lang="id-ID">Menurut pengamatan Foucault, terjadi perubahan yang sangat berarti pada peraturan untuk pengakuan dosa di gereja Katolik, khususnya berkaitan dengan seksualitas. Tentu saja sejak dulu di antara dosa yang diakui ada yang menyangkut prilaku seksual, misalnya melakukan hubungan seks di luar nikah. Namun ternyata perlahan-lahan mulai abad ke-16 dan ke-17 cara dosa tersebut dipahami dan diakui mengalami perubahan besar. Di satu sisi, cara berbicara tentang dosa yang berhubungan dengan seksualitas dalam pengakuan dosa diperhalus: Baik </span><span lang="id-ID">pastor</span><span lang="id-ID"> yang menerima pengakuan dosa maupun umat yang mengaku dosa dihimbau agar jangan menggunakan kata-kata “cabul” dan agar jangan mendeskripsikan persetubuhan secara mendetail. Pada waktu yang sama, di sisi lain, gagasan mengenai dosa seksual justru diperlebar. Yang dianggap dosa bukan lagi hanya apa yang dilakukan, tapi juga pikiran, khayalan, </span><span lang="id-ID">mimpi, atau sekadar</span><span lang="id-ID"> hasrat </span><span lang="id-ID">yang terlintas</span><span lang="id-ID">. Umat dibimbing agar terus-menerus mengamati batin mereka sendiri, dan melaporkan pikiran “kotor”, khayalan “cabul” atau hasrat “tak senonoh” yang seminor apa pun dalam pengakuan dosa.</span></span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">“An imperative was established: Not only will you confess to acts contravening the law, but you will seek to transform your desire, your every desire, into discourse.” (</span><span lang="id-ID"><i>The Will to</i> <i>Knowledge</i>, hlm. 21)</span></span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">“Perintah” untuk selalu memeriksa batin sendiri dan tidak hentinya membicarakan seksualitas itu menurut Foucault berpengaruh sangat besar dalam budaya Barat. Hal itu berlaku sama sekali bukan hanya dalam konteks keagamaan (Katolik). Penerjemahan pengalaman dan hasrat seksual ke dalam wacana terjadi bukan hanya dalam pengakuan dosa. Maka setelah membicarakan pengakuan dosa, Foucault tiba-tiba melompat pada “pengakuan” yang berjenis sama sekali berbeda, yaitu teks-teks sastra dan otobiografi yang telah lama dianggap cabul dan tabu. Khususnya dia menyebut:</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">1. Donatien-Alphonse-François</span><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;"> de Sade </span></span><span lang="id-ID">atau Marquis de Sade</span><span style="font-weight: 700;"> </span><span lang="id-ID">(1740-1814), pengarang Perancis yang menulis antara lain </span><span lang="fr-FR"><i>LES CENT-VINGT JOURNÉES DE SODOME OU L’ÉCOLE DU LIBERTINAGE </i></span><span lang="fr-FR">(</span><span lang="fr-FR"><i>The 120 Days of Sodom</i></span><span lang="fr-FR">, 1785) dan </span><span lang="id-ID"><i>JUSTINE OU LES MALHEURS DE LA VERTU</i></span><span lang="id-ID"> (</span><span lang="id-ID"><i>Justine, or Good Conduct Well Chastised</i></span><span lang="id-ID">, 1791). Novel-novelnya yang mengisahkan penyiksaan dan eksploitasi seksual, menyebabkan dirinya dipenjarakan pada tahun 1801.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">2. sebuah “otobiografi seks” berjudul </span><span lang="id-ID"><i>My Secret Life </i></span><span lang="id-ID">(pengarang anonim) yang terbit akhir abad ke-19.</span><span lang="id-ID"> Dalam 11 jilid, b</span><span lang="id-ID">uku tersebut dengan rinci mengisahkan petualangan seks sang pengarang.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Mengapa Foucault melakukan lompatan seekstrim itu dalam tulisannya, yaitu dari pembahasan seputar pengakuan dosa, kepada teks-teks yang justru membanggakan dan mengabadikan “dosa” tersebut? </span><span lang="id-ID">Ada c</span><span lang="id-ID">iri khas </span><span lang="id-ID">yang menyatukan keduanya, </span><span lang="id-ID">yaitu timbulnya keyakinan bahwa seks perlu dan relevan dibicarakan secara mendalam dan rinci. Apa yang paling aneh dan mencolok pada </span><span lang="id-ID"><i>My Secret Life </i></span><span lang="id-ID">menurut Foucault bukan isi bukunya, yaitu pengalaman-pengalaman seksual yang dikisahkan, melainkan kenyataan bahwa pengarangnya merasa perlu mencatat semua itu dengan begitu teliti dan mendetail. </span><span lang="id-ID">Itulah ledakan wacana yang dimaksudkannya.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Foucault kemudian menyebut beberapa wilayah lain di mana </span><span lang="id-ID">ledakan </span><span lang="id-ID">wacana</span><span lang="id-ID"> juga dapat di</span><span lang="id-ID">amati</span><span lang="id-ID">:</span></span></span></div>
<ul style="list-style-position: outside; margin: 0px 0px 1.75em 2em; padding: 0px;">
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;">demografi</span></span><span lang="id-ID">. Rakyat mulai dipandang bukan sekadar sebagai “kawula”, melainkan sebagai populasi yang perkembangannya (berkurang atau bertambah) dapat dipantau dan diarahkan. Dalam rangka itu yang perlu dipelajari terutama prilaku seksual rakyat: pada umur berapa orang menikah dan punya anak, berapa jumlah anak mereka, apakah mereka membatasi kehamilan (kontrasepsi, aborsi), dst.</span></span></span></div>
</li>
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;">seksualitas anak</span></span><span lang="id-ID">–</span><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;">anak dan remaja</span></span><span lang="id-ID">. Meskipun benar seperti kata para pembela “hipotesa represi” bahwa mulai zaman Viktoria pembicaraan dengan </span><span lang="id-ID">topik</span><span lang="id-ID"> seks dihindari (atau paling tidak: sangat dibatasi) dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak-anak, di sisi lain wacana seputar seksualitas anak dan remaja justru meluas. Anak-anak dan remaja diyakini perlu diawasi secara ketat agar mereka tidak melakukan tindakan seksual. Khususnya masturbasi sangat ditabukan, dengan alasa</span><span lang="id-ID">n</span><span lang="id-ID"> kesehatan. Di sekolah-sekolah, keyakinan </span><span lang="id-ID">akan</span><span lang="id-ID"> perlunya pengawasan tersebut bahkan mempengaruhi arsitektur, bentuk mebel (meja belajar misalnya) dan peraturan sekolah.</span></span></span></div>
</li>
<li style="margin-top: 0.4375em;"><div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;">wacana medis, psikiatris dan hukum</span></span><span lang="id-ID">. Seksualitas dan segala macam bentuk “abnormal</span><span lang="id-ID">itas</span><span lang="id-ID">”nya mulai dipelajari dan didefinisikan oleh para dokter, dan bersamaan dengan itu muncul undang-undang yang lebih ketat dan rinci menyangkut pelanggaran terhadap “normalitas” seksual.</span></span></span></div>
</li>
</ul>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Sebagai k</span><span lang="id-ID">esimpulannya, </span><span lang="id-ID">Foucault mengatakan bahwa m</span><span lang="id-ID">ulai abad ke-17, wacana tentang seksualitas bukan direpresi atau dihilangkan, tapi justru di</span><span lang="id-ID">rangsang</span><span lang="id-ID"> tumbuh (</span><span lang="id-ID"><i>incitement</i></span> <span lang="id-ID"><i>to discourse</i></span><span lang="id-ID">). Lebih jauh lagi, wacana itu bukanlah sebuah wacana tunggal, melainkan </span><span lang="id-ID">terdiri dari </span><span lang="id-ID">beragam wacana yang timbul di berbagai institusi dan bidang.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Bab kedua dari bagian 2 </span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge</i></span><span lang="id-ID">, yaitu bab yang dalam terjemahan Inggris berjudul</span> <span lang="id-ID">“</span><span lang="id-ID">The Perverse Implantation”, </span><span lang="id-ID">merupakan bab yang di kemudian hari (dan sampai sekarang) cukup sering dirujuk dalam tulisan-tulisan di bidang Kajian Gender, lebih-lebih dalam Kajian Queer. </span><span lang="id-ID">Penyebabnya adalah karena di bagian ini, Foucault menawarkan perspektif baru dalam memahami sejarah homoseksualitas.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Seperti yang sudah disampaikan di atas, wacana medis dan hukum mulai mendefinisikan batas antara seksualitas “normal” dan “abnormal”. </span><span lang="id-ID">Perkembangan seksualitas yang “normal” dari umur kanak-kanak sampai lansia didefinisikan, dan segala sesuatu yang menyimpang dari “normalitas” tersebut dianggap tidak wajar, atau </span><span lang="id-ID">disebut</span><span lang="id-ID"> “perversi”.</span></span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">“Our epoch has initiated sexual heterogeneities” (</span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge</i></span><span lang="id-ID">, hlm. 37),</span></span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">kata Foucault. Zaman kita telah menciptakan heterogenitas seksual? Apa maksudnya?</span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Tentu saja berbagai bentuk prilaku seksual yang tidak bertujuan reproduksi telah ada sejak dulu, misalnya masturbasi, seks anal, </span><span lang="id-ID">tindakan </span><span lang="id-ID">seks antara dua laki-laki atau dua perempuan, </span><span lang="id-ID">tindakan </span><span lang="id-ID">seks dengan hewan, dan sebagainya. Juga sudah ada gagasan bahwa prilaku seks semacam itu bersifat “berlawanan dengan alam”. Meskipun begitu, prilaku seks tersebut dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum yang tidak jauh berbeda daripada pelanggaran lain, seperti </span><span lang="id-ID">misalnya</span><span lang="id-ID"> hubungan seks di luar nikah </span><span lang="id-ID">(dengan lawan jenis),</span><span lang="id-ID"> atau pemerkosaan. Namun pada abad ke-19 mulai terjadi perubahan besar: Seksualitas yang “bertentangan dengan alam” kini </span><span lang="id-ID">dianggap </span><span lang="id-ID">bersifat sama sekali berbeda daripada pelanggaran seks yang lain. “Kelainan” seksual (</span><span lang="id-ID"><i>perversion</i></span><span lang="id-ID">) mulai dilihat sebagai sebuah </span><span lang="id-ID"><span style="font-weight: 700;">identitas</span></span><span lang="id-ID">.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Misalnya, mengenai homoseksualitas Foucault mengatakan:</span></span></div>
<blockquote style="border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" class="western">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">“The nineteenth-century homosexual became a personage, a past, a case history, and a childhood, in addition to being a type of life, a life form, and a morphology, with an indiscreet anatomy and possibly a mysterious physiology. […] The sodomite had been a temporary aberration; the homosexual was now a species.” (</span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge</i></span><span lang="id-ID">, hlm. 43)</span></span></span></div>
</blockquote>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Yang dibicarakan Foucault di sini adalah </span><span lang="id-ID">kelahiran homoseksualitas</span><span lang="id-ID">, dan oleh sebab itu</span><span lang="id-ID">lah</span><span lang="id-ID"> buku Foucault ini sangat berpengaruh pada Gay Studies/Queer Studies.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Kelahiran homoseksualitas? Benarkah sebelumnya tidak ada orang homoseksual? Bagaimana mungkin? </span><span lang="id-ID">Hubungan seksual antara dua laki-laki atau dua perempuan </span><span lang="id-ID">tentu </span><span lang="id-ID">sudah ada sebelumnya. Tapi tindakan memilih pasangan sejenis tidak dianggap sebagai sebuah orientasi seksual yang permanen, tapi sekadar sebagai “penyimpangan temporer” (</span><span lang="id-ID"><i>temporary aberration</i></span><span lang="id-ID">). Namun dengan kelahiran homoseksualitas (lewat sebuah artikel yang ditulis Carl Westphal, seorang psikiater Jerman, pada tahun 1870), preferensi terhadap pasangan sejenis menjadi sebuah identitas yang permanen, dalam arti bahwa tubuh, batin dan kisah hidup seorang homoseksual diyakini bersifat berbeda secara mendasar dari “orang normal”. Itulah yang dimaksudkan Foucault dengan “</span><span lang="id-ID"><i>the perverse implantation</i></span><span lang="id-ID">”: perversi “ditanam” dalam tubuh dan batin seseorang sebagai identitas permanen yang tidak bisa ditanggalkan begitu saja.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Buku </span><span lang="id-ID"><i>The Will to Knowledge </i></span><span lang="id-ID">menjadi salah satu buku Foucault yang paling banyak dirujuk bukan terutama karena topik khususnya (seksualitas), tapi karena teori yang dikembangkan di situ. Di buku inilah, Foucault memaparkan konsep kekuasaannya secara cukup eksplisit dan mendetail. Konsep tersebut tidak akan dibahas lebih jauh di sini. Secara singkat saja dapat dijelaskan bahwa bagi Foucault, kekuasaan beroperasi lewat wacana. </span><span lang="id-ID">Dalam pembahasan di atas, tampak dengan jelas betapa lewat ledakan wacana seputar seksualitas, prilaku dan identitas manusia diatur dan dibentuk. </span><span lang="id-ID">Proses itu berlangsung bukan terutama lewat larangan atau tabu, tapi justru secara aktif: diri dirangsang untuk terus-menerus membicarakan dan memikirkan seksualitas, atau bahkan mendefinisikan diri lewat seksualitas. Maka dengan demikian, apa yang berlangsung di masa hidup Foucault sendiri, yaitu “revolusi seksual” ala gerakan kiri mulai tahun 60an, bisa dipahami sebagai kelanjutan dari proses yang sama: seksualitas tetap terus-menerus dibicarakan, dan tetap digunakan untuk mendefinisikan identitas diri.</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: 700;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><br /></span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: 700;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif">Daftar Pustaka</span></span></span></div>
<div align="justify" class="western" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="font-size: small;"><span face=""helvetica neue" , "arial" , "helvetica" , sans-serif"><span lang="id-ID">Michel Foucault, </span><span lang="id-ID"><i>The Will </i></span><span lang="id-ID"><i>t</i></span><span lang="id-ID"><i>o Knowledge, </i></span><span lang="id-ID">Penguin Books: London dll, 1990</span></span></span></div>
</div>
Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-9330905046179740982019-05-07T01:22:00.002-07:002020-09-22T01:07:19.583-07:00Doing masculinity - tapi yang mana? <div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em; outline: currentcolor none 0px;">
<span style="color: black; outline: currentcolor none 0px;">Seorang laki-laki meraih ponselnya, menelpon seseorang. Di tempat lain, ponsel seorang laki-laki lain berdering, dan dia mengangkatnya. Laki-laki yang ditelpon tersebut tersenyum, lalu terjadi pembicaraan. Sebuah janji untuk bertemu, tampaknya. Kedua laki-laki itu berjalan ke lemari pakaian masing-masing, memilih baju. Penampilan mereka rapi dan terawat – sepertinya mereka berasal dari kelas menengah. Kemudian masing-masing berangkat dengan naik sepeda motor<span lang="id-ID"> sport</span> yang lumayan besar. Di tengah jalan, mereka bergabung. Mereka <span lang="id-ID">menghabiskan waktu bersama dengan </span>bermain golf<span lang="id-ID">, kemudian </span>melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Salah satu dari mereka sempat jatuh, dan segera ditolong <span lang="id-ID">dengan sikap </span>penuh kecemasan oleh temannya. Selanjutnya, mereka mampir di sebuah masjid untuk sholat. Hari mulai gelap. Mereka memasuki sebuah pusat perbelanjaan, atau mungkin semacam pasar kerajinan. Di situ mereka duduk sambil berbincang, masing-masing dengan segelas jus di hadapannya. Saat mereka bangkit, yang satu merangkul <span lang="id-ID">bahu </span>yang lain dengan akrab, sambil berjalan. Mereka kemudian berpisah, masing-masing berbelanja. Ternyata yang dibeli adalah kado. Di depan pusat perbelanjaan itu, mereka berjumpa kembali<span lang="id-ID">, untuk</span> saling menyerahkan kado yang baru saja mereka beli, berbungkus kertas kado berkilauan berwarna emas dan perak. Tanpa membuka kado tersebut, mereka berangkat kembali dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Masing-masing kemudian berhenti di tempat yang terpisah di pinggir jalan, untuk membuka kado yang mereka terima. Kedua kado itu berisi barang kerajinan sebagai wadah Al Qur’an. <span lang="id-ID">Dan k</span>edua laki-laki itu ternyata menambah tulisan tangan yang sama pada barang kerajinan itu, yaitu sebuah ayat Al Qur’an tentang persaudaraan antar orang mu’min (QS 49:10).</span></div>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Apa yang saya deskripsikan di atas adalah alur sebuah videoclip nasyid berjudul <a href="https://href.li/?https://www.youtube.com/watch?v=EuJ6r95fEuw" rel="noopener noreferrer" style="background-color: transparent; color: #0087be; text-decoration-line: none;" target="_blank">“Tawam Hanaya”</a>, karya Abdul Karim Mubarak dan Abdur Rahman Al-Qaryouti asal Amman, Yordania. Setting videoclip itu pun di Yordania. Saya menemukan video tersebut secara kebetulan di youtube beberapa tahun lalu. Sebetulnya saat itu saya tidak sedang mencari bahan untuk mengajar atau untuk tulisan akademis. Tapi karena keunikan video “Tawam Hanaya” ini, saya kemudian beberapa kali memakainya dalam kelas atau seminar yang berkaitan dengan Kajian Gender. Apa alasannya?</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Salah satu hal yang mungkin paling sering kita bahas dalam Kajian Gender adalah bahwa gender merupakan konstruk sosial. Namun meskipun tampak sederhana, hal itu tidak mudah dipahami. Penyebabnya adalah bahwa yang spontan kita rasakan kerapkali bersifat sebaliknya. Kita cenderung merasa menjadi laki-laki atau perempuan, alias memerankan maskulinitas atau femininitas, secara alami dan apa adanya saja. Gender kita seakan-akan sudah terberi, dan terperankan dengan sendirinya berdasarkan apa yang sudah ada dalam diri kita.</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Karena gender itu merupakan konstruk sosial, maka ia bersifat tidak statis dan tidak tunggal. Apa artinya menjadi perempuan atau menjadi laki-laki dapat berubah dari masa ke masa, dan tidak sama di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya, kalangan masyarakat yang satu dengan kalangan lainnya. Maka, salah satu cara yang relatif mudah dilakukan untuk mulai lebih bisa memahami (dalam arti: merasakan, menghayati) betapa gender merupakan konstruk sosial, adalah dengan mengamati budaya di tempat lain, kalangan lain, atau di masa lampau. Adakah yang terasa ganjil atau asing? Mungkin muncul pertanyaan spontan di benak kita, “laki-laki kok seperti itu, ya?” atau “perempuan mengapa bisa seperti ini, berbeda sekali dengan yang saya kenal?” Mungkin bahkan kita mengalami rasa jijik, risih, atau geli. Perasaan itulah yang dapat menjadi pengantara sebuah pemahaman baru. Seandainya ada semacam esensi femininitas atau maskulinitas yang dengan sendirinya terpancar keluar dari dalam setiap perempuan atau laki-laki, bukankah seharusnya tidak ada perbedaan? Maka dari situlah, kita mulai bisa menghayati betapa gender orang lain dan gender diri kita sendiri merupakan hasil konstruksi sosial, dan betapa konstruk tersebut berkaitan secara sangat spesifik dengan tempat tinggal kita, masa hidup kita, etnisitas kita, agama kita, kelas sosial kita, dan dengan berbagai faktor lainnya.</span></div>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span lang="id-ID">Saya sendiri geli dan agak bingung ketika pertama kali menonton video yang saya deskripsikan di atas. Lewat pencarian di google, saya mencoba memastikan: apakah yang dimaksudkan dalam video tersebut murni persahabatan, ataukah sebuah relasi homoseksual? Yang menambah kebingungan saya ada lirik lagunya, yang hanya bisa saya ikuti lewat </span><i>subtitle</i><span lang="id-ID">nya yang</span><i> </i>berbahasa Inggris. <span lang="id-ID">Lirik itu begitu mesra dan berbunga-bunga, sungguh terasa tidak lazim (bagi saya) sebagai sebuah ekspresi persahabatan antara laki-laki. Di momen ketika salah satu dari kedua laki-laki itu jatuh, misalnya, lirik yang dinyanyikan adalah seperti berikut:</span></span></div>
<blockquote style="background-color: white; border-color: rgb(0, 135, 190); border-image: initial; border-style: solid; border-width: 0px 0px 0px 3px; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; font-style: italic; margin: 1.75em 0.875em 1.75em -1.9em; padding: 0px 0px 0px 1.75em;">
<div align="justify" lang="id-ID" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">“If you would vanish for even one second, my eyes…</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">would not (be able) to see the world, come back to me…</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID">
<span style="color: black;">You are the delight of my eyes, my joy and my sorrow.”</span></div>
</blockquote>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span lang="id-ID">Duh, betapa romantisnya, seakan-akan rayuan antara dua orang kekasih! Namun sebagai hasil penelusuran saya, saya tidak menemukan indikasi apa pun bahwa ada unsur homoseksualitas dalam lagu nasyid yang unik ini. Komentar-komentar di youtube memuji lagu itu dari segi pesan religiusnya dan sebagai perayaan nilai persahabatan dan persaudaraan. </span><span lang="id-ID">Bahkan, ada beberapa komentar yang seakan-akan eksplisit menjawab respon spontan saya. </span><span lang="id-ID">“</span>Whoever says this is GAY are influenced by the West<span lang="hi-IN">,” </span>demikian bunyi salah satu komentar singkat tersebut. <span lang="id-ID">Di samping itu, terdapat lagu lain dari seniman yang sama, yang menggunakan bahasa berbunga-bunga yang serupa, namun kali ini untuk menggambarkan kecintaan terhadap Al Qur’an.</span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Saya dan mahasiswa saya umumnya berbeda latar belakang budaya, yaitu saya orang Jerman dan mayoritas mahasiswa saya orang Indonesia. Meskipun begitu, sejauh yang bisa saya nilai dari diskusi di kelas, bagi mereka pun video “Tawam Hanaya” terkesan ganjil. Misalnya, salah satu mahasiswi mengungkapkan bahwa baginya yang terkesan paling menggelikan adalah adegan ketika kedua laki-laki itu saling menyerahkan kado. Memang, kelas ramai dengan tawa tertahan di saat adegan tersebut diputar. Tampaknya, baik bagi mahasiswa, maupun bagi saya sendiri, prilaku semacam itu terkesan sangat tidak wajar antara dua orang sahabat laki-laki.</span></div>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span lang="id-ID">Jadi kesimpulan apa yang bisa kita tarik? Tepatkah kalau berdasarkan </span><span lang="id-ID">rasa asing yang kita alami saat menonton video “Tawam Hanaya”, kita kemudian menyimpulkan bahwa ternyata ada berbagai versi maskulinitas, di antaranya maskulinitas Yordania, maskulinitas Indonesia, dan maskulinitas Jerman, yang berbeda satu sama lain, dan eksis secara terpisah?</span></span></div>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span lang="id-ID">Saya rasa tidak sesederhana itu. Ma</span><span lang="id-ID">nusia</span><span lang="id-ID"> hidup dalam keterhubungan satu sama lain, bukan dalam keterpisahan, alias terisolasi. </span><span lang="id-ID">Di Indonesia, misalnya, </span><span lang="id-ID">kita</span><span lang="id-ID"> terekspos pada berbagai jenis produk budaya dari semua belahan dunia: Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Cina, </span><span lang="id-ID">Korea, </span><span lang="id-ID">Jepang, … </span><span lang="id-ID">Dalam hal itu, media massa memainkan peran vital. Dengan demikian, rujukan kita dalam proses </span><span lang="id-ID"><i>doing gender </i></span><span lang="id-ID">tidak tunggal. </span><span lang="id-ID">Dengan mudah, misalnya, kita dapat membayangkan seorang laki-laki Indonesia yang dalam proses </span><span lang="id-ID"><i>doing masculinity</i></span><span lang="id-ID">nya terpengaruh oleh kebiasaan di tempat asalnya, nilai etnis kedua orang tuanya (yang bisa saja berbeda satu sama lain), pendidikan sekolahnya, pendidikan agamanya (hidup di pesantren selama beberapa tahun, misalnya, </span><span lang="id-ID">atau menjalani pendidikan seminari</span><span lang="id-ID">), ditambah dengan pengaruh film Hollywood, artis Korea, sinetron religi, </span><span lang="id-ID">cerita-cerita wayang,</span><span lang="id-ID"> iklan rokok, di samping sekian pengaruh lain yang hampir mustahil disebut satu per satu. </span><span lang="id-ID">Sekian nilai, sosok, dan imaji yang dapat menjadi rujukan, sama sekali belum tentu membentuk sebuah kesatuan yang utuh. Maskulinitas-maskulinitas itu sangat mungkin bertentangan satu sama lain. </span><span lang="id-ID">B</span><span lang="id-ID">egitu pun dalam diri setiap laki-laki, konstruksi maskulinitas kerapkali penuh kontradiksi.</span></span></div>
<div align="justify" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span lang="id-ID">Kalau </span><span lang="id-ID"><i>gender </i></span><span lang="id-ID">ternyata sekompleks itu, bagaimana cara kita dapat mendekatinya? Menurut </span><span lang="id-ID">R.W. Connell (yang sekarang menggunakan nama Raewyn Connell), ahli kajian gender yang banyak menulis tentang maskulinitas, di antara sekian jenis maskulinitas, selalu ada yang bisa disebut dominan atau hegemonik. Maka salah satu pendekatan yang bisa kita lakukan adalah dengan bertanya, maskulinitas (atau femininitas) semacam apa yang menghegemoni dalam konteks tertentu? Lalu maskulinitas-maskulinitas lain (atau femininitas-femininitas lain) se</span><span lang="id-ID">mac</span><span lang="id-ID">am apa yang terdesak ke pinggir, tapi tetap eksis, dan tetap potensial menjadi rujukan dalam </span><span lang="id-ID"><i>doing gender</i></span><span lang="id-ID">? Potensi positif atau negatif apa yang terkandung dalam proses kompleks yang penuh kontradisi itu?</span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Kembali kepada video “Tawam Hanaya”. Apakah kita dapat mengasumsikan bahwa video “Tawam Hanaya” mewakili maskulinitas Yordania, atau mungkin maskulinitas Timur Tengah? Kita harus berhati-hati di sini. Sebuah produk budaya, misalnya teks media atau kesenian, tidak begitu saja bisa dianggap mengekspresikan nilai masyarakat secara keseluruhan. Saya belum pernah melakukan studi khusus tentang Yordania, sehingga saya tidak berani memberikan pernyataan apa pun mengenai permasalahan gender di negara tersebut. Namun yang berani saya simpulkan dari kehadiran nasyid “Tawam Hanaya” dan respon terhadapnya di internet adalah bahwa maskulinitas yang disajikan dalam videoclip tersebut dirasakan sebagai wajar, <i>mainstream</i>, dan positif oleh cukup banyak penontonnya. Kalau video yang sama terasa janggal bagi diri kita, maka itu adalah pengalaman menarik. Pluralitas dan kompleksitas <i>gender </i>menemukan bukti nyata dalam momen seperti itu. Maka justru momen-momen semacam itu yang kerapkali menyimpan potensi renungan-renungan menarik, sambil lebih mengenali cara kita <i>doing gender </i>dalam keseharian masing-masing.</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
</div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span style="font-weight: 700;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span style="font-weight: 700;">Daftar Rujukan</span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">R.W. Connell, <i>Masculinities</i>, edisi ke-2, University of California Press: Berkeley & Los Angeles, 2005</span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
</div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
</div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span style="font-weight: 700;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;"><span style="font-weight: 700;">Catatan</span></span></div>
<div align="justify" lang="id-ID" style="background-color: white; color: #383838; font-family: Georgia, "Times New Roman", serif; font-size: 19px; margin-bottom: 0.875em;">
<span style="color: black;">Saya tidak dapat memastikan apakah “Tawam Hanaya” merupakan transkripsi yang tepat dari judul lagu yang berbahasa Arab tersebut. Saya juga menemukan versi “Tawan Hanaya” dan “Tanwan Hanaya”. Apa arti judul lagu itu pun saya belum tahu, mungkin yang mahir bahasa Arab bisa membantu.</span></div>
Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-1427364430930437372018-01-18T21:33:00.000-08:002018-01-18T21:36:42.527-08:00Telembuk: kisah sebuah pemerkosaan<div align="center" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_HLX68TyyiOUiMzbdcwlEIvpPC2Ec3Td3Rm0psc6LUE5Dj180dPRYQPlDNf5aY8lXsjkx_uG_16VmmlfuclhhkpaNUgpWnT7MhbWdMAPXq434Se9YTYun86ulsXsj7Vml4hdUFXtcKq02/s1600/Telembuk.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="567" data-original-width="1080" height="168" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_HLX68TyyiOUiMzbdcwlEIvpPC2Ec3Td3Rm0psc6LUE5Dj180dPRYQPlDNf5aY8lXsjkx_uG_16VmmlfuclhhkpaNUgpWnT7MhbWdMAPXq434Se9YTYun86ulsXsj7Vml4hdUFXtcKq02/s320/Telembuk.jpg" width="320" /></a></div>
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Judul
novel Kedung Darma Romansha yang terbit tahun lalu (2017) ini mungkin
terkesan provokatif, lebih-lebih bagi orang yang akrab dengan bahasa
lokal yang digunakan: <i>Telembuk: dangdut dan kisah cinta yang
keparat</i><span style="font-style: normal;">. Mengapa topik semacam
itu dipilih untuk sebuah karya sastra? Apa perlunya dunia para
pekerja seks, penyanyi dangdut, serta klien dan penggemar mereka,
di</span><span style="font-style: normal;">gambarkan dalam sebuah
novel sepanjang 410 halaman? </span><span style="font-style: normal;">Dan
apa tujuannya? Apakah untuk mengajak kita mengecam </span><span style="font-style: normal;">prilaku
amoral mereka? Atau sebaliknya, untuk mendobrak nilai-nilai moral,
seperti yang dilakukan dalam beberapa karya sastra yang sempat
dihebohkan di ibu kota, seperti novel </span><i>Saman</i><span style="font-style: normal;">
dan </span><i>Larung </i><span style="font-style: normal;">karya Ayu
Utami, atau cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu? </span><span style="font-style: normal;">Saya
di sini akan berargumentasi bahwa kedua-duanya bukan tujuan novel
</span><i>Telembuk. </i><span style="font-style: normal;">Novel
</span><i>Telembuk </i><span style="font-style: normal;">menawarkan
sesuatu yang berbeda, yang justru menjadi alternatif menarik di
tengah </span><span style="font-style: normal;">kecenderungan-</span><span style="font-style: normal;">kecenderungan
dominan dalam sastra Indonesia kontemporer berkaitan dengan
representasi seksualitas. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><b>Dua
trend</b><i><b> </b></i><span style="font-style: normal;"><b>yang
saling berhadapan: fiksi “pembebasan seksual” dan fiksi dakwah</b></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Seksualitas
dan agama (Islam) merupakan dua “<i>trending topics</i><span style="font-style: normal;">”
utama di dunia fiksi<a class="sdfootnoteanc" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote1sym" name="sdfootnote1anc"><sup>1</sup></a>
Indonesia dalam beberapa dekade ini, khususnya sejak masa reformasi.
Yang saya maksudkan dengan istilah “</span><i>trending topics</i><span style="font-style: normal;">”
bukanlah bahwa jumlah karya dengan kedua topik tersebut sangat
dominan. </span><span style="font-style: normal;">Saya tidak melakukan
evaluasi secara keseluruhan terhadap karya yang terbi</span><span style="font-style: normal;">t</span><span style="font-style: normal;">
di era yang dimaksudkan, juga belum pernah menemukan data statistik
</span><span style="font-style: normal;">berkaitan dengan persoalan
tersebut</span><span style="font-style: normal;">. Dengan istilah
“</span><i>trending topics</i><span style="font-style: normal;">”
saya merujuk pada wacana dominan: kedua topik itu hangat dibicarakan,
diperdebatkan, juga dirayakan. </span><span style="font-style: normal;">Karya
dengan topik lain terbit dalam jumlah yang tidak kecil, namun tidak
disambut dengan pembahasan yang seantusias itu, sehingga cenderung
tidak memasuki wacana publik di luar kalangan sastrawan dan pemerhati
sastra secara khusus.</span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Kedua
trend tersebut cenderung saling berhadapan, dalam arti bahwa
kedua-duanya bersifat sangat moralis, namu</span><span style="font-style: normal;">n</span><span style="font-style: normal;">
pesan moral yang disampaikan bertentangan satu sama lain. </span><span style="font-style: normal;">Fiksi
dengan pesan “pembebasan seksual” mulai bermunculan pada akhir
tahun 90an, dengan novel </span><i>Saman </i><span style="font-style: normal;">karya
Ayu Utami sebagai momen awal. </span><span style="font-style: normal;">Saya
</span><span style="font-style: normal;">telah </span><span style="font-style: normal;">menganalisis
trend tersebut secara kritis </span><span style="font-style: normal;">dari
berbagai perspektif dalam beberapa tahun belakangan ini.<a class="sdfootnoteanc" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote2sym" name="sdfootnote2anc"><sup>2</sup></a>
Analisis tersebut tidak perlu saya paparkan </span><span style="font-style: normal;">ulang
di sini. </span><span style="font-style: normal;">Secara singkat dapat
diutarakan bahwa karya-karya tersebut </span><span style="font-style: normal;">merepresentasikan
norma seksual </span><span style="font-style: normal;">yang dianut
oleh </span><span style="font-style: normal;">mayoritas masyarakat
Indonesia sebagai kelewat tertutup dan kolot, dan membawa pesan yang
mengarah pada pendobrakan terhadap berbagai macam tabu seksual. </span><span style="font-style: normal;">Gaya
hidup yang “lebih bebas” tersebut direpresentasikan sebagai lebih
maju dan membahagiakan. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Kalau
pesan moral mengenai “pembebasan seksual” tersebut umumnya
tersampaikan secara implisit sehingga mayoritas pembaca tidak
mempersepsi karya-karya tersebut sebagai moralis, kasusnya sangat
berbeda dengan trend kedua, yaitu trend fiksi islami. Karya-karya
yang tergolong fiksi islami ini secara eksplisit diposisikan sebagai
alat dakwah, dan dengan demikian pesan moral </span><span style="font-style: normal;">dikemukakan
</span><span style="font-style: normal;">secara</span><span style="font-style: normal;">
terbuka. </span><span style="font-style: normal;">Pesan yang dibawa
tersebut seringkali bertentangan secara langsung dengan karya
“pembebas</span><span style="font-style: normal;">an</span><span style="font-style: normal;">
seksual” (dan mungkin memang dimaksudkan antara lain sebagai respon
terhadap jenis karya tersebut). </span><span style="font-style: normal;">Gaya
hidup yang dianjurkan lewat fiksi </span><span style="font-style: normal;">i</span><span style="font-style: normal;">slami
</span><span style="font-style: normal;">adalah gaya hidup yang
didasarkan pada tuntunan agama, termasuk dalam hal norma seksual. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Dalam
kaitan dengan gaya hidup tersebut, saya menilai bahwa fiksi populer
yang berlabel “islami” semacam itu dapat dipahami sebagai bagian
dari politik identitas Islam yang menguat sejak berakhirnya Orde
Baru. Politik identitas tersebut di</span><span style="font-style: normal;">tandai
oleh</span><span style="font-style: normal;"> membludaknya berbagai
produk khusus yang dapat dikonsumsi dalam rangka mengekspresikan
identitas Islam. Buku populer menjadi bagian dari kecenderungan
tersebut, dengan fiksi islami sebagai salah satu genrenya. </span><span style="font-style: normal;">Dalam
konteks itu, fiksi islami menjadi produk yang konsumsinya berstatus
sebagai bagian dari politik Islam (orang mengekspresikan keislamannya
dengan cara membeli dan membaca buku semacam itu), dan </span><span style="font-style: normal;">sekaligus,
lewat isinya dan cover bukunya,</span><span style="font-style: normal;">
menjadi afirmasi terhadap berbagai bentuk gaya hidup “islami”
yang lain, misalnya lewat plot yang menekankan pentingnya ekspresi
keislaman </span><span style="font-style: normal;">yang bersifat
</span><span style="font-style: normal;">publik, seperti busana,
sholat berjamaah, dan sebagainya.</span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Menurut
hemat saya, apa yang dapat ditawarkan lewat politik identitas semacam
itu cenderung sangat terbatas, dan agak bermasalah. Umumnya fiksi
islami mengandung pesan-pesan moral yang sangat kuat dan relatif
disederhanakan. </span><span style="font-style: normal;">Dengan
demikian, penggambaran menjadi hitam-putih, dan kompleksitas
kehidupan manusia tidak terepresentasikan secara utuh. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><b>Mencari
alternatif, </b><b>meninggalkan
moralisme</b></span></div>
<div align="justify" style="font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Kecenderungan-kecenderungan yang secara singkat saya bahas di atas,
terutama sekali trend wacana “pembebasan seksual”, sudah cukup
sering saya kritik dari berbagai perspektif. Pada saat ini, yang
ingin saya lakukan bukanlah melanjutkan pembahasan kritis tersebut.
Sebaliknya, saya memilih untuk mencari karya yang membawa perspektif
berbeda daripada yang umumnya kita temukan dalam novel atau cerpen
jenis <i>mainstream</i>, baik jenis “pembebasan seksual”, maupun
fiksi islami. Di antara karya yang saya anggap potensial dan relevan
dipandang sebagai alternatif, <i>Telembuk </i><span style="font-style: normal;">karya</span>
Kedung Darma Romansha merupakan salah satu yang paling menarik. Novel
ini membawa kita ke dunia pedesaan di pulau Jawa, khususnya daerah
Indramayu. Tokoh-tokohnya mayoritas orang-orang sederhana, misalnya
buruh, petani, atau pedagang, dengan catatan bahwa sebagian bekerja
di dunia hiburan (dangdut) dan di dunia prostitusi. Kalau diposisikan
di tengah sastra Indonesia secara lebih luas, pilihan tokoh semacam
itu sangatlah menarik, khususnya terkait representasi seksualitas.
Tokoh-tokoh “pendobrak tabu seksual” dalam jenis fiksi
“pemberbasan seksual” yang saya bicarakan di atas, umumnya
digambarkan sebagai bagian dari kelas menengah yang hidup di kota
besar. Trend budaya populer islami pun cenderung lebih berpengaruh di
perkotaan, di khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah yang
mampu berpolitik identitas lewat konsumsi produk-produk berlabel
islami. Saat kita meninggalkan setting metropolitan dan kelas
menengah tersebut, representasi seksualitas (dan representasi agama)
menjadi seperti apa?
</span></div>
<div align="justify" style="font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Novel <i>Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat </i>karya
Kedung Darma Romansha (2017) memiliki tokoh yang sangat beragam.
Tokoh utamanya, Safitri, adalah seorang penyanyi dangdut dan pekerja
seks. Kisahnya diceritakan dari sekian perspektif, dengan melibatkan
orang-orang yang mengenalnya. Kisah mereka masing-masing penuh
kompleksitas, kerapkali juga penuh misteri (dalam arti bahwa mereka
menyimpan rahasia atau menyembunyikan aib, yang tidak selalu berhasil
digali oleh sang pencerita dalam novel tersebut). Yang mana
pahlawannya, dan yang mana penjahatnya? Sulit sekali ditentukan.
Kalau kita mencari sebuah pesan moral yang mudah ditangkap dalam
novel itu, kita akan kecewa. Seksualitas terus-menerus dibicarakan,
dan kata-kata yang relatif vulgar dan eksplisit bertebaran dalam
obrolan para tokohnya. Namun konteksnya bukanlah sebuah “pembebasan”
atau pendobrakan tabu. Kevulgaran tersebut tidak terhindarkan demi
sebuah penggambaran realistis atas lingkungan pergaulan yang
dijadikan fokus dalam novel tersebut. Pembaca diajak memasuki sebuah
dunia yang meriah dan gembira, sekaligus kasar dan kejam. Kenikmatan
dan penderitaan saling berdampingan, begitu juga eksploitasi dan
kesetiakawanan.
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Di tengah lingkungan itu, apalah agama masih memiliki peran? Dalam
novel <i>Telembuk</i>, kita tidak menemukan dikotomi yang jelas dan
sederhana antara manusia taat dan manusia yang ingkar. Meskipun norma
agama kerapkali dilanggar oleh sebagian besar tokohnya, dan bahkan
dosa-dosa yang tidak ringan seperti berzinah dan minum alkohol sangat
umum dilakukan, agama tetap berperan dalam kehidupan mereka. Agama
menjadi salah satu unsur keseharian yang dengan sendirinya selalu
hadir di lingkungan pedesaan Jawa yang menjadi tempat berlangsungnya
kisah novel ini, dan membentuk tokoh-tokohnya sejak kecil. Di samping
itu, penggambaran yang disajikan cenderung mementahkan segala usaha
kita (sebagai pembaca) untuk mengambil kesimpulan mengenai
baik-buruknya tokoh yang kita hadapi. Ibadah bisa saja hanya
berfungsi untuk pencitraan, pendakwah bisa berubah menjadi pemabuk,
dan laki-laki jahat yang mengaku sebagai biang keladi segala
penderitaan tokoh utama, mendadak menyesali diri dan bertanya-tanya
tentang Tuhan.
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><b>P</b></span><span style="font-style: normal;"><b>emerkosaan
sebagai topik langka </b></span><span style="font-style: normal;"><b>dalam
sastra Indonesia</b></span></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Di tengah kemunculan seksualitas sebagai <i>trending topic </i>seperti
yang saya bahas di atas, apakah kita menemukan perhatian khusus
terhadap masalah kekerasan seksual? Sejauh yang saya amati, topik itu
sama sekali tidak menjadi fokus perhatian, meskipun terkadang
dimunculkan dalam karya. Misalnya, salah satu cerpen karya Djenar
Maesa Ayu yang cukup mendapat perhatian adalah cerpen “Menyusu
Ayah” (kumcer <i>Jangan Main-</i><i>M</i><i>ain (</i><i>D</i><i>engan
</i><i>K</i><i>elaminmu)</i>, 2004). Cerpen tersebut berkisah tentang
seks oral antara seorang ayah dan anak perempuannya yang masih kecil,
dimana sang anak meminum sperma dari penis ayahnya selayaknya anak
menyusu pada ibunya. Bagi saya, cerpen tersebut cukup ganjil, sebab
tidak ada ketegasan sama sekali dalam penilaian terhadap peristiwa
tersebut. Bukankah prilaku seorang ayah semacam itu merupakan
kekerasan seksual yang sangat mencolok? Namun tampaknya yang menjadi
fokus utama dalam cerpen itu, sejalan dengan karya Djenar lainnya,
bukanlah unsur kejahatan dan trauma seksual, tapi unsur keterbukaan
dan pendobrakan tabu. Cerpen-cerpen Djenar merayakan kebebasan untuk
membicarakan seksualitas dalam berbagai bentuk di ranah publik (lewat
karya sastra). Status pengalaman seksual yang digambarkan – apakah
sukarela atau dipaksa, traumatis atau menyenangkan – seakan-akan
menjadi sekunder.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Keadaan yang sangat berbeda berlaku untuk karya Kedung Darma
Romansha. Salah satu jenis kekerasan seksual yang paling ekstrim,
yaitu pemerkosaan, dialami oleh tokoh utama. Dan dalam novel
<i>Telembuk</i>, pemerkosaan bahkan menjadi titik awal keseluruhan
kisah perjuangan dan penderitaan tokoh utamanya, Safitri. Safitri
diperkosa, dan kemudian hamil akibat pemerkosaan itu, di usia yang
masih remaja. Karena stres, trauma, dan tidak tahu apa yang mesti
diperbuatnya dalam keadaan tersebut, Safitri minggat dari rumah, lalu
akhirnya menjadi pekerja seks (<i>telembuk</i>, dalam bahasa lokal)
dan penyanyi dangdut.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Alur cerita novel <i>Telembuk </i>secara keseluruhan berkaitan erat
dengan topik pemerkosaan tersebut. Pencerita (narator), yang
merupakan teman sekampung Safitri, berkisah penuh lompatan-lompatan
antara masa kini dan masa lalu, sambil berusaha menelusuri, tepatnya
apa yang terjadi pada Safitri. Siapa yang menghamilinya? Benarkah
yang terjadi adalah pemerkosaan, ataukah kehamilan itu merupakan
hasil pergaulannya dengan Mukimin, pemuda yang menjadi kekasihnya di
saat itu? Kalau memang ada sebuah pemerkosaan, maka siapa pelakunya,
dan tepatnya bagaimana kejadiannya? Agak mirip seperti dalam sebuah
novel kriminal, pembaca diajak berkenalan dengan sekian tokoh dan
menyimak sekian informasi, yang semuanya mungkin saja relevan dalam
menjawab teka-teki seputar peristiwa pemerkosaan Safitri, tapi
mungkin juga tidak berkaitan. Hanya saja, berbeda dengan novel
kriminal yang sesungguhnya, <i>Telembuk </i>tidak memberi jawaban. Di
akhir novel, kita tetap tidak memperoleh kepastian mengenai duduk
perkara pemerkosaan itu. Safitri akhirnya bercerita tentang apa yang
dialaminya pada malam kejadian, yang oleh Safitri kerapkali disebut
sebagai “malam keparat”, namun disebabkan oleh traumanya, ingatan
Safitri buram dan bolong-bolong:</span></div>
<blockquote class="tr_bq" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
<span style="color: #660000; font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">“Aku mencoba mengingat siapa laki-laki itu.<br /> ‘Tidak! Bukan dia orangnya. Tidak mungkin!’<br /> Aku berusaha lari dari kejaran sesosok wajah gelap yang selama ini mengintaiku. Aku tutup wajahku rapat-rapat. Aku coba mengingat-ingat tapi tak bisa. Malam itu aku seperti dibius.<br /> Dengan gusar aku coba memberontak. Tanganku terus bergerak-gerak dengan berat, berusaha meraih benda entah apa di kanan-kiriku. Tapi tak bisa. Dengan cepat tangan si lelaki mulai mencengkeram kedua tanganku. Napas lelaki itu bagai anjing yang lapar. Bau debu basah, keringat, parfum murahan, tahi tikus, menguar di kamar itu. Selangkanganku sakit, tubuhku ngilu, dan napasku sesak. Aku terus menangis sambil menahan sakit.” (<i>Telembuk</i>, hlm. 379-380).</span></blockquote>
<br />
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<style type="text/css">
@page { margin: 0.79in }
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }
</style>
</div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Demikian sepotong kisah Safitri mengenai kejadian tersebut. Sekian
detail kecil mengenai keadaan di kamar tersebut terekam dalam
ingatannya, namun karena kengerian yang amat sangat, sosok atau wajah
pelakunya tidak mampu diingatnya. Dengan demikian, trauma korban
membentuk alur cerita secara sangat substansial. Karena Safitri tidak
bisa atau tidak mau mengingat pelakunya, maka teka-teki yang dibawa
sepanjang novel, pada akhirnya tidak terjawab. Di samping itu, tidak
terjawabnya teka-teki tersebut juga dapat kita kaitkan dengan
kenyataan bahwa kasus pemerkosaan tersebut sama sekali tidak
ditangani oleh yang berwenang. Tidak ada laporan ke polisi, ataupun
sidang pengadilan. Bahkan, gagasan bahwa peristiwa itu merupakan
sebuah tindakan kriminal yang seharusnya dilaporkan, sekalipun tidak
muncul. Yang tertarik untuk memikirkan dan mengusutnya hanyalah sang
pencerita, seorang penulis muda yang tidak memiliki otoritas apapun
dalam hal itu.</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Pemerkosaan hadir sebagai momen yang sangat mengerikan dan traumatis
dalam novel <i>Telembuk</i>. Namun dalam konteks lingkungan pedesaan
dimana kisah tersebut berlangsung, kengerian tersebut hanya disimpan
sendiri oleh korban atau orang-orang terdekatnya. Selain tidak ada
penyelesaian secara hukum, juga tidak ada pengakuan terhadap
penderitaan korban di tengah masyarakatnya, atau pendampingan apa pun
untuk meringankan trauma, misalnya secara agama atau secara
medis/psikologis. Pemerkosaan seakan-akan bersifat sangat mengerikan
pada satu sisi, tapi sekaligus sangat sehari-hari pada sisi lain.
Pemerkosaan hanyalah salah satu dari sekian musibah yang biasa
menimpa perempuan-perempuan di lingkungan yang digambarkan, yang
kemudian dihadapi secara pribadi tanpa diekspos secara lebih luas dan
ditangani secara lebih serius, seperti yang mungkin akan terjadi
dalam kasus serupa di lingkungan kelas menengah perkotaan.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;">Me</span><span style="font-style: normal;">skipun
tidak semua </span><span style="font-style: normal;">tokoh</span><span style="font-style: normal;">
digambarkan sebagai Muslim taat, </span><span style="font-style: normal;">bahkan
sebagian besar sangat jauh dari ketaatan, bukan berarti bahwa agama
tidak memiliki peran dalam kehidupan mereka.</span><span style="font-style: normal;">
</span><span style="font-style: normal;">D</span><span style="font-style: normal;">alam
menghadapi berbagai persoalan hidup, tetaplah nilai agama yang
menjadi rujukan. </span><span style="font-style: normal;">Demikian pun
dengan persoalan pemerkosaan. </span><span style="font-style: normal;">Dalam
salah satu </span><span style="font-style: normal;">adegan yang cukup
menarik, </span><span style="font-style: normal;">d</span><span style="font-style: normal;">ikisahkan
betapa salah satu tokoh, seorang laki-laki bernama Sondak, mengakui
keterlibatannya dalam musibah yang menimpa Safitri (meskipun
tampaknya bukan dia sendiri yang melakukan pemerkosaan terhadap
Safitri). Pengakuan tersebut terjadi dalam sebuah dialog antara
dirinya dengan Abah Somad, </span><i>kemit</i><span style="font-style: normal;">
masjid setempat yang </span><span style="font-style: normal;">mungkin
bisa diklasifikasi sebagai “tokoh sufi”nya novel tersebut. Sondak
menangis di hadapan Abah Somad, menyesali dosa-dosanya. Kemudian
terjadi percakapan seperti berikut antara kedua laki-laki tersebut:</span></span></div>
<blockquote class="tr_bq" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="color: #660000;">“Alloh Maha Pengampun, Dak. Kalau kamu memang sungguh-sungguh bertobat.”<br /> “Lalu bagaimana tentang orang-orang yang aku sakiti, Bah?”<br /> “Takdir itu bukan wilayah manusia, Dak. Wilayah manusia hanya di nasib.”<br /> “Kenapa Alloh sepengampun itu ya, Bah? Tidak masuk akal menurutku.”<br /> Abah Somad tertawa, lalu ia berkata, “Dak…, Dak…, jangan kamu pikirkan itu. Kayak Tuhan saja.” (<i>Telembuk</i>, hlm. 358)</span></span></blockquote>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<style type="text/css">
@page { margin: 0.79in }
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }
</style>
</div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Berkat eksperimen gaya penceritaan yang dilakukan oleh Kedung Darma
Romansha dalam novelnya tersebut, adegan tersebut kemudian
tertandingi. Di beberapa bagian novel tersebut, tokoh-tokoh cerita
mendadak muncul, berhadapan langsung dengan penceritanya, dan
berdialog mengenai kisah yang sudah diceritakan. Alasan kemunculan
mereka adalah karena mereka berkeberatan terhadap unsur cerita
tertentu. Demikian pun Safitri sendiri yang lantang mengutarakan
protes berkaitan dengan adegan di atas:</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="color: #660000; font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">“Begini, An, kenapa Sondak dosanya diampuni?! Padahal dia sangat keji perlakuannya padaku. […] Enak sekali tiba-tiba bertobat, terus diampuni. Sementara aku ke mana-mana menderita, jadi telembuk, dihina, mau dibunuh, itu semua gara-gara dia awalnya. Nah, sekarang dia seenaknya saja diampuni seluruh dosa-dosanya. Apa-apaan itu?” (<i>Telembuk</i>, hlm. 371)</span></blockquote>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Apa yang diutarakan dengan agak jenaka lewat eksperimen gaya tulis
ini, tentu pada dasarnya sama sekali bukan persoalan sederhana.
Masalah agama yang pelik seputar keadilan dan pengampunan dilontarkan
lewat kedua adegan tersebut. Allah Maha Adil dan Maha Pengampun
sekaligus – bagaimanakah kedua sifatNya itu dapat dipahami secara
bersamaan? Tampaknya, perspektif seorang korban pemerkosaan dengan
perspektif pelakunya (dalam arti: biang keladinya) tidak tersatukan
dalam permasalahan pelik semacam itu.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
</div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<b><span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Pelanggaran norma: buat apa dibicarakan?</span></b></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Masyarakat pedesaan yang digambarkan dalam novel <i>Telembuk</i>
bersifat cukup agamis, dalam arti bahwa kegiatan agama memainkan
peran yang tidak kecil dalam kehidupan bersama. Sebagian penduduk,
termasuk beberapa di antara tokoh yang berperan penting di novel itu,
belajar di pondok pesantren selama beberapa tahun. Namun bersamaan
dengan itu, pelanggaran norma sangat umum dan lazim dilakukan dalam
keseharian. Sebagian laki-laki digambarkan gemar berkumpul sambil
minum-minum, tidak jarang sampai mabuk. Hubungan seks di luar nikah,
juga <i>n</i><i>elembuk </i>alias menggunakan jasa pekerja seks, pun
umum dilakukan. (Bahkan, disebutkan bahwa sebagian istri yang sedang
bekerja di luar negeri sebagai buruh migran, sengaja menyediakan
anggaran buat <i>nelembuk</i>
sebagai bagian dari kiriman bulanannya, dengan harapan agar dengan
demikian sang suami terpuaskan, dan tidak tergoda untuk menjalin
hubungan permanen dengan perempuan lain.)
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"> Fokus
utama dalam novel <i>Telembuk
</i>adalah deskripsi
mendetail terhadap lingkungan sosial yang
digambarkannya, dengan
tujuan untuk memahaminya, bukan untuk menghakimi ataupun
merayakannya. Pelanggaran
norma digambarkan di tengah kompleksitas kondisi hidup, dimana segala
sesuatu terjadi bukan tanpa alasan, tapi juga bukan dengan penyebab
yang dapat diidentifikasi secara sangat sederhana. Di
antara faktor yang digambarkan sebagai pendorong bagi tokoh yang
secara substansial dan sengaja melanggar norma, ada kesulitan
ekonomi, masalah keluarga,
kekecewaan dalam relasi cinta, dan pengalaman traumatis. Namun
identifikasi terhadap faktor tersebut tetap direpresentasikan sebagai
hal yang sangat subjektif, yang
sulit diverifikasi ketepatannya. Misalnya, sambil lalu tokoh Aan
(selaku narator) memunculkan pertanyaan mengenai kehidupan salah satu
tokoh perempuan, Wartiah (tokoh
yang tidak memainkan peran penting dalam novel tersebut):
mengapa Wartiah menjadi <i>telembuk</i>?
Menurut pendapat salah
satu teman mereka yang bernama Keriting, “desakan ekonomi yang
membuatnya seperti itu” - “alasan yang klise” menurut Aan, dan
di samping itu, keluarga Wartiah tidaklah miskin. Menurut analisisnya
sendiri, Wartiah kecewa setelah menyaksikan suaminya berselingkuh,
kemudian setelah bercerai dari suami tersebut, dia akhirnya memilih
menjadi pekerja seks.<a class="sdfootnoteanc" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote3sym" name="sdfootnote3anc"><sup>3</sup></a>
Karena ingin lebih
memahami persoalan tersebut, Aan akhirnya menemui Wartiah:</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"> </span></div>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<span style="color: #660000; font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">“‘Sudah kerjanya enak, dapat duit lagi,’ ujar Wartiah sambil tertawa kecil. Aku sendiri tidak tahu apakah waktu itu dia berkata jujur atau tidak. Tapi aku lihat di raut wajahnya tidak tampak ada beban.” (<i>Telembuk</i>, hlm. 261)</span></blockquote>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Terekspresikan
dengan jelas lewat kasus Wartiah ini betapa sulitnya menilai
kehidupan manusia. Aan dan Keriting masing-masing punya analisis
terhadap kesulitan hidupnya, sedangkan Wartiah sendiri seakan-akan
menjalani pekerjaan yang bertentangan dengan nilai agama tersebut
dengan enteng dan tanpa beban. Namun jujurkah Wartiah? Pendapat siapa
yang benar? Tidak ada kepastian mengenai hal itu.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"> Namun
meskipun penilaian terhadap prilaku manusia menjadi demikian sulit,
tetap saja ada pola tertentu yang terlihat, yaitu bahwa umumnya
pengalaman buruklah yang digambarkan sebagai penyebab mengapa
seseorang terjerumus ke dalam kehidupan yang menyalahi norma agama.
Hal itu terlihat dengan paling jelas dalam kasus tokoh utamanya
sendiri, Safitri, yang menjadi <i>telembuk </i>disebabkan pemerkosaan
yang dialaminya. Dan meskipun <span style="font-weight: normal;">pengalaman</span><span style="font-weight: normal;">nya</span><span style="font-weight: normal;">
setraumatis </span><span style="font-weight: normal;">itu</span><span style="font-weight: normal;">,
di tengah pekerjaannya sebagai penyanyi dangdut dan pekerja seks,
</span><span style="font-weight: normal;">Safitri
</span><span style="font-weight: normal;">terus-menerus
merindukan kemunculan laki-laki yang dapat dipercaya dan diajak
membangun </span><span style="font-weight: normal;">sebuah</span><span style="font-weight: normal;">
rumah tangga baik-baik. </span><span style="font-weight: normal;">Artinya,
apa yang diimpikan oleh tokoh perempuan tetaplah kehidupan yang
sesuai dengan norma – mirisnya, dia terus menerus </span><span style="font-weight: normal;">ditipu
dan</span><span style="font-weight: normal;">
dibohongi, dan impiannya tidak pernah terwujud. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-weight: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Penggambaran
pengalaman perempuan tersebut, </span><span style="font-style: normal;">yaitu
</span><span style="font-style: normal;">representasi
penderitaan perempuan yang disebabkan oleh prilaku laki-laki yang
melanggar moralitas agama, menghadirkan aspek fungsi agama </span><span style="font-style: normal;">sebagai
pengekang hasrat yang sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan
perempuan. Aspek tersebut </span><span style="font-style: normal;">cenderung
diabaikan dalam karya </span><i>mainstream</i><span style="font-style: normal;">,
terutama sekali dalam fiksi bercorak “pembebasan seksual”. Fiksi
</span><i>mainstream
</i><span style="font-style: normal;">tersebut
menggambarkan pelanggaran norma sebagai pembebasan, </span><span style="font-style: normal;">baik
bagi tokoh perempuan maupun laki-laki. Realitas masyarakat dimana
perempuan dilukai dan dirugikan lewat pelanggaran nilai yang
dilakukan oleh laki-laki, seakan-akan boleh dilupakan begitu saja.
Padahal, bukankah justru pengalaman buruk semacam itu menjadi masalah
yang jauh lebih mendasar dan mendesak bagi mayoritas perempuan
Indonesia, daripada sebuah “pembebasan seksual”?</span><i>
</i>
</span></div>
<div align="justify" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">
Pada saat yang sama, bagi saya novel <i>Telembuk </i>menawarkan
perspektif yang jauh lebih menarik daripada apa yang umumnya
ditawarkan novel-novel populer islami. Seandainya pun sebuah novel
dengan tujuan dakwah mengangkat tokoh pekerja seks dan penyanyi
dangdut, pastilah tokoh tersebut harus dibuat “taubat” dalam arti
mengubah gaya hidup secara mencolok sehingga mendadak menjadi
“perempuan baik-baik”. <i>Telembuk</i> berhasil membuat kita
simpati pada tokoh utamanya, tanpa adanya “pertaubatan” semacam
itu. Di samping itu, kita diajak untuk secara lebih realistis
mengenal kehidupan sang tokoh: Safitri bukan tidak mau menjadi istri
baik-baik, namun sekian kali dia dikecewakan saat berusaha meraih
kehidupan yang lebih baik dan sesuai norma.
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Lalu
bagaimana dengan para laki-laki, yang kelakuannya juga digambarkan
dengan berbagai detail dalam novel <i>Telembuk </i>ini? Mengapa
begitu banyak laki-laki yang sibuk mabuk-mabukan, lepas kontrol
sambil menonton dangdut, <i>nelembuk</i>, berkelahi tanpa alasan yang
jelas, atau bahkan menjadi pemerkosa? Ada apa yang salah dengan
kehidupan mereka, sehingga prilaku mereka menjadi cenderung
destruktif seperti itu?
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"> Karena
novel <i>Telembuk </i>lebih berfokus pada usaha memahami tokoh
perempuannya, terutama Safitri, pertanyaan mengenai prilaku para
laki-laki tersebut dibiarkan tetap terbuka. Sebagai pembaca, saya
tidak merasa diajak memahami mereka dengan cara yang sama seperti
saya diajak untuk memahami Safitri. Mungkin Kedung sebagai penulis
pun belum memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai
konstruksi maskulinitas yang kasar dan agresif semacam itu. Siapa
tahu topik tersebut bisa diperdalam dalam karya-karya lain di masa
depan.</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;"> </span><span style="font-style: normal;">Sebuah
jawaban tentatif mungkin bisa kita peroleh dengan </span><span style="font-style: normal;">cara</span><span style="font-style: normal;">
sekali lagi mengutip ungkapan Abah Somad, saat menasehati Sondak
dalam adegan yang sudah disebut di atas: </span>
</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;"><br /><span style="color: #660000;">“Abah hanya kemit masjid. Tugasku itu hanya membersihkan masjid, mengurusnya sampai mati. Setiap kali membersihkan masjid, abah merasa sedang membersihkan diri sendiri.” (<i>Telembuk</i>, hlm. 356)<br /><br /> “Abah melakukan pekerjaan abah dengan sebaik mungkin. Kamu juga mesti begitu. Nah, kebetulan abah menjadi kemit masjid, maka abah harus menjadi kemit masjid yang terbaik. Karena pekerjaan kemit masjid itu kelebihan abah” (<i>Telembuk</i>, hlm. 357)</span></span></blockquote>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"> Sebuah
konsep menarik mengenai pekerjaan manusia diekspresikan di sini,
dimana pekerjaan dilakukan bukan demi uang atau status, tapi untuk
memberi makna pada kehidupannya dan demi pembersihan diri. Tentu
bukan itulah yang umumnya dijalani orang di tengah sekian desakan
ekonomi dan godaan konsumi dalam masyarakat kontemporer. Di sebuah
daerah dengan akses pendidikan terbatas, dimana demi pemenuhan
kebutuhan dan hasrat ekonomi sebagian perempuan berangkat menjadi
buruh migran, atau bahkan memilih menjadi <i>telembuk</i><span style="font-style: normal;">,
mungkin para laki-laki pun semakin kehilangan arah dan makna dalam
kehidupan. </span>
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><b><span style="font-style: normal;">K</span><span style="font-style: normal;">esimpulan:
</span><i>Telembuk </i><span style="font-style: normal;">sebagai novel
dakwah</span></b></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; text-decoration: none; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><span style="font-style: normal;">Bagi
saya, dengan judul yang mungkin terkesan cabul pada pandangan
pertama, novel </span><i>Telembuk </i><span style="font-style: normal;">yang
mengajak kita memahami manusia tanpa menghakiminya, sambil
menyisipkan pesan-pesan spiritual yang sederhana tapi dalam, pada
dasarnya merupakan novel dakwah yang kuat dan menyentuh, dengan model
dakwah yang mengutamakan </span><span style="font-style: normal;">respek,
pemahaman,</span><span style="font-style: normal;"> dan kasih sayang.</span></span></div>
<div align="justify" style="font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br />
</span></div>
<div align="justify" style="font-weight: normal; line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-style: normal;"><b>D</b></span><span style="font-style: normal;"><b>aftar
Pustaka</b></span></span></div>
<div style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span lang="id-ID" style="color: #444444;">Bandel,
Katrin, </span><span lang="id-ID" style="color: #444444;"><i>Sastra Perempuan Seks</i></span><span lang="id-ID" style="color: #444444;">,
Jalasutra: Yogyakarta, 2006</span></span></div>
<div style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #444444;"><span lang="id-ID"><span style="font-style: normal;">-
</span></span><span lang="id-ID"><i>Sastra Nasionalisme
Pascakolonialitas</i></span><span lang="id-ID"><span style="font-style: normal;">,
Pustaha Hariara: Yogyakarta, 2013</span></span></span><span style="color: #444444;"><span lang="id-ID"><span style="font-style: normal;">-
</span></span><span lang="id-ID"><i>Kajian Gender dalam Konteks
Pascakolonial</i></span><span lang="id-ID"><span style="font-style: normal;">,
Sanata Dharma University Press: Yogyakarta, 2016</span></span></span><span style="color: #444444;"><span lang="id-ID"><br /></span></span></span></div>
<div style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span lang="id-ID">Kedung Darma
Romansha, </span><span lang="id-ID"><i>Telembuk: Dangdut dan Kisah
Cinta yang Keparat</i></span><span lang="id-ID">, </span><span lang="id-ID">Indie
Book Corner: Yogyakarta,</span><span lang="id-ID"> 2017</span></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "liberation" serif , serif;"><span lang="id-ID"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span lang="id-ID"><br /></span></span></div>
<div align="justify" style="font-style: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span lang="id-ID"><b>Catatan Kaki</b></span></span></div>
<div id="sdfootnote1">
<div class="sdfootnote">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><a class="sdfootnotesym" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote1anc" name="sdfootnote1sym">1</a> Saya
sengaja menggunakan istilah “fiksi” di sini, bukan “sastra”.
Sebagian karya yang dimaksud berupa bacaan populer, yang belum tentu
dapat digolongkan sebagai bagian dari sastra.
</span></div>
<div class="sdfootnote">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
</div>
<div id="sdfootnote2">
<div class="sdfootnote">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><a class="sdfootnotesym" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote2anc" name="sdfootnote2sym">2</a> Pembahasan
tersebut berkaitan terutama dengan karya Ayu Utami dan Djenar Maesa
Ayu, sebagai wakil dari sebuah kecenderungan yang terkadang dinamai
“sastrawangi” dalam wacana publik seputarnya. Lihat Bandel 2006,
2013, dan 2016.</span></div>
</div>
<style type="text/css">
@page { margin: 0.79in }
p.sdfootnote { margin-left: 0.24in; text-indent: -0.24in; margin-bottom: 0in; font-size: 10pt; line-height: 100% }
h4 { margin-top: 0.19in; margin-bottom: 0.19in; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; page-break-after: auto }
h4.western { font-family: "Liberation Serif", serif; so-language: en-US }
h4.cjk { font-family: "Noto Sans CJK SC Regular"; so-language: en-US }
h4.ctl { font-family: "Times New Roman"; so-language: ar-SA }
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }
a.sdfootnoteanc { font-size: 57% }
</style>
<br />
<div id="sdfootnote3">
<div class="sdfootnote">
<span style="color: #444444; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><i><a class="sdfootnotesym" href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2164657208058838458#sdfootnote3anc" name="sdfootnote3sym">3</a> Telembuk</i>,
hlm. 258.</span></div>
</div>
<style type="text/css">
@page { margin: 0.79in }
p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120% }
</style>Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-31243176150593186522017-04-24T04:23:00.003-07:002019-09-06T10:44:10.385-07:00Suman Gupta: Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja9_iP9k-SiT1Hr8_4XzHGS3QYNOyRkWp5Yw7XjO5FkwE2EVZXqYexWojAksQx7AjNYMa_MZ3B28or_Q7gqschb_7XHT8fntlNh6rFmfOwXcALwTIIhDTOclfifRMqjEU_sfub0iZOk6z4/s1600/9780230500471.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja9_iP9k-SiT1Hr8_4XzHGS3QYNOyRkWp5Yw7XjO5FkwE2EVZXqYexWojAksQx7AjNYMa_MZ3B28or_Q7gqschb_7XHT8fntlNh6rFmfOwXcALwTIIhDTOclfifRMqjEU_sfub0iZOk6z4/s200/9780230500471.jpg" width="124" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="western" lang="id-ID" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><i>Tulisan ini sekadar berupa
rangkuman buku Suman Gupta berjudul </i><span style="font-style: normal;">Social
Constructionist Identity Politics and Literary Studies </span><i>(Palgrave
Macmillan, 2007), yang saya buat untuk keperluan matakuliah “Sastra
dan Politik Identitas”, dan saya tempatkan di blog ini demi
memudahkan aksesnya untuk mahasiswa saya. Rangkuman ini belum
mendalam, dan belum dilengkapi refleksi kritis apa pun. </i></span>
</div>
<div class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span lang="id-ID">Penulis
buku ini, </span>Suman Gupta, adalah pengajar di Open University,
Inggris. Bidangnya sastra dan kajian budaya. Dalam bukunya ini, Gupta
membahas gejala menguatnya politik identitas, dan
institusionalisasinya di dunia akademis, dengan contoh Kajian Sastra
di Amerika Serikat dan Inggris. Gupta menyampaikan kritik yang cukup
tajam terhadap perkembangan yang diamatinya.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"> Buku
ini terdiri dari dua bagian: yang pertama membahas fenomena politik
identitas secara umum, dan yang kedua meneliti wujudnya di bidang
Kajian Sastra.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>1
Introduction: Prelude to Definitive Elaborations</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Seperti
yang diindikasikan oleh judulnya, politik identitas yang dibahas
Gupta adalah politik identitas yang bersifat konstruksionis sosial.
Pada masa kini, dalam ilmu sosial dan humaniora umumnya identitas
dipahami bukan sebagai sesuatu yang terberi, tapi sebagai konstuk
sosial. Atau dengan kata lain, konsep identitasnya anti-esensialis.
Gupta sendiri pun menganut paham yang sama. Kritik yang diajukannya
berangkat dari dalam konstruktivisme sosial sendiri: menurut Gupta,
ada beberapa kecenderungan yang kurang baik dalam pengembangan
gagasan seputar identitas. Gagasan-gagasan tersebut mendasari
praktek-praktek politik identitas dengan corak tertentu, yang makin
lama makin dominan di dunia akademis (dan di luarnya, tapi hal itu
tidak banyak dibahasnya).</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Untuk
memperjelas analisisnya, Gupta membedakan antara “posisi politis
berbasis identitas” (<i>identity-based political position</i>) dan
“politik identitas” (<i>identity politics</i>). Posisi politis
berbasis identitas adalah posisi politis yang diambil seseorang
berdasarkan identitasnya, misalnya sebagai perempuan, sebagai gay,
sebagai orang kulit hitam, sebagai Muslim, dan sebagainya. Logika
yang umumnya digunakan di sini adalah logika <i>embodiment</i>: yang
boleh menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu adalah
orang yang bisa mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok
masyarakat yang bersangkutan, sehingga suaranya dapat diterima
sebagai “otentis” (msl., yang mengambil posisi politis sebagai
perempuan harus bisa mengidentifikasikan diri sebagai perempuan,
bukan sebagai laki-laki). Berbagai posisi politis berbasis identitas
kemudian dikaitkan satu sama lain, dengan cara menggunakan bahasa
teoritis yang sama untuk membahas berbagai jenis identitas. Misalnya,
kaum lesbian dan kaum <i>African-American</i> sama-sama memposisikan
diri sebagai minoritas yang perlu memperjuangkan haknya di Amerika
Serikat, sehingga dibutuhkan kerjasama, tapi tanpa mempertanyakan
logika e<i>mbodiment</i> untuk masing-masing posisi (artinya, lesbian
tidak berhak mencampuri urusan kaum <i>African-American </i>dan
sebaliknya). Penyetaraan dan kebersamaan itulah yang oleh Gupta
dipahami sebagai politik identitas.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Pilihan
untuk membedakan antara posisi politis berbasis identitas dengan
politik identitas ini tidak umum dilakukan. Dalam tulisan-tulisan
lain, apa yang oleh Gupta disebut sebagai posisi politis berbasis
identitas pun kerapkali dirujuk dengan istilah “politik identitas”.
</span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-size: small;"><b>Part
I: Social Constructionist Identity Politics</b></span></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>2
Identity-Based Political Positions</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Di
bab ini, Gupta sekilas mereview konsep identitas dari perspektif
filsafat dan sosiologi. Berbeda daripada, misalnya, “kepribadian”,
kata “identitas” mendeskipsikan individu dengan merujuk pada
kelompok masyarakat tertentu. Dengan mengidentifikasi diri sebagai
perempuan, misalnya, diasumsikan bahwa seseorang punya kesamaan
dengan perempuan lain, dan berbeda daripada laki-laki. Kata
“identitas” dipakai baik untuk kelompok maupun individu, namun
identitas kelompok mendahului identitas individu. Maka identitas
individu terbentuk (sebagai konstruk sosial) bukan secara bebas, tapi
terjadi <i>over-determination</i> (hlm. 13). (Contoh: Saat seseorang
lahir dan diidentifikasi sebagai perempuan, lalu dibesarkan sebagai
perempuan, kelompok perempuan sudah ada lebih dulu, dan sudah ada
pemahaman bersama tentang apa itu identitas perempuan. Pemahaman itu
mempengaruhi pembentukan identitas anak perempuan tersebut.)</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Lalu
ketika basis identitas dijadikan sebuah posisi politis, cirinya
seperti apa? Umumnya, kaum yang mengambil posisi politis seperti itu
merepresentasikan diri sebagai terancam atau termarjinalisasi.
Identitas dipersoalkan karena dianggap perlu dibela. Gerakan
perempuan, gerakan LGBT, dan sebagainya, berangkat dari kesadaran
bahwa kepentingan mereka kurang terakomodasi dalam masyarakat yang
patriarkis/homofobia, sehingga perlu diperjuangkan. Meskipun
demikian, retorika politis berbasis identitas tidak selalu bersifat
emansipatif, tapi juga bisa sangat konservatif. Menurut Gupta,
kelompok yang memperjuangkan emansipasi umumnya mempersepsi diri
sebagai termarjinalisasi, dan menggugat untuk lebih diakui (misalnya,
minoritas etnis/ras, gender, atau orientasi seksual yang
memperjuangkan pengakuan dan haknya di tengah masyarakat umum).
Sedangkan argumentasi berbasis identitas yang bersifat konservatif
lazim ditemukan dalam konteks pertahanan status quo, misalnya ketika
masyarakat kulit putih Eropa mempersepsi diri sebagai “terancam”
oleh kedatangan imigran dari negara non-Barat. Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa aksi politis berbasis identitas sama sekali bukan
hanya wilayah gerakan kiri. Baik politik kiri, maupun kanan
(konservatif), memanfaatkan retorika serupa.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Uniknya,
terkadang kedua jenis argumentasi politis itu bercampur aduk,
misalnya ketika George Bush dan Tony Blair beretorika mengenai
perlunya melindungi budaya “kita” (Barat) dari ancaman yang
datang dari luar, namun sekaligus mengadopsi pembicaraan mengenai
pluralisme dan multikulturalisme di negara masing-masing. </span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>3
Embodying Identity-Based Political Positions</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Gupta
mengamati betapa dalam sangat banyak pembahasan seputar identitas,
perdebatan antara esensialisme dan konstruktifisme sosial dijadikan
fokus utama. Esensialisme berangkat dari asumsi bahwa identitas
manusia terdefinisikan oleh esensi tertentu dalam dirinya, alias
bersifat terberi. Misalnya, bahwa seseorang menjadi perempuan karena
memiliki rahim, vagina, dan payudara. Konstruktifisme sosial
terus-menerus mengambil jarak dari esensialisme, dan mendefisisikan
diri sebagai anti-esensialis. Namun menurut Gupta, ada elemen yang
ganjil dan mengganggu di dalam posisi konstruktifis sosial sendiri,
yaitu konsep <i>embodiment</i>. Meskipun identitas dianggap sebagai
konstruksi, untuk menduduki posisi politis berbasis identitas
tertentu, orang mesti <i>embody </i>posisi itu. Di satu sisi
konstruktifisme sosial memandang identitas sebagai sesuatu yang cair
dan terus-menerus dikonstruksi ulang, tanpa adanya esensi atau sifat
bawaan yang tertanam dalam tubuh, namun di sisi lain, orang yang
tidak secara tegas teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok
tertentu, tidak dipandang berhak untuk berbicara atas namanya (tidak
dianggap otentis). Gupta mengamati betapa ambivalensi ini melahirkan
sekian penjelasan teoritis yang kompleks yang rumit, yang menurutnya
sering kurang bisa diterima. </span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Logika
<i>embodiment </i>bermasalah menurut Gupta karena bersifat membatasi
komunikasi. Yang dianggap berhak berbicara dalam mendefinisikan
setiap posisi politis berbasis identitas hanyalah orang yang <i>embody
</i>posisi tersebut. Orang lain dituntut untuk menghormati posisi
tersebut, tanpa boleh ikut bersuara. Dengan demikian, yang terbentuk
adalah situasi di mana berbagai kalangan sama-sama bersuara atas
dasar identitas mereka, dituntut untuk saling mentoleransi, namun
hanya secara sangat terbatas bisa saling berdialog karena
masing-masing dianggap tidak memiliki otoritas untuk mencampuri
urusan yang lain.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Gupta
kemudian bertanya, apakah ada posisi politis berbasis identitas yang
tidak menggunakan logika <i>embodiment</i>? Dalam pembahasan singkat,
dia mengajukan pendapat bahwa posisi politis seperti itu memang
mungkin, dan ada. Misalnya, orang bisa menentang diskriminasi
terhadap siapa saja, atas dasar kemanusiaan secara umum, tanpa perlu
<i>embody </i>identitas terdiskriminasi tertentu. Atau, misalnya,
laki-laki bisa berpolitik feminis, meskipun dirinya tentu tidak
<i>embody </i>posisi perempuan.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>4
Analogues and Equivalences</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Lalu
bagaimana politik identitas tercipta, berdasarkan posisi politis
berbasis identitas tadi? Hal itu, menurut Gupta, terjadi lewat
analogi (<i>analogues</i>) dan ekuivalensi <i>(equivalences</i>).
Gupta menganalisis tulisan-tulisan yang digunakan untuk
mengkonstruksi dan mendasari politik identitas secara teoritis.
Menariknya, kata “analogi” dan “ekuivalensi” sendiri justru
hampir tidak pernah muncul di situ. Hal itu terjadi karena, menurut
Gupta, logika analogi dan ekuivalensi memang disamarkan atau tidak
disadari.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Lewat
sekian konsep teoritis yang belakangan ini semakin menjadi mode,
berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan dan
dihubungkan satu sama lain, tanpa mengganggu logika <i>embodiment</i>.
Gupta mengklasifikasinya menjadi tiga jenis konsep:</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Pertama,
<i>in-between terms</i>. Contohnya, koalisi, pluralisme, keberagaman
(<i>diversity</i>), perbedaan (<i>difference</i>). Menarik diamati
bahwa kini dalam wacana teoritis (maupun wacana publik), kata-kata
seperti itu sering muncul tanpa penjelasan lebih spesifik.
“Menghormati perbedaan”, misalnya, menjadi anjuran yang sangat
biasa, tanpa ada yang bertanya “perbedaan antara apa atau siapa?”
Dengan cara seperti itu, secara implisit berbagai posisi politis
berbasis identitas disejajarkan (ditempatkan sebagai analog, i.e.
serupa, dan ekuivalen, i.e. setara). Gupta melacak betapa teori-teori
kontemporer digunakan sebagai dasar untuk memberi validitas terhadap
konsep tersebut. Salah satu contoh adalah konsep Derrida mengenai
<i>differ</i><i>a</i><i>nce</i>. Dengan merujuk pada konsep semacam
itu, perayaan atas “perbedaan” mendapat nuansa radikal dan
canggih.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Retorika
mengenai pluralisme atau keberagaman menjadi sangat dominan, sehingga
bahkan pemikir yang pada intinya berangkat dari konsep yang
bertentangan (berbicara tentang nilai universal, misalnya), merasa
perlu mengakomodasinya. Hal itu tidak jarang menghasilkan teori yang
penuh pertentangan.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Kedua,
<i>encompassing terms</i>. Contohnya adalah kata “identitas”
sendiri, juga multikulturalisme dan gerakan sosial. Dengan penggunaan
istilah-istilah yang sama ini untuk membahas fenomena-fenomena yang
berbeda (gender, warna kulit, orientasi seksual, dst; gerakan
gay/lesbian, perjuangan melawan penjajahan, feminisme, dst), tercipta
kesan bahwa berbagai posisi politis berbasis identitas memang
bersifat serupa (tanpa perlu ada pembuktian khusus tentang hal itu,
karena sudah terasumsikan lewat penggunaan kata yang sama).</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Ketiga,
<i>metatheoretical terms</i>. Contohnya: pascamodernisme,
pascakolonialisme, globalisasi. Tidak bisa dikatakan bahwa teori
pascakolonial atau pascamodern didominasi politik identitas, atau
mempersoalkan identitas sebagai topik utamanya. Namun teori tersebut
menyediakan latar bagi politik identitas, misalnya lewat
pendobrakannya terhadap <i>grand narratives</i>. Dengan demikian,
berbagai posisi politis berbasis identitas sama-sama terkonstruksi
sebagai bagian dari sikap atau gerakan kritis yang sama. </span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>5
Identity Politics at Work</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Politik
identitas kini telah terinstitusionalisasi, bukan sekadar dalam arti
bahwa ada lembaga yang menjalankannya, tapi dalam arti bahwa politik
identitas terus-menerus terjadi lewat tindakan <span lang="id-ID">dan
</span>praktek yang dianggap wajar dan menjadi kebiasaan. </span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Di
ranah politis, menurut Gupta pada masa kini apa yang disebut politik
kiri pada dasarnya adalah politik identitas. Latar belakangnya adalah kemunculan gerakan kiri baru setelah gerakan kiri marxis yang
lama dipandang tidak relevan lagi. Bagi Gupta, ini merupakan
perkembangan yang memprihatinkan, sebab politik identitas mudah
terkooptasi oleh kekuatan konservatif/kapitalis. Strategi yang umum
digunakan adalah dengan memberi ruang dan hak tertentu bagi
kelompok-kelompok berbasis identitas, sehingga semangat perlawanan
memudar. Komersialisasi juga mudah terjadi, yaitu dengan menyediakan
berbagai produk dan jasa khusus bagi anggota kelompok berbasis
identitas tertentu. </span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Gupta
kemudian secara singkat dan tegas merumuskan posisinya sendiri dalam
menyikapi politik identitas:</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">1.
Setiap ekspresi atau pemosisian politis harus bersifat terbuka,
sehingga siapa pun yang merasa berkepentingan, boleh melibatkan diri
dengannya.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">2.
Tidak ada orang yang lebih memiliki otoritas, atau yang suaranya
lebih otentis daripada yang lain. Yang menjadi ukuran hanya akses
terhadap informasi, pemahaman, dan integritas.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">3.
Diskriminasi dan prasangka perlu terus-menerus disikapi secara
kritis, termasuk dengan cara bersikap kritis terhadap kecenderungen
politik identitas yang dominan.</span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>Part
II: Literary Studies</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>6
Theory, Institutional Matters, Identity Politics</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Bagaimana
politik identitas terinstitusionalisasikan di kajian sastra? Gupta
memulai pembahasannya dengan menggambarkan situasi kajian sastra
sebelum dan di saat politik identitas mulai menjadi sangat
berpengaruh. Sejak tahun 60an dan 70an, terjadi banyak pembaharuan di
kajian sastra, akibat pengaruh teori-teori pascastruktural.
Teori-teori yang kerapkali dirujuk dengan <span lang="id-ID">kata
</span>“T<span lang="id-ID">h</span>eor<span lang="id-ID">y</span>”
(huruf besar) itu membentuk sebuah <i>metalanguage </i>tentang
sastra, yaitu me<span lang="id-ID">mba</span><span lang="id-ID">w</span><span lang="id-ID">a
pertanyaan-pertanyaan</span> yang lebih mendasar mengenai sastra dan
penulisan daripada teori-teori yang ada sebelumnya. Di sini Gupta
melacak adanya dua kecenderungan yang berbeda, yang dia bahas dengan
merujuk pada dua tokoh, yaitu Paul de Man dan E<span lang="id-ID">d</span>ward
Said. De Man melakukan dekonstrusi, dengan melacak pertentangan dan
ambivalensi dalam teks. Baginya sastra merupakan jenis teks yang
istimewa, karena sadar akan sifat retorisnya sendiri (bukan sekadar
bertujuan menyampaikan pesan tertentu, tapi justru lebih berfokus
pada eksplorasi bahasa). Said, sebaliknya, berbicara tentang
<i>worldliness </i>setiap teks, yaitu bahwa di belakang setiap teks,
termasuk teks sastra, ada kepentingan-kepentingan tertentu (msl.<span lang="id-ID">,</span>
<span lang="id-ID">k</span>epentingan kolonial). Kedua kecenderungan
itu sebetulnya bertentangan, tapi sama-sama dipahami sebagai bagian
dari “Teori”<span lang="id-ID">, sehingga lama-lama
pertentangannya cenderung kurang disadari.</span></span></div>
<div class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Perkembangan
tersebut menurut Gupta memfasilitasi pembentukan politik identitas
dalam kajian sastra. Argumentasi seputar <i>worldliness </i><span style="font-style: normal;">menjadi
penting sebagai alasan mengapa kritikus sastra perlu berbicara dengan
berangkat dari basis identitas tertentu: karena karya sastra sering
bersifat rasis, kolonial, atau patriarkis, maka dibutuhkan kritikus
yang berbicara atas nama orang kulit berwarna, kaum terjajah, atau
perempuan. </span><span style="font-style: normal;">Namun seperti yang
dibahas di Bagian I, logika </span><i>embodiment </i><span style="font-style: normal;">tersebut
</span><span style="font-style: normal;">kemudian tersamarkan oleh
penggunaan konsep-konsep anti-esensialis, yaitu konsep-konsep
pascastrukturalis yang menciptakan analogi dan ekuivalensi.</span></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b>7
Self-Announcements and Institutional Realignments</b></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;">Di
bab ini, Gupta membahas enam contoh buku kajian sastra untuk
mengilustrasikan wujud politik identitas dalam praktek akademis. Di
buku-buku tersebut, yang diberi perhatian oleh Gupta adalah
pengakuan-pengakuan tertentu di pinggir teks, misalnya dalam
pendahuluan, kata pengantar atau penutup. Pengakuan-pengakuan para
akademisi yang berstatus sebagai penulis buku tersebut semuanya
menyangkut identitas diri mereka masing-masing, yang dikaitkan dengan
isi buku yang ditulis. Tiga contoh mengilustasikan momen dimana
sebuah posisi politis berbasis identitas mulai di-<i>embody, </i><span style="font-style: normal;">dan
tiga contoh lagi mengilustrasikan politik identitas konstruktifis
sosial dalam arti yang lebih luas.</span></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">D</span><span style="font-style: normal;">i
antara tiga contoh pertama, ada buku </span><i>The Apparitional
Lesbian: Female Homosexuality and </i><i>M</i><i>odern Culture </i><span style="font-style: normal;">karya
Terry Castle (1993). </span><span style="font-style: normal;">D</span><span style="font-style: normal;">i
bagian awal bukunya, Castle </span><span style="font-style: normal;">menceritakan
betapa pada mulanya dirinya </span><span style="font-style: normal;">tidak
punya maksud untuk menulis buku tentang lesbian. Namun di tengah
</span><span style="font-style: normal;">penelitiannya dalam rangka
rencana penulisan dengan topik lain, dirinya merasa gelisah, </span><span style="font-style: normal;">gagal
mengawali tulisannya dengan lancar, lalu spontan </span><span style="font-style: normal;">mulai
menulis tentang identitas lesbian dengan nada otobiografis. </span><span style="font-style: normal;">Hal
itu terasa melegakan dan lebih masuk akal baginya. Dirinya sadar
bahwa tanpa diakui, topik tersebut telah lama menghantuinya. </span><span style="font-style: normal;">Dalam
buku tersebut, Castle kemudian </span><span style="font-style: normal;">melacak
ekspresi lesbianisme dalam karya sastra. </span></span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">G</span><span style="font-style: normal;">upta
membahas pengakuan Castle tersebut dengan menekankan be</span><span style="font-style: normal;">t</span><span style="font-style: normal;">apa
logika </span><i>embodiment </i><span style="font-style: normal;">dihadirkan
secara sangat eksplisit di situ. Disebabkan oleh identitasnya sendiri
sebagai lesbian, </span><span style="font-style: normal;">Castle
dipandang (atau memandang diri) memiliki kemampuan lebih untuk
membahas representasi lesbianisme dalam karya sastra. </span><span style="font-style: normal;">Pilihannya
untuk meninggalkan gaya kerja akademisnya yang lama, </span><span style="font-style: normal;">lalu
menulis dengan berangkat dari posisi dan pengalaman pribadinya,
diberi kesan otentisitas dan </span><span style="font-style: normal;">dirayakan
sebagai sikap yang berani dan kritis.</span></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">S</span><span style="font-style: normal;">edangkan
di antara tiga contoh berikut</span><span style="font-style: normal;">nya</span><span style="font-style: normal;">,
ada buku </span><i>Critical Condition: Feminism at the Turn of the
Century </i><span style="font-style: normal;">karya Susan Gubar
(2000). </span><span style="font-style: normal;">Dalam buku tersebut,
Gubar mengevaluasi perkembangan kritik sastra feminis sejak tahun
70an. Setelah feminisme berhasil diterima dan terinstitusionalisasi
dalam kajian sastra, kini perjuangan </span><span style="font-style: normal;">bergeser:
identitas-identitas minoritas yang lebih khusus kini perlu
diartikulasikan, seperti misalnya lesbian, atau perempuan
Afrika-Amerika. </span><span style="font-style: normal;">Uniknya,
seperti yang diamati Gupta, di satu sisi Gubar membahas feminisme
atas dasar identitas dirinya sebagai perempuan (sehingga merasa
berhak dan perlu berpolitik feminis), </span><span style="font-style: normal;">atau
dengan kata lain, dia menggunakan logika </span><i>embodiment</i><span style="font-style: normal;">.
</span><span style="font-style: normal;">N</span><span style="font-style: normal;">amun
</span><span style="font-style: normal;">ketika </span><span style="font-style: normal;">membahas
feminisme lesbian dan feminisme kulit hitam, </span><span style="font-style: normal;">Gubar
agak kesulitan karena </span><span style="font-style: normal;">dirinya
bukan lesbian dan tidak berkulit hitam. </span><span style="font-style: normal;">Maka
di situ, a</span><span style="font-style: normal;">lasan yang
diberikan adalah bahwa identitas bersifat cair dan tidak stabil, dan
bahwa kritik terhadap rasisme dan homofobia tetap sah dilakukannya
sebagai feminis. </span><span style="font-style: normal;">Tampak
betapa politik identitas dilakukan dengan cara menyejajarkan berbagai
posisi minoritas, dan betapa </span><i>embodiment </i><span style="font-style: normal;">menjadi
permasalahan dalam pekerjaan tersebut</span><span style="font-style: normal;">.</span></span></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">Contoh-contoh
itu mengilustrasikan betapa kuatnya retorika yang berdasar pada
identitas dalam kajian sastra. Identitas akademisi menjadi faktor
penting, yang </span><span style="font-style: normal;">dipandang
</span><span style="font-style: normal;">memberinya </span><span style="font-style: normal;">otoritas
untuk berbicara tentang topik tertentu, misalnya kritikus gay bicara
tentang homoseksualitas dalam sastra, atau kritikus kulit hitam
membahas representasi ras. </span><span style="font-style: normal;">Pembenaran
teoritis terhadap kecenderungan tersebut, seperti yang ditunjukkan
Gupta, berusaha mempertahankan konstruktifisme sosial dengan cara
yang kerapkali bermasalah dan penuh pertentangan. </span></span>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b><span style="font-style: normal;">8
</span><span style="font-style: normal;">Theory Textbooks and Canons</span></b></span></div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><i>Textbook </i><span style="font-style: normal;">(buku
ajar) merupakan genre teks yang khas, </span><span style="font-style: normal;">yaitu
memiliki fungsi untuk “menginisiasi” pendatang baru ke sebuah
bidang studi. Dengan demikian, buku teks berusaha menyampaikan
hal-hal mendasar yang dianggap perlu diketahui oleh siapa pun yang
ingin berkarya di bidang studi tersebut. </span><span style="font-style: normal;">Berdasarkan
pengamatan tersebut, Gupta meneliti beberapa </span><i>textbook
</i><span style="font-style: normal;">kajian sastra, yaitu secara
khusus </span><i>textbook </i><span style="font-style: normal;">yang
mengalami beberapa kali cetak ulang. Dengan demikian, </span><span style="font-style: normal;">tampak
dengan jelas perubahan seperti apa yang terjadi dalam beberapa dekade
ini. </span></span>
</div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">Hasilnya
adalah bahwa ternyata dalam </span><i>textbook-textbook </i><span style="font-style: normal;">yang
banyak digunakan, politik identitas semakin mendapat tempat.
Misalnya, ditambahkan bab tentang </span><span style="font-style: normal;">kritik
sastra queer, kulit hitam, </span><span style="font-style: normal;">atau
pascakolonial. Hal itu umumnya dilakukan dengan cara yang oleh Gupta,
dengan mengutip Jeffrey R. Di Leo, secara sinis disebut “</span><i>cookie
cutter approach</i><span style="font-style: normal;">”. Kritik
sastra diajarkan dengan cara memperkenalkan sejumlah pendekatan, yang
disejajarkan begitu saja untuk dipilih sesuai kebutuhan atau
kesenangan mahasiswa/peneliti. Maka pendekatan yang berbasis
identitas pun bisa diintegrasikan dengan mudah. Hal itu tidak berlaku
untuk sejumlah kecil </span><i>textbook </i><span style="font-style: normal;">yang
tidak memakai </span><i>cookie cutter approach</i><span style="font-style: normal;">,
tetapi membahas kritik sastra sebagai sebuah kontinuitas perdebatan
teoritis yang saling menyambung dan saling berinteraksi, seperti
misalnya </span><i>Literary Theory: an introduction </i><span style="font-style: normal;">karya
Terry Eagleton </span><span style="font-style: normal;">(1983)</span><span style="font-style: normal;">.
</span><span style="font-style: normal;">Eagleton menolak </span><span style="font-style: normal;">untuk</span><span style="font-style: normal;">
mengakomodasi politik identitas saat bukunya diterbitkan ulang tahun
1993. </span></span>
</div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><b><span style="font-style: normal;">9
Conclusion: Questions and Prospects</span></b></span></div>
<div class="western" style="font-weight: normal; line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: "liberation" serif , serif;"><span style="font-style: normal;">Dalam
bab terakhir yang singkat ini, Gupta mempersoalkan implikasi
kecenderungan-kecenderungan yang dibahas di atas untuk institusi
kajian sastra. Sebagai pengajar di bidang tersebut, Gupta mengamati
bahwa dalam interaksi sehari-hari di jurusan Sastra Inggris </span><span style="font-style: normal;">pun</span><span style="font-style: normal;">,
politik identitas menjadi sangat berpengaruh. Misalnya, </span><span style="font-style: normal;">untuk
pengajaran matakuliah tertentu, atau pembimbingan tugas akhir
tertentu, dicari dosen yang identitasnya “sesuai”. Atau, dalam
interaksi di kelas, masing-masing bertindak dengan sadar akan
identitasnya: saat membahas teks tentang lesbian, misalnya, mahasiswi
yang lesbian akan merasa lebih paham dan lebih berhak bicara daripada
dosen dan teman-temannya yang heteroseksual. </span><span style="font-style: normal;">Dengan
demikian, praktek kritik sastra terus-menerus dikaitkan secara
langsung dengan identitas manusia yang menjalaninya. Sekian batasan
pun terus-menerus dihadirkan, dalam arti bahwa </span><span style="font-style: normal;">ber</span><span style="font-style: normal;">dasarkan
logika </span><i>embodiment</i><span style="font-style: normal;">,
manusia tertentu dianggap kurang cocok atau kurang berhak untuk
melibatkan diri secara akademis dengan topik tertentu. Itulah kritik
utama yang disampaikan Gupta dalam bukunya: Pada masa kini, relevan
dan sahnya sebuah kontribusi intelektual cenderung dinilai dengan
memandang identitas penulisnya, bukan dengan berfokus pada substansi
kontr</span><span style="font-style: normal;">i</span><span style="font-style: normal;">busi
tersebut.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<style type="text/css">
@page { margin: 0.79in }
p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: #000000; line-height: 120%; orphans: 2; widows: 2 }
p.western { font-family: "Liberation Serif", "Times New Roman", serif; font-size: 12pt; so-language: en-US }
p.cjk { font-family: "Noto Sans CJK SC Regular", "Times New Roman"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN }
p.ctl { font-family: "FreeSans", "Times New Roman"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN }
</style>
</div>
<div class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-8283897541890401782017-04-06T04:49:00.001-07:002017-04-06T05:14:09.138-07:00Berangkat dari Kegalauan (catatan singkat seputar proses kreatif)<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Bayangkan situasi seperti berikut: Anda diwawancarai seorang wartawan dari sebuah media internasional, dan wartawan itu mengajukan pertanyaan sederhana, yang seharusnya mudah Anda jawab sebab pertanyaan tersebut berkaitan dengan bidang yang Anda geluti. Namun entah kenapa, Anda gagap menjawabnya. Jawaban yang meluncur dari mulut Anda sama sekali tidak memuaskan bagi diri Anda sendiri, dan kemungkinan besar juga bagi wartawan tersebut. Dapatkah Anda bayangkan, perasaan seperti apa yang tinggal di hati Anda setelah wawancara itu berakhir? Malu, tidak nyaman, kecewa pada diri sendiri... </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Apa yang sewajarnya kita lakukan dalam situasi semacam itu? Secepatnya berusaha melupakan pengalaman tidak mengenakkan tersebut, lalu melanjutkan hidup dengan kegiatan yang lebih menyenangkan – paling tidak, itulah yang pada mulanya saya lakukan, ketika situasi yang saya deskripsikan di atas terjadi pada diri saya. Namun, seperti yang tidak jarang saya alami, sekian waktu kemudian tiba-tiba saya menyadari betapa momen tidak menyenangkan tersebut menyimpan kerumitan tertentu, yang justru membuatnya menarik untuk diangkat dan direnungkan kembali. Mengapa saya gagap dan tidak bisa menjawab saat ditanyai oleh wartawan itu? Dan apa yang seharusnya saya jawab pada momen itu? Mengapa sampai saat ini pun saya tetap tidak tahu?</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Adegan tersebut kemudian saya jadikan pembuka untuk mengawali esei pertama dalam buku terbaru saya, <i>Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial</i> (2016):</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #274e13; font-family: "times" , "times new roman" , serif; font-size: large;">“Makin banyak perempuan Indonesia yang memakai jilbab sekarang, ya?”, ungkap [wartawan itu], kemudian dia melanjutkan dengan mengutarakan keprihatinan akan hal tersebut. Terungkap dengan jelas betapa baginya, ada pertentangan antara jilbab, sebagai tanda semakin kuatnya nilai Islam dalam masyarakat, dengan emansipasi dan kemajuan perempuan. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #274e13; font-family: "times" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Saya agak kewalahan menghadapi situasi itu. Pada saat itu, saya sendiri belum berjilbab, dan tampaknya wartawan Jerman itu mempersepsi saya sebagai “sesamanya”, yaitu sebagai non-Muslim, atau lebih spesifik, sebagai sesama perempuan Eropa berpendidikan tinggi dan berpandangan sekuler. Komentarnya tentang jilbab mengasumsikan sebuah pengetahuan bersama yang seakan-akan sama sekali tidak perlu dipertanyakan lagi: Tentu saja menguatnya nilai Islam adalah hal yang buruk untuk perempuan, sedangkan melemahnya nilai Islam akan lebih baik untuk perempuan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #274e13; font-family: "times" , "times new roman" , serif; font-size: large;">“Apa hubungan antara jumlah perempuan berjilbab dengan emansipasi?”, tanya saya. “Setahu saya tidak ada hubungan langsung.” Saya kemudian mencoba untuk sedikit mempertanyakan <i>mindset</i> wartawan itu. Namun dalam obrolan singkat dan tanpa persiapan khusus itu, saya berkesulitan menemukan titik berangkat yang tepat. Betapa kuatnya “pengetahuan bersama” yang diasumsikan wartawan itu! Bagaimana saya mesti menggoyahkannya? </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><i>Mindset</i> yang sulit digoyahkan itu kemudian membuat saya semakin kewalahan dalam lanjutan obrolan dengan wartawan itu. “Saat sang wartawan menanyakan kondisi hak-hak perempuan secara umum di Indonesia, spontan saya terdorong untuk menjawab bahwa keadaan perempuan pada umumnya sangat baik di Indonesia. Apakah itu benar? Belum tentu! Tapi itulah dilema yang secara intuitif saya rasakan pada saat itu: kalau saya menjawab bahwa masih ada sekian masalah ketidakadilan dan kekerasan gender dalam masyarakat Indonesia, jangan-jangan jawaban saya diterima sebagai pembenaran terhadap anggapan-anggapan tertentu seputar kejam, seksis, dan kolotnya masyarakat (bermayoritas) Muslim.” Demikian yang saya tulis di esei tersebut.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Sebuah pengalaman tidak menyenangkan yang pada mulanya ingin didesak sejauh-jauhnya ke sudut memori yang tak ingin dikunjungi kembali, akhirnya menjelma menjadi pembuka esei, dan dengan demikian bukan hanya diangkat kembali, tapi bahkan dibagi dengan publik yang luas. Saat menulis esei tersebut, saya tidak terlalu memikirkan keunikan strategi penulisan itu. Saya sekadar lega bahwa kejadian dengan wartawan tersebut akhirnya bisa lebih saya pahami, sehingga perasaan tidak nyaman yang pada mulanya menyertainya pun makin teratasi. Namun lewat tanggapan sejumlah pembaca, saya kemudian tergelitik untuk sedikit merefleksikan proses kreatif saya. Rupanya strategi saya tersebut, yaitu kecenderungan saya untuk mengangkat pengalaman pribadi yang sebagian besar bersifat meresahkan, tidak mengenakkan, atau membingungkan, menyulut perhatian pembaca. Kedua pembicara pada peluncuran buku saya tersebut 28 Februari 2017 di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Tia Pamungkas dan Wahmuji, pun sama-sama mengomentari gaya penulisan saya tersebut. Tia menggunakan kata “galau”, sedangkan Wahmuji berbicara tentang keberanian saya untuk menghadapi dan mempersoalkan realitas kehidupan yang kerapkali tidak koheren. Dalam hal penilaian, mereka tidak sepenuhnya sepakat satu sama lain. Wahmuji sangat apresiatif terhadap keunikan strategi penulisan saya, sedangkan Tia tampak agak ragu. Positif atau negatifkah “kegalauan” yang, menurut persepsinya, membuat arah tulisan saya cenderung kurang tegas? “Kalau membaca buku Katrin yang sebelumnya, di situ posisi Katrin jelas, yaitu Katrin adalah feminis pascakolonial. Tapi di buku ini, apakah Katrin masih feminis?”, tanyanya. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Saya suka kata “galau” itu. Ya, saya memang kerapkali berangkat dari kegalauan dalam aktifitas penulisan saya. Dalam proses-proses membaca yang terjadi dalam keseharian, baik membaca tulisan maupun membaca pengalaman, saya cenderung selalu tertarik terhadap momen-momen yang membawa ketegangan. Perasaan tidak nyaman, ambivalensi, hal-hal yang bertentangan dalam diri saya tanpa ada solusi yang mudah, prilaku atau perasaan yang tidak terpahami… - hal-hal seperti itu yang membangkitkan gairah saya untuk menelusurinya lewat tulisan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Saat melihat ulang buku saya tersebut menjelang peluncuran, saya tertarik untuk merenungkan kembali proses penggagasan dan penyusunannya. Mengapa yang hadir di bawah judul yang seakan-akan sangat umum itu (seperti judul sebuah <i>textbook</i>) adalah esei-esei sangat beragam, dengan nada yang terkadang personal, berangkat dari refleksi tentang persoalan-persoalan gender yang umum ataupun yang relatif khusus, dengan bacaan yang campur aduk antara referensi teori yang bisa dianggap utama, dengan bacaan yang lebih khusus, yang “kebetulan” menyulut perhatian dan keasyikan saya? Apa yang saya cari dan saya inginkan lewat buku semacam ini? Sejumlah pembaca pun mengekspresikan keheranan serupa: yang dibayangkan saat melihat judulnya adalah sebuah <i>textbook</i> alias bacaan yang cenderung “berat” dan kering, namun ternyata isinya sangat tidak sesuai ekspektasi. Apakah ketiadaksesuaian itu membuahkan kekecewaan atau justru keasyikan, tentu tergantung kepada masing-masing individu pembaca tersebut. Dari reaksi yang sampai kepada saya, yang dominan adalah rasa lega: buku dengan judul “berat” itu ternyata isinya tulisan yang kerapkali berangkat dari cerita-cerita pengalaman pribadi yang ringan dibaca.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Judul <i>Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial</i> pada mulanya lahir dari refleksi perjalanan Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni (Anjani) yang bertugas saya kelola di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. Sekitar akhir 2015, kami (anggota pusat studi tersebut) memutuskan untuk mempertegas perspektif kajian yang ingin kami kembangkan. Kami memilih perspektif pascakolonial, dengan alasan bahwa perspektif tersebut sangat relevan dengan kondisi negara ini, tapi masih kurang dikembangkan di dunia akademis Indonesia sendiri. Sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan tekad pengembangan fokus baru itu, awal 2016 saya menyesuaikan materi matakuliah Kajian Gender yang sudah beberapa tahun saya ampu, dan judul matakuliah itu kemudian saya ubah menjadi “Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial”. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Sambil mengajar, saya mulai menggagas sebuah buku dengan topik serupa. Awalnya saya memang sempat membayangkannya sebagai semacam buku ajar (<i>textbook</i>), berangkat dari matakuliah yang saya ajarkan tersebut. Namun menulis <i>textbook</i> adalah proyek yang membutuhkan sangat banyak waktu dan enerji. Agar mampu menulis pembahasan ringkas dan relevan tentang berbagai unsur Kajian Gender dalam konteks pascakolonial, bacaan harus sangat luas, dan fokus harus dipilih dengan cermat, lewat proses yang tidak mungkin singkat. Di samping itu, semakin saya renungkan, semakin saya tidak tertarik untuk memproduksi sebuah <i>textbook</i>. Bukankah sebuah <i>textbook</i> selalu punya nada otoritatif tertentu, yaitu berusaha memberi <i>overview</i> terhadap sebuah bidang, sambil mendefinisikan bidang tersebut? Bukan itu yang sedang ingin saya lakukan. Saya berniat membuka dialog tentang sebuah perspektif yang menurut saya relevan untuk membahas situasi di Indonesia, bukan berniat memberi definisi dan batas-batas kaku.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Niat tersebut juga terkait dengan pemosisian diri saya sendiri. Sebagai orang asing, lebih-lebih orang Eropa berkulit putih, saya kurang yakin apakah saya berhak menulis dengan suara otoritatif ala <i>textbook</i>. Saya lebih nyaman dengan tulisan yang bersifat “<i>sharing</i>”. Saya ingin berbagi tentang perspektif-perspektif yang menurut saya mengasyikkan, yaitu perspektif yang terasa “nyambung” saat saya menggunakannya untuk berusaha lebih memahami hidup saya sendiri. Saya tidak bisa dan tidak ingin menggeneralisasi apa yang saya peroleh dari proses refleksi yang berangkat dari pengalaman dan posisi diri saya yang khusus itu, tapi saya berharap agar refleksi saya meninspirasi orang lain, dan membawa refleksi tersendiri bagi masing-masing pembaca. Saya berharap untuk menularkan sebuah cara pandang, tanpa bisa memprediksi apa hasilnya saat orang lain, yang memiliki pengalaman hidup yang mungkin amat jauh dari pengalaman saya sendiri, menggunakan cara pandang tersebut.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Harus saya akui bahwa saya terharu saat membaca tulisan Wahmuji tentang buku saya. Saya bersyukur karena merasa dipahami, dan beberapa hal yang diungkapkan Wahmuji bahkan baru saya sadari. Salah satunya adalah persoalan keberanian. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #274e13; font-family: "times" , "times new roman" , serif; font-size: large;">“Membaca pengalaman-pengalaman Katrin dalam Kajian Gender membuat saya bertanya-tanya: apakah saya berani dan mampu menautkan pengalaman hidup pribadi untuk saya refleksikan dan saya jadikan bagian dari sebuah penelitian? Apakah pengalaman pribadi saya penting dan layak dibaca orang? Kemanakah refleksi pengalaman hidup akan membawa saya? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa saya jawab, tetapi justru meyakinkan saya bahwa Katrin telah berusaha keras untuk bisa merefleksikan pengalaman hidupnya sendiri dalam Kajian Gender; menghadirkan pengalaman yang direfleksikan bukan hanya soal kemampuan untuk menautkan diri dengan sesuatu yang lebih besar, tetapi juga soal keberanian dan eksperimen diri – yang pertaruhannya cukup besar. Kita terhanyut dan tidak tahu akan bermuara di mana….”, </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">demikian kata Wahmuji sebagai penutup ulasannya. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Diskusi santai bersama perupa Arahmaiani di ruang Anjani 1 Maret 2017, yaitu sehari setelah peluncuran yang saya sebut di atas, memberi saya kesempatan untuk menggali persoalan itu lebih lanjut. Diskusi antara kami berdua terwujud atas usul Arahmaiani yang merasa “nyambung” dengan beberapa hal yang saya bicarakan dalam buku terbaru saya. Berangkat dari rasa nyambung itu, diskusi tersebut diberi tajuk “Memperbincangkan Identitas Hibrid”. Bukankah kami sama-sama perempuan hibrid? Saya berkebangsaan Jerman, berkulit putih, berkarya hampir selalu dalam bahasa Indonesia, menetap di Jogja, dan beragama Islam. Sangat campur aduk. Pengalaman Iani (demikian panggilan akrab Arahmaiani), sebagai seniman yang banyak berkarya di luar Indonesia, tak kalah campur aduk. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Dari perspektifnya yang beridentitas hibrid itu, Iani mengutarakan keresahannya dengan apa yang disebutnya sebagai gejala menguatnya politik identitas. Makin lama, demikian persepsinya, orang makin dituntut untuk mendefinisikan identitasnya dengan sangat tegas dan tunggal. Orang mesti berafiliasi dengan pihak tertentu (kelompok tertentu yang berpolitik identitas), dan dengan demikian otomatis akan diasumsikan bukan bagian dari pihak yang lain. Menjadi sekian hal sekaligus, atau berdiri di tengah-tengah, bukan pilihan yang dianggap wajar. Kondisi tersebut terasa memprihatinkan bagi Iani, karena dengan demikian terjadi polarisasi dalam masyarakat, dan tercipta kelompok yang terpisah satu sama lain, yang kerapkali sulit untuk saling menghormati.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Renungan Iani itu memancing saya untuk ikut merenung. Bagaimana kita dapat memahami hasrat untuk mempertegas identitas diri itu? Sepertinya sebagian orang merasa lebih aman dan nyaman dengan ketegasan semacam itu. Saya kemudian sedikit fashback. Sejak kapankah saya asyik mempersoalkan hibriditas pengalaman dan identitas saya? Ketika saya mengingat-ingat masa remaja saya sampai usia 20an, saya menjadi sadar bahwa di masa itu, saya pun cenderung merindukan identitas yang lebih pasti, jelas, dan koheren. Ketertarikan saya pada budaya lain, terutama budaya Asia dan kemudian secara khusus budaya Indonesia, dimulai di masa itu. Namun apakah pada saat itu saya bercita-cita menjadi manusia hibrid? Justru sebaliknya, seingat saya. Berangkat dari keresahan dan ketidaknyamanan dengan budaya saya sendiri, saya mencari alternatif demi alternatif untuk berusaha larut di dalamnya. Saya ingin secara total dan utuh menjadi sesuatu yang baru, agar segala kegelisahan saya terselesaikan. Ingin menjadi zen buddhist di Jepang, ingin menjadi Hindu Bali, … </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Untuk pada akhirnya mengakui bahwa semua itu tidak berhasil membuat saya merasa utuh, dan bahwa apa yang ada dalam diri saya selalu campur aduk dan penuh pertentangan, dibutuhkan waktu panjang. Dan, tepat sekali seperti yang dikatakan Wahmuji, pengakuan itu butuh keberanian. Lebih-lebih untuk mengakui bahwa saya berdiri di posisi tertentu di tengah relasi kekuasaan global, yaitu sebagai bagian dari manusia Eropa dengan sejarah kelamnya sebagai penjelajah dunia yang menindas (menjajah) hampir seluruh planet bumi ini. Tidak mudah untuk meninggalkan hasrat untuk menyangkal realitas itu, lalu melarutkan diri dalam ilusi bahwa saya bisa menjadi apa saja yang saya mau, tanpa berurusan dengan relasi kuasa dan penenindasan. Keberanian untuk bersikap semakin jujur tumbuh lewat sebuah proses panjang, dan baru kini, di usia saya yang sudah kepala 4, pemahaman akan posisionalitas diri saya mulai terpetakan dengan agak lebih eksplisit. Entah proses itu akan membawa saya ke mana di masa mendatang.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Sebagai kesimpulan dari renungan saya dalam dialog dengan Arahmaiani itu, saya semakin meyakini bahwa keberanian untuk memandang dan mengungkapkan diri secara jujur merupakan bagian dari tanggungjawab kami sebagai intelektual. Kemampuan yang saya miliki saat ini untuk mengartikulasikan posisionalitas saya, tidak mungkin saya capai tanpa proses pembelajaran yang bersifat akademis, yaitu lewat bacaan teoritis, kerja penulisan, dan diskusi-diskusi akademis. Lewat refleksi tentang proses panjang yang saya butuhkan untuk sampai ke titik ini, saya merasa diingatkan untuk berhati-hati dalam menilai orang lain. Tidak semua orang perlu, mampu, dan berkesempatan menyibukkan diri dengan sekian ambivalensi dalam diri, dan tidak semua orang merasakan keasyikan dalam pekerjaan seperti itu, seperti yang saya rasakan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Setelah peluncuran buku pada tanggal 28 Februari itu, beberapa kali saya teringat akan pertanyaan Tia. Apakah saya masih feminis? Yang menarik bagi diri saya bukan sekadar bahwa saya tidak tahu jawabannya, tapi juga bahwa ternyata saya hampir tidak pernah mengajukan pertanyaan semacam itu pada diri saya sendiri. Sekian tahun saya mempelajari Kajian Gender, dan tentu saja saya terus-menerus menghubungkan apa yang saya baca dengan pengalaman kehidupan saya sendiri. Namun di tengah kompleksitas renungan yang distimulasi oleh bacaan-bacaan yang beragam tersebut, pertanyaan “apakah saya feminis” jarang mengemuka. Mungkin karena pertanyaan itu bersifat terlalu besar, umum, dan abstrak. Daripada bertanya apakah bacaan-bacaan di bidang Kajian Gender membuat saya menjadi feminis atau tidak, saya lebih menikmati pertanyaan seputar pertentangan, ambivalensi, dan “kegalauan” yang lahir akibat perjumpaan antara bacaan tersebut dengan sekian aspek lain dalam diri saya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: large;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;"><b>Rujukan</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: large;">Wahmuji, “Pengalaman, Posisionalitas, dan Kekuasaan”, literasi.co 9 Maret 2017, <a href="http://literasi.co/2017/03/pengalaman-posisionalitas-dan-kekuasaan/">http://literasi.co/2017/03/pengalaman-posisionalitas-dan-kekuasaan/</a></span></div>
Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2164657208058838458.post-79180974346536219262017-02-08T19:14:00.000-08:002017-02-11T03:04:45.716-08:00Kajian Gender dan aku, sebuah refleksi pribadi<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:TargetScreenSize>800x600</o:TargetScreenSize>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>AR-SA</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><i><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tulisan berikut awalnya kubuat pada tahun 2015,
dalam rangka mengevaluasi dan merefleksikan kiprah<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">ku</span> di Kajian Gender, dan
secara khusus keterlibatanku di pusat studi gender milik Program Pascasarjana
Universitas Sanata Dharma, tempat aku bekerja. Lewat refleksi tersebut, aku
mulai lebih menyadari betapa rumitnya hubungan diriku, dengan segala
kompleksitas identitasku, dengan bidang studi Kajian Gender yang kini, pada
akhirnya, makin aktif kugeluti. </span></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada
tahun 2005, saat aku mulai mengajar di</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Sadhar</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> dan Anjani</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> (Pusat Studi
Perempuan, Media, dan Seni)</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> secara
informal didirikan (dengan acara pertama berupa workshop “Tubuh Ini Milik
Siapa?” bulan April 2005), pengetahuanku mengenai Kajian Gender masih sangat
terbatas. Selain tidak pernah secara formal mempelajari Kajian Gender semasa
kuliah sampai tingkat S3 di Jerman, keresahan seputar masalah gender tidak
memainkan peran</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> yang sangat</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> besar dalam kehidupan pribadiku sampai saat itu. Aku
tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku feminis. Aku pun tidak </span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">merasa
</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">memiliki pengalaman-pengalaman pahit yang membuatku
dendam pada kaum laki-laki, dan jarang merasa dinomorduakan atau ditindas atas
dasar genderku. Dengan latar belakang seperti itu, aku menyambut baik usul </span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">rekan-rekan
di kampus</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> untuk mendirikan pusat studi
perempuan, namun tanpa adanya motivasi atau dorongan kuat yang berakar pada
keresahan atau kepedulian pribadi. Apakah keperempuananku menjadi masalah?
Adakah sesuatu yang perlu dibongkar atau direnungkan pada identitas genderku?
Entah – pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang kupikirkan.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> <span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Meskipun demikian, dalam
keseharianku bukan tidak pernah ada masalah atau kegelisahan berkaitan dengan
identitasku, atau konkritnya, dengan persepsi diri dan persepsi orang lain
terhadap siapa diriku, dan posisi diriku di tengah lingkungan sosialku. Namun
identitas tersebut umumnya bersifat lebih kompleks daripada sekadar identitas
gender. Aku hampir tidak pernah secara terisolasi mengalami diri sebagai
perempuan, namun yang cukup sering menjadi persoalan dalam kehidupan
sehari-hari adalah identitasku sebagai perempuan bule. Dengan kata lain, aku
jarang mempersepsi diri (dan merasa dipersepsi) sebagai bagian dari “kaum
perempuan” berhadapan dengan “kaum laki-laki” secara umum, tapi aku cenderung
secara lebih spesifik mengalami diri sebagai perempuan kulit putih di tengah
masyarakat Indonesia. Seringkali dalam interaksi sehari-hari, aku merasa
dibedakan dari perempuan lokal, atau bahkan diperhadapkan dengannya. Sebagai
perempuan bule, aku cenderung dipandang “lebih bebas”, “lebih terbuka”, atau
“lebih teremansipasi” daripada perempuan Indonesia, atau, dalam versi yang
lebih negatif dan menyakitkan, dipandang sebagai objek seks yang mudah
didekati, dengan asumsi bahwa perempuan bule tidak bermoral sehingga “bisa
diajak”. Namun kejengkelan dan ketidaknyamanan terhadap asumsi-asumsi semacam
itu baru bisa kuekspresikan seadanya pada saat itu. Aku belum memiliki bahasa
dan pendekatan yang tepat untuk membicarakan pengalamanku.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Aku gelisah bukan sekadar karena
jengkel akan pandangan stereotipikal terhadap perempuan kulit putih yang seringkan
tidak mengenakkan itu. Meski pada mulanya belum dapat mengartikulasikannya
dengan jelas, kurasakan betapa ada persoalan yang lebih mendasar di balik
stereotipe-stereotipe itu, dan bahwa permasalahan tersebut memiliki kaitan
dengan relasi kekuasaan global dan pascakolonialitas. Sering kuamati atau
kualami betapa prilaku atau nilai (yang dipersepsi sebagai) “khas Barat”
dicitrakan sebagai “lebih maju”. Kaumku – perempuan Barat – konon punya ruang
gerak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh adat dan aturan agama, bebas dalam
hal seksualitas, berpakaian lebih terbuka dan merdeka, bebas berkarir tanpa
perlu memikirkan keluarga, dan segudang “keistimewaan” lainnya. Pemosisian
tersebut membuatku merasa tidak nyaman. Benarkah kami – perempuan Barat –
demikian bebas dan bahagia? Berdasarkan pengalaman hidupku, aku kurang bisa
membenarkannya. Di samping itu, mengapa nilai-nilai yang terdefinisikan sebagai
“Barat” dipandang lebih “maju”? Lebih mulia dan teremansipasikah seorang
perempuan bila dia berpakaian “terbuka” dan berganti-ganti pasangan seks? Dan
kata siapa nilai-nilai “Barat” sudah pasti lebih baik daripada apa yang bisa
ditawarkan oleh adat lokal atau ajaran agama? Kehadiranku di Indonesia tidak
pernah dilatarbelakangi asumsi akan keunggulan budayaku sendiri, yang ingin
kutularkan pada “saudara-saudaraku yang kurang beruntung” di “Dunia Ketiga”.
Justru sebaliknya: sudah lama - minimal sejak usia remaja – aku kerapkali kurang
puas akan apa yang bisa ditawarkan oleh budayaku sendiri. </span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ada beberapa adegan dari workshop
“Tubuh Ini Milik Siapa?” tahun 2005 yang terekam dalam ingatanku, dan adegan
itu dengan cukup jelas mewakili keresahanku. Workshop itu menghadirkan tiga orang
perempuan Jepang, dua di antaranya seniman (performance dan komik), dan yang
ketiga pemilik sebuah sexshop khusus perempuan. Dalam sesi diskusi, pemilik
sexshop tersebut menjadi salah satu pembicara, dan sebagai ilustrasi atas
presentasinya, dia membawa berbagai jenis produk sebagai contoh, terutama
berupa dildo dan vibrator. Produk itu diedarkan, sehingga peserta bisa
melihat-lihatnya sambil mendengarkan penjelasan pembicara mengenai gagasan di
belakang sexshop khusus perempuan yang dikelolanya itu. (Kalau tidak salah
ingat, gagasan tentang perlunya sexshop khusus perempuan berangkat dari
pengalaman perempuan yang merasa tidak nyaman dan tidak leluasa saat berbelanja
di sexshop umum yang banyak dikunjungi laki-laki.) Peserta workshop mayoritas
mahasiswi yang masih relatif muda, banyak di antaranya dari universitas lain,
mungkin UNY atau UIN. Terlihat dengan cukup jelas bahwa benda-benda yang
diedarkan tersebut merupakan barang baru bagi mereka. Benda itu, beserta
pemaparan tentang sexshop, dengan sendirinya menggiring diskusi pada topik
masturbasi. Norma agama pun mulai dipersoalkan oleh beberapa peserta, khususnya
dalam konteks agama Islam (di antara peserta banyak yang menggunakan jilbab,
menandakan bahwa mereka sendiri Muslim). Apakah masturbasi itu terlarang dalam
Islam, dan bagaimana larangan itu mesti disikapi? Beberapa peserta dengan cukup
lantang memprotes norma agama berkaitan dengan masturbasi. Mendengarkan protes
lantang itu, aku makin lama makin kurang nyaman, sehingga akhirnya merasa perlu
berintervensi. Kutekankan betapa apa pun pendapat pribadi masing-masing,
pilihan untuk tunduk pada norma agama perlu dihormati. Kata siapa bahwa
perempuan yang bebas melakukan masturbasi adalah manusia lebih “maju” daripada
perempuan yang menahan diri dalam hal itu atas dasar keyakinan bahwa masturbasi
itu dosa?</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Aku mengingat adegan itu antara lain
disebabkan oleh keganjilannya. Di saat perempuan-perempuan berjilbab itu
mengungkapkan gugatan terhadap norma agama mereka sendiri, mengapa aku yang
bukan Muslim (bahkan tidak memiliki agama saat itu) justru merasa perlu membela
pilihan hidup yang diambil atas dasar ketaatan beragama? Yang mendasari
tindakanku </span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">tersebut</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> terutama satu hal: aku merasa sangat tidak nyaman dengan situasi dimana di
antara perempuan yang beragam dengan pilihan hidup masing-masing, ada yang
dianggap “lebih benar”, dalam arti lebih bebas, maju, dan teremansipasi, dan
ada yang dicap “salah”, dalam arti tertindas dan kolot. Siapa yang berhak
membuat penilaian seperti itu, atas dasar apa? Lebih jauh lagi, aku merasakan
betapa penilaian seperti itu seringkali dibuat seakan-akan atas namaku, yaitu
dengan merujuk pada nilai-nilai budayaku (yang konon lebih maju dan
teremansipasi). Meskipun tidak mampu kuekspresikan seeksplitit ini pada momen
tersebut, tampaknya ketidaknyamanan akan posisi yang diberikan padaku itulah
yang menggerakkanku untuk berintervensi pada saat itu. Sebagai wakil lembaga
yang mengadakan workshop itu, aku merasa bertanggung jawab akan pesan yang
tersampaikan. Rasanya tidak rela kalau sebagian peserta workshop pulang dengan
membawa kesimpulan bahwa nilai yang mereka yakini selama ini ternyata bersifat
kolot dan seksis, atau bahwa diri mereka tertindas dan tidak maju. Dan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>terutama sekali, kalau pesan seperti itu
tersampaikan oleh lembaga yang dikelola oleh seorang perempuan Barat (yaitu
diriku), bukankah akan kelewat sejalan dengan wacana dominan yang memang
memposisikan perempuan Barat di atas perempuan “Dunia Ketiga”? Aku sangat tidak
ingin mengambil bagian dalam wacana semacam itu.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Masih ada adegan lain yang kuingat
dari workshop yang sama. Adegan tersebut tidak membawa keresahan serupa, justru
sebaliknya, terasa wajar-wajar saja. Dalam diskusi yang sama dengan perempuan
Jepang yang berbicara tentang sexshopnya, sambil lalu pembicara tersebut
menyebut tampon sebagai salah satu produk yang dijual di tokonya. Spontan di
saat itu aku menginterupsi pembahasannya dan meminta waktu sebentar, sekaligus
meminjam tampon yang dibawanya sebagai contoh. Aku mengangkat tampon itu sambil
memberi penjelasan singkat tentang kegunaannya, yaitu bahwa fungsi tampon
serupa dengan pembalut, tapi tampon dikenakan dengan cara memasukkannya ke
dalam vagina. Setelah itu dengan suara rendah aku menjelaskan pada pembicara
bahwa di Indonesia tampon jarang digunakan, sehingga kemungkinan besar sebagian
peserta belum tahu tampon itu apa. Pembicara mengucapkan terima kasih, sebab
tanpa intervensiku itu, dia tidak akan menyadari hal itu. Dia berasumsi bahwa
perempuan Indonesia terbiasa memakai tampon, sama seperti perempuan Jepang.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dalam ingatanku, adegan tersebut
terekam sebagai detail yang menyenangkan, sebab di situ kekhasan identitasku
menjadi kelebihan yang membawa manfaat bagi orang di sekitarku. Komunikasi
seputar tampon hampir gagal karena pembicara tidak tahu bahwa tampon tidak umum
digunakan di Indonesia. Dengan latar belakangku yang bersifat lintas budaya,
aku mengenal tampon, sekaligus juga mengenal kondisi di Indonesia. Maka dengan
mudah aku bisa menfasilitasi komunikasi yang terhambat itu. Namun kali itu, hal
itu terjadi tanpa kurasakan kerumitan ketimpangan relasi kekuasaan. Tampon
tidak dicitrakan lebih baik atau lebih maju daripada pembalut pada momen itu.
Maka aku pun nyaman-nyaman saja dalam posisiku sebagai pemberi penjelasan: Aku
sekadar sedang berbagi informasi yang kebetulan kumiliki, bukan sedang memberi
“penyuluhan”.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pada dasarnya, keresahan terkait
dengan kerumitan posisiku tersebut berlanjut sampai saat ini. Rasa kurang
nyaman dengan posisiku sebagai perempuan kulit putih yang tak jarang
diuntungkan dalam hal tertentu, diasumsikan mewakili nilai budaya tertentu,
atau bahkan diharapkan membawa pencerahan atau menjadi penolong bagi perempuan
non-Barat, cukup mempengaruhi pilihan-pilihan hidupku, baik di ranah pribadi
maupun akademis. Khususnya berkaitan dengan kiprahku di dunia penulisan, hal
itu sempat semakin kusadari dan kuekspresikan dengan lebih eksplisit dalam
kasus perdebatan seputar Ayu Utami dan karyanya (lihat terutama eseiku
“Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas” dalam bukuku <i>Sastra
Nasionalisme Pascakolonialitas</i>, 2013). Kritikku terhadap karya Ayu,
terutama representasi seksualitas dalam karyanya, berawal dari kegelisahan yang
kira-kira sehaluan dengan yang kudeskripsikan dalam adegan pertama di workshop
di atas, namun lebih kukembangkan. Kemudian berdasarkan reaksi orang terhadap
tulisanku, baik di Indonesia maupun di Jerman, aku makin sadar betapa “aneh”nya
pemosisian diriku di mata sebagian orang. Sebagai perempuan Barat, aku
diharapkan mendukung usaha Ayu Utami untuk “membebaskan” perempuan dari tabu
dan larangan berkaitan dengan seksualitas, bukan malah mengkritiknya. Namun di
sisi lain, cukup banyak reaksi positif yang sampai kepadaku, terutama dari
teman-teman perempuan Indonesia. Mereka senang dengan kritikku, dan merasa
keresahannya terwakili.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jadi di satu sisi aku menolak relasi
kekuasaan yang seakan-akan mengarahkanku untuk menggurui perempuan lain, atau
berbicara atas nama mereka. Namun di sisi lain, ternyata suaraku kadang-kadang
mampu menjadi wakil keresahan perempuan lain, dalam arti memberi bentuk pada
sesuatu yang tadinya sulit diekspresikan mereka. Aku rasa, hal itu pun
sebetulnya terkait dengan keistimewaan posisiku, antara lain aksesku terhadap
tulisan-tulisan teori (terutama feminisme pascakolonial), pendidikan yang
kuperoleh dengan relatif lebih mudah (sebagai perempuan Eropa kelas menengah),
dan keakrabanku dengan lebih dari satu budaya. Dengan kata lain, posisiku yang
agak istimewa ini memiliki dua potensi yang berlawanan: pertama, potensi
menjadi “wakil budaya Barat” yang bersikap menggurui yang merasa dirinya lebih
maju; kedua, potensi untuk memudahkan akses terhadap wacana kritis bagi
orang/perempuan lain (terutama non-Barat). </span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di tengah keseharianku, misalnya
saat mengajar atau saat menulis, aku kerapkali terombang-ambing antara kedua
posisi itu. Apakah aku sedang menyediakan akses terhadap wacana yang dibutuhkan
(misalnya oleh mahasiswaku), atau aku sedang bersikap sebagai orang Barat yang
memaksakan perspektifnya sendiri dan sok lebih memahami segala sesuatu? Kedua
hal itu tidak selalu mudah dibedakan satu sama lain.</span></span></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sepuluh tahun telah berlalu sejak
workshop yang kuceritakan di atas. Dalam waktu yang cukup lama tersebut,
kerumitan posisiku menjadi semakin nyata bagiku, dan aku semakin menemukan
medium dan perspektif yang tepat untuk mengungkapkannya. Justru perspektif
tersebut, yaitu terutama feminisme pascakolonial, sekaligus merupakan modal
yang bisa kutawarkan pada orang di sekitarku. Meskipun demikian, sampai saat
ini aku tetap berjuang untuk secara lebih spesifik memahami posisiku sendiri,
dan menempatkan diri di tengah lingkunganku. Hal itu terjadi lebih-lebih karena
sejak kira-kira 4 tahun lalu, posisiku diperumit sekali lagi setelah aku
menjadi Muslim. Sejauh mana itu mengubah posisiku di tengah relasi kekuasaan
global? Dan apa implikasinya dalam keseharian</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">ku</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">? </span><a href="https://www.blogger.com/null" name="_GoBack"></a><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pertanyaan
itu, bersama sekian pertanyaan lain seputar posisi diriku yang kompleks dan
unik, menjadi tantangan (dalam arti positif) dan penggerak dalam pekerjaan dan
pencarian akademisku. </span></span></div>
Katrin Bandelhttp://www.blogger.com/profile/10670366878079658167noreply@blogger.com0