cahaya

cahaya

Senin, 24 April 2017

Suman Gupta: Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies


Tulisan ini sekadar berupa rangkuman buku Suman Gupta berjudul Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies (Palgrave Macmillan, 2007), yang saya buat untuk keperluan matakuliah “Sastra dan Politik Identitas”, dan saya tempatkan di blog ini demi memudahkan aksesnya untuk mahasiswa saya. Rangkuman ini belum mendalam, dan belum dilengkapi refleksi kritis apa pun.

Penulis buku ini, Suman Gupta, adalah pengajar di Open University, Inggris. Bidangnya sastra dan kajian budaya. Dalam bukunya ini, Gupta membahas gejala menguatnya politik identitas, dan institusionalisasinya di dunia akademis, dengan contoh Kajian Sastra di Amerika Serikat dan Inggris. Gupta menyampaikan kritik yang cukup tajam terhadap perkembangan yang diamatinya.
Buku ini terdiri dari dua bagian: yang pertama membahas fenomena politik identitas secara umum, dan yang kedua meneliti wujudnya di bidang Kajian Sastra.

1 Introduction: Prelude to Definitive Elaborations
Seperti yang diindikasikan oleh judulnya, politik identitas yang dibahas Gupta adalah politik identitas yang bersifat konstruksionis sosial. Pada masa kini, dalam ilmu sosial dan humaniora umumnya identitas dipahami bukan sebagai sesuatu yang terberi, tapi sebagai konstuk sosial. Atau dengan kata lain, konsep identitasnya anti-esensialis. Gupta sendiri pun menganut paham yang sama. Kritik yang diajukannya berangkat dari dalam konstruktivisme sosial sendiri: menurut Gupta, ada beberapa kecenderungan yang kurang baik dalam pengembangan gagasan seputar identitas. Gagasan-gagasan tersebut mendasari praktek-praktek politik identitas dengan corak tertentu, yang makin lama makin dominan di dunia akademis (dan di luarnya, tapi hal itu tidak banyak dibahasnya).

Untuk memperjelas analisisnya, Gupta membedakan antara “posisi politis berbasis identitas” (identity-based political position) dan “politik identitas” (identity politics). Posisi politis berbasis identitas adalah posisi politis yang diambil seseorang berdasarkan identitasnya, misalnya sebagai perempuan, sebagai gay, sebagai orang kulit hitam, sebagai Muslim, dan sebagainya. Logika yang umumnya digunakan di sini adalah logika embodiment: yang boleh menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu adalah orang yang bisa mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang bersangkutan, sehingga suaranya dapat diterima sebagai “otentis” (msl., yang mengambil posisi politis sebagai perempuan harus bisa mengidentifikasikan diri sebagai perempuan, bukan sebagai laki-laki). Berbagai posisi politis berbasis identitas kemudian dikaitkan satu sama lain, dengan cara menggunakan bahasa teoritis yang sama untuk membahas berbagai jenis identitas. Misalnya, kaum lesbian dan kaum African-American sama-sama memposisikan diri sebagai minoritas yang perlu memperjuangkan haknya di Amerika Serikat, sehingga dibutuhkan kerjasama, tapi tanpa mempertanyakan logika embodiment untuk masing-masing posisi (artinya, lesbian tidak berhak mencampuri urusan kaum African-American dan sebaliknya). Penyetaraan dan kebersamaan itulah yang oleh Gupta dipahami sebagai politik identitas.

Pilihan untuk membedakan antara posisi politis berbasis identitas dengan politik identitas ini tidak umum dilakukan. Dalam tulisan-tulisan lain, apa yang oleh Gupta disebut sebagai posisi politis berbasis identitas pun kerapkali dirujuk dengan istilah “politik identitas”.


Part I: Social Constructionist Identity Politics

2 Identity-Based Political Positions
Di bab ini, Gupta sekilas mereview konsep identitas dari perspektif filsafat dan sosiologi. Berbeda daripada, misalnya, “kepribadian”, kata “identitas” mendeskipsikan individu dengan merujuk pada kelompok masyarakat tertentu. Dengan mengidentifikasi diri sebagai perempuan, misalnya, diasumsikan bahwa seseorang punya kesamaan dengan perempuan lain, dan berbeda daripada laki-laki. Kata “identitas” dipakai baik untuk kelompok maupun individu, namun identitas kelompok mendahului identitas individu. Maka identitas individu terbentuk (sebagai konstruk sosial) bukan secara bebas, tapi terjadi over-determination (hlm. 13). (Contoh: Saat seseorang lahir dan diidentifikasi sebagai perempuan, lalu dibesarkan sebagai perempuan, kelompok perempuan sudah ada lebih dulu, dan sudah ada pemahaman bersama tentang apa itu identitas perempuan. Pemahaman itu mempengaruhi pembentukan identitas anak perempuan tersebut.)

Lalu ketika basis identitas dijadikan sebuah posisi politis, cirinya seperti apa? Umumnya, kaum yang mengambil posisi politis seperti itu merepresentasikan diri sebagai terancam atau termarjinalisasi. Identitas dipersoalkan karena dianggap perlu dibela. Gerakan perempuan, gerakan LGBT, dan sebagainya, berangkat dari kesadaran bahwa kepentingan mereka kurang terakomodasi dalam masyarakat yang patriarkis/homofobia, sehingga perlu diperjuangkan. Meskipun demikian, retorika politis berbasis identitas tidak selalu bersifat emansipatif, tapi juga bisa sangat konservatif. Menurut Gupta, kelompok yang memperjuangkan emansipasi umumnya mempersepsi diri sebagai termarjinalisasi, dan menggugat untuk lebih diakui (misalnya, minoritas etnis/ras, gender, atau orientasi seksual yang memperjuangkan pengakuan dan haknya di tengah masyarakat umum). Sedangkan argumentasi berbasis identitas yang bersifat konservatif lazim ditemukan dalam konteks pertahanan status quo, misalnya ketika masyarakat kulit putih Eropa mempersepsi diri sebagai “terancam” oleh kedatangan imigran dari negara non-Barat. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa aksi politis berbasis identitas sama sekali bukan hanya wilayah gerakan kiri. Baik politik kiri, maupun kanan (konservatif), memanfaatkan retorika serupa.

Uniknya, terkadang kedua jenis argumentasi politis itu bercampur aduk, misalnya ketika George Bush dan Tony Blair beretorika mengenai perlunya melindungi budaya “kita” (Barat) dari ancaman yang datang dari luar, namun sekaligus mengadopsi pembicaraan mengenai pluralisme dan multikulturalisme di negara masing-masing.


3 Embodying Identity-Based Political Positions
Gupta mengamati betapa dalam sangat banyak pembahasan seputar identitas, perdebatan antara esensialisme dan konstruktifisme sosial dijadikan fokus utama. Esensialisme berangkat dari asumsi bahwa identitas manusia terdefinisikan oleh esensi tertentu dalam dirinya, alias bersifat terberi. Misalnya, bahwa seseorang menjadi perempuan karena memiliki rahim, vagina, dan payudara. Konstruktifisme sosial terus-menerus mengambil jarak dari esensialisme, dan mendefisisikan diri sebagai anti-esensialis. Namun menurut Gupta, ada elemen yang ganjil dan mengganggu di dalam posisi konstruktifis sosial sendiri, yaitu konsep embodiment. Meskipun identitas dianggap sebagai konstruksi, untuk menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu, orang mesti embody posisi itu. Di satu sisi konstruktifisme sosial memandang identitas sebagai sesuatu yang cair dan terus-menerus dikonstruksi ulang, tanpa adanya esensi atau sifat bawaan yang tertanam dalam tubuh, namun di sisi lain, orang yang tidak secara tegas teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok tertentu, tidak dipandang berhak untuk berbicara atas namanya (tidak dianggap otentis). Gupta mengamati betapa ambivalensi ini melahirkan sekian penjelasan teoritis yang kompleks yang rumit, yang menurutnya sering kurang bisa diterima.

Logika embodiment bermasalah menurut Gupta karena bersifat membatasi komunikasi. Yang dianggap berhak berbicara dalam mendefinisikan setiap posisi politis berbasis identitas hanyalah orang yang embody posisi tersebut. Orang lain dituntut untuk menghormati posisi tersebut, tanpa boleh ikut bersuara. Dengan demikian, yang terbentuk adalah situasi di mana berbagai kalangan sama-sama bersuara atas dasar identitas mereka, dituntut untuk saling mentoleransi, namun hanya secara sangat terbatas bisa saling berdialog karena masing-masing dianggap tidak memiliki otoritas untuk mencampuri urusan yang lain.

Gupta kemudian bertanya, apakah ada posisi politis berbasis identitas yang tidak menggunakan logika embodiment? Dalam pembahasan singkat, dia mengajukan pendapat bahwa posisi politis seperti itu memang mungkin, dan ada. Misalnya, orang bisa menentang diskriminasi terhadap siapa saja, atas dasar kemanusiaan secara umum, tanpa perlu embody identitas terdiskriminasi tertentu. Atau, misalnya, laki-laki bisa berpolitik feminis, meskipun dirinya tentu tidak embody posisi perempuan.


4 Analogues and Equivalences
Lalu bagaimana politik identitas tercipta, berdasarkan posisi politis berbasis identitas tadi? Hal itu, menurut Gupta, terjadi lewat analogi (analogues) dan ekuivalensi (equivalences). Gupta menganalisis tulisan-tulisan yang digunakan untuk mengkonstruksi dan mendasari politik identitas secara teoritis. Menariknya, kata “analogi” dan “ekuivalensi” sendiri justru hampir tidak pernah muncul di situ. Hal itu terjadi karena, menurut Gupta, logika analogi dan ekuivalensi memang disamarkan atau tidak disadari.

Lewat sekian konsep teoritis yang belakangan ini semakin menjadi mode, berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan dan dihubungkan satu sama lain, tanpa mengganggu logika embodiment. Gupta mengklasifikasinya menjadi tiga jenis konsep:

Pertama, in-between terms. Contohnya, koalisi, pluralisme, keberagaman (diversity), perbedaan (difference). Menarik diamati bahwa kini dalam wacana teoritis (maupun wacana publik), kata-kata seperti itu sering muncul tanpa penjelasan lebih spesifik. “Menghormati perbedaan”, misalnya, menjadi anjuran yang sangat biasa, tanpa ada yang bertanya “perbedaan antara apa atau siapa?” Dengan cara seperti itu, secara implisit berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan (ditempatkan sebagai analog, i.e. serupa, dan ekuivalen, i.e. setara). Gupta melacak betapa teori-teori kontemporer digunakan sebagai dasar untuk memberi validitas terhadap konsep tersebut. Salah satu contoh adalah konsep Derrida mengenai differance. Dengan merujuk pada konsep semacam itu, perayaan atas “perbedaan” mendapat nuansa radikal dan canggih.

Retorika mengenai pluralisme atau keberagaman menjadi sangat dominan, sehingga bahkan pemikir yang pada intinya berangkat dari konsep yang bertentangan (berbicara tentang nilai universal, misalnya), merasa perlu mengakomodasinya. Hal itu tidak jarang menghasilkan teori yang penuh pertentangan.

Kedua, encompassing terms. Contohnya adalah kata “identitas” sendiri, juga multikulturalisme dan gerakan sosial. Dengan penggunaan istilah-istilah yang sama ini untuk membahas fenomena-fenomena yang berbeda (gender, warna kulit, orientasi seksual, dst; gerakan gay/lesbian, perjuangan melawan penjajahan, feminisme, dst), tercipta kesan bahwa berbagai posisi politis berbasis identitas memang bersifat serupa (tanpa perlu ada pembuktian khusus tentang hal itu, karena sudah terasumsikan lewat penggunaan kata yang sama).

Ketiga, metatheoretical terms. Contohnya: pascamodernisme, pascakolonialisme, globalisasi. Tidak bisa dikatakan bahwa teori pascakolonial atau pascamodern didominasi politik identitas, atau mempersoalkan identitas sebagai topik utamanya. Namun teori tersebut menyediakan latar bagi politik identitas, misalnya lewat pendobrakannya terhadap grand narratives. Dengan demikian, berbagai posisi politis berbasis identitas sama-sama terkonstruksi sebagai bagian dari sikap atau gerakan kritis yang sama.


5 Identity Politics at Work
Politik identitas kini telah terinstitusionalisasi, bukan sekadar dalam arti bahwa ada lembaga yang menjalankannya, tapi dalam arti bahwa politik identitas terus-menerus terjadi lewat tindakan dan praktek yang dianggap wajar dan menjadi kebiasaan.

Di ranah politis, menurut Gupta pada masa kini apa yang disebut politik kiri pada dasarnya adalah politik identitas. Latar belakangnya adalah kemunculan gerakan kiri baru setelah gerakan kiri marxis yang lama dipandang tidak relevan lagi. Bagi Gupta, ini merupakan perkembangan yang memprihatinkan, sebab politik identitas mudah terkooptasi oleh kekuatan konservatif/kapitalis. Strategi yang umum digunakan adalah dengan memberi ruang dan hak tertentu bagi kelompok-kelompok berbasis identitas, sehingga semangat perlawanan memudar. Komersialisasi juga mudah terjadi, yaitu dengan menyediakan berbagai produk dan jasa khusus bagi anggota kelompok berbasis identitas tertentu.

Gupta kemudian secara singkat dan tegas merumuskan posisinya sendiri dalam menyikapi politik identitas:
1. Setiap ekspresi atau pemosisian politis harus bersifat terbuka, sehingga siapa pun yang merasa berkepentingan, boleh melibatkan diri dengannya.
2. Tidak ada orang yang lebih memiliki otoritas, atau yang suaranya lebih otentis daripada yang lain. Yang menjadi ukuran hanya akses terhadap informasi, pemahaman, dan integritas.
3. Diskriminasi dan prasangka perlu terus-menerus disikapi secara kritis, termasuk dengan cara bersikap kritis terhadap kecenderungen politik identitas yang dominan.


Part II: Literary Studies

6 Theory, Institutional Matters, Identity Politics
Bagaimana politik identitas terinstitusionalisasikan di kajian sastra? Gupta memulai pembahasannya dengan menggambarkan situasi kajian sastra sebelum dan di saat politik identitas mulai menjadi sangat berpengaruh. Sejak tahun 60an dan 70an, terjadi banyak pembaharuan di kajian sastra, akibat pengaruh teori-teori pascastruktural. Teori-teori yang kerapkali dirujuk dengan kata “Theory” (huruf besar) itu membentuk sebuah metalanguage tentang sastra, yaitu membawa pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar mengenai sastra dan penulisan daripada teori-teori yang ada sebelumnya. Di sini Gupta melacak adanya dua kecenderungan yang berbeda, yang dia bahas dengan merujuk pada dua tokoh, yaitu Paul de Man dan Edward Said. De Man melakukan dekonstrusi, dengan melacak pertentangan dan ambivalensi dalam teks. Baginya sastra merupakan jenis teks yang istimewa, karena sadar akan sifat retorisnya sendiri (bukan sekadar bertujuan menyampaikan pesan tertentu, tapi justru lebih berfokus pada eksplorasi bahasa). Said, sebaliknya, berbicara tentang worldliness setiap teks, yaitu bahwa di belakang setiap teks, termasuk teks sastra, ada kepentingan-kepentingan tertentu (msl., kepentingan kolonial). Kedua kecenderungan itu sebetulnya bertentangan, tapi sama-sama dipahami sebagai bagian dari “Teori”, sehingga lama-lama pertentangannya cenderung kurang disadari.

Perkembangan tersebut menurut Gupta memfasilitasi pembentukan politik identitas dalam kajian sastra. Argumentasi seputar worldliness menjadi penting sebagai alasan mengapa kritikus sastra perlu berbicara dengan berangkat dari basis identitas tertentu: karena karya sastra sering bersifat rasis, kolonial, atau patriarkis, maka dibutuhkan kritikus yang berbicara atas nama orang kulit berwarna, kaum terjajah, atau perempuan. Namun seperti yang dibahas di Bagian I, logika embodiment tersebut kemudian tersamarkan oleh penggunaan konsep-konsep anti-esensialis, yaitu konsep-konsep pascastrukturalis yang menciptakan analogi dan ekuivalensi.


7 Self-Announcements and Institutional Realignments
Di bab ini, Gupta membahas enam contoh buku kajian sastra untuk mengilustrasikan wujud politik identitas dalam praktek akademis. Di buku-buku tersebut, yang diberi perhatian oleh Gupta adalah pengakuan-pengakuan tertentu di pinggir teks, misalnya dalam pendahuluan, kata pengantar atau penutup. Pengakuan-pengakuan para akademisi yang berstatus sebagai penulis buku tersebut semuanya menyangkut identitas diri mereka masing-masing, yang dikaitkan dengan isi buku yang ditulis. Tiga contoh mengilustasikan momen dimana sebuah posisi politis berbasis identitas mulai di-embody, dan tiga contoh lagi mengilustrasikan politik identitas konstruktifis sosial dalam arti yang lebih luas.

Di antara tiga contoh pertama, ada buku The Apparitional Lesbian: Female Homosexuality and Modern Culture karya Terry Castle (1993). Di bagian awal bukunya, Castle menceritakan betapa pada mulanya dirinya tidak punya maksud untuk menulis buku tentang lesbian. Namun di tengah penelitiannya dalam rangka rencana penulisan dengan topik lain, dirinya merasa gelisah, gagal mengawali tulisannya dengan lancar, lalu spontan mulai menulis tentang identitas lesbian dengan nada otobiografis. Hal itu terasa melegakan dan lebih masuk akal baginya. Dirinya sadar bahwa tanpa diakui, topik tersebut telah lama menghantuinya. Dalam buku tersebut, Castle kemudian melacak ekspresi lesbianisme dalam karya sastra.

Gupta membahas pengakuan Castle tersebut dengan menekankan betapa logika embodiment dihadirkan secara sangat eksplisit di situ. Disebabkan oleh identitasnya sendiri sebagai lesbian, Castle dipandang (atau memandang diri) memiliki kemampuan lebih untuk membahas representasi lesbianisme dalam karya sastra. Pilihannya untuk meninggalkan gaya kerja akademisnya yang lama, lalu menulis dengan berangkat dari posisi dan pengalaman pribadinya, diberi kesan otentisitas dan dirayakan sebagai sikap yang berani dan kritis.

Sedangkan di antara tiga contoh berikutnya, ada buku Critical Condition: Feminism at the Turn of the Century karya Susan Gubar (2000). Dalam buku tersebut, Gubar mengevaluasi perkembangan kritik sastra feminis sejak tahun 70an. Setelah feminisme berhasil diterima dan terinstitusionalisasi dalam kajian sastra, kini perjuangan bergeser: identitas-identitas minoritas yang lebih khusus kini perlu diartikulasikan, seperti misalnya lesbian, atau perempuan Afrika-Amerika. Uniknya, seperti yang diamati Gupta, di satu sisi Gubar membahas feminisme atas dasar identitas dirinya sebagai perempuan (sehingga merasa berhak dan perlu berpolitik feminis), atau dengan kata lain, dia menggunakan logika embodiment. Namun ketika membahas feminisme lesbian dan feminisme kulit hitam, Gubar agak kesulitan karena dirinya bukan lesbian dan tidak berkulit hitam. Maka di situ, alasan yang diberikan adalah bahwa identitas bersifat cair dan tidak stabil, dan bahwa kritik terhadap rasisme dan homofobia tetap sah dilakukannya sebagai feminis. Tampak betapa politik identitas dilakukan dengan cara menyejajarkan berbagai posisi minoritas, dan betapa embodiment menjadi permasalahan dalam pekerjaan tersebut.

Contoh-contoh itu mengilustrasikan betapa kuatnya retorika yang berdasar pada identitas dalam kajian sastra. Identitas akademisi menjadi faktor penting, yang dipandang memberinya otoritas untuk berbicara tentang topik tertentu, misalnya kritikus gay bicara tentang homoseksualitas dalam sastra, atau kritikus kulit hitam membahas representasi ras. Pembenaran teoritis terhadap kecenderungan tersebut, seperti yang ditunjukkan Gupta, berusaha mempertahankan konstruktifisme sosial dengan cara yang kerapkali bermasalah dan penuh pertentangan.


8 Theory Textbooks and Canons
Textbook (buku ajar) merupakan genre teks yang khas, yaitu memiliki fungsi untuk “menginisiasi” pendatang baru ke sebuah bidang studi. Dengan demikian, buku teks berusaha menyampaikan hal-hal mendasar yang dianggap perlu diketahui oleh siapa pun yang ingin berkarya di bidang studi tersebut. Berdasarkan pengamatan tersebut, Gupta meneliti beberapa textbook kajian sastra, yaitu secara khusus textbook yang mengalami beberapa kali cetak ulang. Dengan demikian, tampak dengan jelas perubahan seperti apa yang terjadi dalam beberapa dekade ini.

Hasilnya adalah bahwa ternyata dalam textbook-textbook yang banyak digunakan, politik identitas semakin mendapat tempat. Misalnya, ditambahkan bab tentang kritik sastra queer, kulit hitam, atau pascakolonial. Hal itu umumnya dilakukan dengan cara yang oleh Gupta, dengan mengutip Jeffrey R. Di Leo, secara sinis disebut “cookie cutter approach”. Kritik sastra diajarkan dengan cara memperkenalkan sejumlah pendekatan, yang disejajarkan begitu saja untuk dipilih sesuai kebutuhan atau kesenangan mahasiswa/peneliti. Maka pendekatan yang berbasis identitas pun bisa diintegrasikan dengan mudah. Hal itu tidak berlaku untuk sejumlah kecil textbook yang tidak memakai cookie cutter approach, tetapi membahas kritik sastra sebagai sebuah kontinuitas perdebatan teoritis yang saling menyambung dan saling berinteraksi, seperti misalnya Literary Theory: an introduction karya Terry Eagleton (1983). Eagleton menolak untuk mengakomodasi politik identitas saat bukunya diterbitkan ulang tahun 1993.


9 Conclusion: Questions and Prospects
Dalam bab terakhir yang singkat ini, Gupta mempersoalkan implikasi kecenderungan-kecenderungan yang dibahas di atas untuk institusi kajian sastra. Sebagai pengajar di bidang tersebut, Gupta mengamati bahwa dalam interaksi sehari-hari di jurusan Sastra Inggris pun, politik identitas menjadi sangat berpengaruh. Misalnya, untuk pengajaran matakuliah tertentu, atau pembimbingan tugas akhir tertentu, dicari dosen yang identitasnya “sesuai”. Atau, dalam interaksi di kelas, masing-masing bertindak dengan sadar akan identitasnya: saat membahas teks tentang lesbian, misalnya, mahasiswi yang lesbian akan merasa lebih paham dan lebih berhak bicara daripada dosen dan teman-temannya yang heteroseksual. Dengan demikian, praktek kritik sastra terus-menerus dikaitkan secara langsung dengan identitas manusia yang menjalaninya. Sekian batasan pun terus-menerus dihadirkan, dalam arti bahwa berdasarkan logika embodiment, manusia tertentu dianggap kurang cocok atau kurang berhak untuk melibatkan diri secara akademis dengan topik tertentu. Itulah kritik utama yang disampaikan Gupta dalam bukunya: Pada masa kini, relevan dan sahnya sebuah kontribusi intelektual cenderung dinilai dengan memandang identitas penulisnya, bukan dengan berfokus pada substansi kontribusi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar