Tulisan berikut awalnya kubuat pada tahun 2015,
dalam rangka mengevaluasi dan merefleksikan kiprahku di Kajian Gender, dan
secara khusus keterlibatanku di pusat studi gender milik Program Pascasarjana
Universitas Sanata Dharma, tempat aku bekerja. Lewat refleksi tersebut, aku
mulai lebih menyadari betapa rumitnya hubungan diriku, dengan segala
kompleksitas identitasku, dengan bidang studi Kajian Gender yang kini, pada
akhirnya, makin aktif kugeluti.
Pada
tahun 2005, saat aku mulai mengajar di Sadhar dan Anjani (Pusat Studi
Perempuan, Media, dan Seni) secara
informal didirikan (dengan acara pertama berupa workshop “Tubuh Ini Milik
Siapa?” bulan April 2005), pengetahuanku mengenai Kajian Gender masih sangat
terbatas. Selain tidak pernah secara formal mempelajari Kajian Gender semasa
kuliah sampai tingkat S3 di Jerman, keresahan seputar masalah gender tidak
memainkan peran yang sangat besar dalam kehidupan pribadiku sampai saat itu. Aku
tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku feminis. Aku pun tidak merasa
memiliki pengalaman-pengalaman pahit yang membuatku
dendam pada kaum laki-laki, dan jarang merasa dinomorduakan atau ditindas atas
dasar genderku. Dengan latar belakang seperti itu, aku menyambut baik usul rekan-rekan
di kampus untuk mendirikan pusat studi
perempuan, namun tanpa adanya motivasi atau dorongan kuat yang berakar pada
keresahan atau kepedulian pribadi. Apakah keperempuananku menjadi masalah?
Adakah sesuatu yang perlu dibongkar atau direnungkan pada identitas genderku?
Entah – pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang kupikirkan.
Meskipun demikian, dalam
keseharianku bukan tidak pernah ada masalah atau kegelisahan berkaitan dengan
identitasku, atau konkritnya, dengan persepsi diri dan persepsi orang lain
terhadap siapa diriku, dan posisi diriku di tengah lingkungan sosialku. Namun
identitas tersebut umumnya bersifat lebih kompleks daripada sekadar identitas
gender. Aku hampir tidak pernah secara terisolasi mengalami diri sebagai
perempuan, namun yang cukup sering menjadi persoalan dalam kehidupan
sehari-hari adalah identitasku sebagai perempuan bule. Dengan kata lain, aku
jarang mempersepsi diri (dan merasa dipersepsi) sebagai bagian dari “kaum
perempuan” berhadapan dengan “kaum laki-laki” secara umum, tapi aku cenderung
secara lebih spesifik mengalami diri sebagai perempuan kulit putih di tengah
masyarakat Indonesia. Seringkali dalam interaksi sehari-hari, aku merasa
dibedakan dari perempuan lokal, atau bahkan diperhadapkan dengannya. Sebagai
perempuan bule, aku cenderung dipandang “lebih bebas”, “lebih terbuka”, atau
“lebih teremansipasi” daripada perempuan Indonesia, atau, dalam versi yang
lebih negatif dan menyakitkan, dipandang sebagai objek seks yang mudah
didekati, dengan asumsi bahwa perempuan bule tidak bermoral sehingga “bisa
diajak”. Namun kejengkelan dan ketidaknyamanan terhadap asumsi-asumsi semacam
itu baru bisa kuekspresikan seadanya pada saat itu. Aku belum memiliki bahasa
dan pendekatan yang tepat untuk membicarakan pengalamanku.
Aku gelisah bukan sekadar karena
jengkel akan pandangan stereotipikal terhadap perempuan kulit putih yang seringkan
tidak mengenakkan itu. Meski pada mulanya belum dapat mengartikulasikannya
dengan jelas, kurasakan betapa ada persoalan yang lebih mendasar di balik
stereotipe-stereotipe itu, dan bahwa permasalahan tersebut memiliki kaitan
dengan relasi kekuasaan global dan pascakolonialitas. Sering kuamati atau
kualami betapa prilaku atau nilai (yang dipersepsi sebagai) “khas Barat”
dicitrakan sebagai “lebih maju”. Kaumku – perempuan Barat – konon punya ruang
gerak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh adat dan aturan agama, bebas dalam
hal seksualitas, berpakaian lebih terbuka dan merdeka, bebas berkarir tanpa
perlu memikirkan keluarga, dan segudang “keistimewaan” lainnya. Pemosisian
tersebut membuatku merasa tidak nyaman. Benarkah kami – perempuan Barat –
demikian bebas dan bahagia? Berdasarkan pengalaman hidupku, aku kurang bisa
membenarkannya. Di samping itu, mengapa nilai-nilai yang terdefinisikan sebagai
“Barat” dipandang lebih “maju”? Lebih mulia dan teremansipasikah seorang
perempuan bila dia berpakaian “terbuka” dan berganti-ganti pasangan seks? Dan
kata siapa nilai-nilai “Barat” sudah pasti lebih baik daripada apa yang bisa
ditawarkan oleh adat lokal atau ajaran agama? Kehadiranku di Indonesia tidak
pernah dilatarbelakangi asumsi akan keunggulan budayaku sendiri, yang ingin
kutularkan pada “saudara-saudaraku yang kurang beruntung” di “Dunia Ketiga”.
Justru sebaliknya: sudah lama - minimal sejak usia remaja – aku kerapkali kurang
puas akan apa yang bisa ditawarkan oleh budayaku sendiri.
Ada beberapa adegan dari workshop
“Tubuh Ini Milik Siapa?” tahun 2005 yang terekam dalam ingatanku, dan adegan
itu dengan cukup jelas mewakili keresahanku. Workshop itu menghadirkan tiga orang
perempuan Jepang, dua di antaranya seniman (performance dan komik), dan yang
ketiga pemilik sebuah sexshop khusus perempuan. Dalam sesi diskusi, pemilik
sexshop tersebut menjadi salah satu pembicara, dan sebagai ilustrasi atas
presentasinya, dia membawa berbagai jenis produk sebagai contoh, terutama
berupa dildo dan vibrator. Produk itu diedarkan, sehingga peserta bisa
melihat-lihatnya sambil mendengarkan penjelasan pembicara mengenai gagasan di
belakang sexshop khusus perempuan yang dikelolanya itu. (Kalau tidak salah
ingat, gagasan tentang perlunya sexshop khusus perempuan berangkat dari
pengalaman perempuan yang merasa tidak nyaman dan tidak leluasa saat berbelanja
di sexshop umum yang banyak dikunjungi laki-laki.) Peserta workshop mayoritas
mahasiswi yang masih relatif muda, banyak di antaranya dari universitas lain,
mungkin UNY atau UIN. Terlihat dengan cukup jelas bahwa benda-benda yang
diedarkan tersebut merupakan barang baru bagi mereka. Benda itu, beserta
pemaparan tentang sexshop, dengan sendirinya menggiring diskusi pada topik
masturbasi. Norma agama pun mulai dipersoalkan oleh beberapa peserta, khususnya
dalam konteks agama Islam (di antara peserta banyak yang menggunakan jilbab,
menandakan bahwa mereka sendiri Muslim). Apakah masturbasi itu terlarang dalam
Islam, dan bagaimana larangan itu mesti disikapi? Beberapa peserta dengan cukup
lantang memprotes norma agama berkaitan dengan masturbasi. Mendengarkan protes
lantang itu, aku makin lama makin kurang nyaman, sehingga akhirnya merasa perlu
berintervensi. Kutekankan betapa apa pun pendapat pribadi masing-masing,
pilihan untuk tunduk pada norma agama perlu dihormati. Kata siapa bahwa
perempuan yang bebas melakukan masturbasi adalah manusia lebih “maju” daripada
perempuan yang menahan diri dalam hal itu atas dasar keyakinan bahwa masturbasi
itu dosa?
Aku mengingat adegan itu antara lain
disebabkan oleh keganjilannya. Di saat perempuan-perempuan berjilbab itu
mengungkapkan gugatan terhadap norma agama mereka sendiri, mengapa aku yang
bukan Muslim (bahkan tidak memiliki agama saat itu) justru merasa perlu membela
pilihan hidup yang diambil atas dasar ketaatan beragama? Yang mendasari
tindakanku tersebut terutama satu hal: aku merasa sangat tidak nyaman dengan situasi dimana di
antara perempuan yang beragam dengan pilihan hidup masing-masing, ada yang
dianggap “lebih benar”, dalam arti lebih bebas, maju, dan teremansipasi, dan
ada yang dicap “salah”, dalam arti tertindas dan kolot. Siapa yang berhak
membuat penilaian seperti itu, atas dasar apa? Lebih jauh lagi, aku merasakan
betapa penilaian seperti itu seringkali dibuat seakan-akan atas namaku, yaitu
dengan merujuk pada nilai-nilai budayaku (yang konon lebih maju dan
teremansipasi). Meskipun tidak mampu kuekspresikan seeksplitit ini pada momen
tersebut, tampaknya ketidaknyamanan akan posisi yang diberikan padaku itulah
yang menggerakkanku untuk berintervensi pada saat itu. Sebagai wakil lembaga
yang mengadakan workshop itu, aku merasa bertanggung jawab akan pesan yang
tersampaikan. Rasanya tidak rela kalau sebagian peserta workshop pulang dengan
membawa kesimpulan bahwa nilai yang mereka yakini selama ini ternyata bersifat
kolot dan seksis, atau bahwa diri mereka tertindas dan tidak maju. Dan terutama sekali, kalau pesan seperti itu
tersampaikan oleh lembaga yang dikelola oleh seorang perempuan Barat (yaitu
diriku), bukankah akan kelewat sejalan dengan wacana dominan yang memang
memposisikan perempuan Barat di atas perempuan “Dunia Ketiga”? Aku sangat tidak
ingin mengambil bagian dalam wacana semacam itu.
Masih ada adegan lain yang kuingat
dari workshop yang sama. Adegan tersebut tidak membawa keresahan serupa, justru
sebaliknya, terasa wajar-wajar saja. Dalam diskusi yang sama dengan perempuan
Jepang yang berbicara tentang sexshopnya, sambil lalu pembicara tersebut
menyebut tampon sebagai salah satu produk yang dijual di tokonya. Spontan di
saat itu aku menginterupsi pembahasannya dan meminta waktu sebentar, sekaligus
meminjam tampon yang dibawanya sebagai contoh. Aku mengangkat tampon itu sambil
memberi penjelasan singkat tentang kegunaannya, yaitu bahwa fungsi tampon
serupa dengan pembalut, tapi tampon dikenakan dengan cara memasukkannya ke
dalam vagina. Setelah itu dengan suara rendah aku menjelaskan pada pembicara
bahwa di Indonesia tampon jarang digunakan, sehingga kemungkinan besar sebagian
peserta belum tahu tampon itu apa. Pembicara mengucapkan terima kasih, sebab
tanpa intervensiku itu, dia tidak akan menyadari hal itu. Dia berasumsi bahwa
perempuan Indonesia terbiasa memakai tampon, sama seperti perempuan Jepang.
Dalam ingatanku, adegan tersebut
terekam sebagai detail yang menyenangkan, sebab di situ kekhasan identitasku
menjadi kelebihan yang membawa manfaat bagi orang di sekitarku. Komunikasi
seputar tampon hampir gagal karena pembicara tidak tahu bahwa tampon tidak umum
digunakan di Indonesia. Dengan latar belakangku yang bersifat lintas budaya,
aku mengenal tampon, sekaligus juga mengenal kondisi di Indonesia. Maka dengan
mudah aku bisa menfasilitasi komunikasi yang terhambat itu. Namun kali itu, hal
itu terjadi tanpa kurasakan kerumitan ketimpangan relasi kekuasaan. Tampon
tidak dicitrakan lebih baik atau lebih maju daripada pembalut pada momen itu.
Maka aku pun nyaman-nyaman saja dalam posisiku sebagai pemberi penjelasan: Aku
sekadar sedang berbagi informasi yang kebetulan kumiliki, bukan sedang memberi
“penyuluhan”.
Pada dasarnya, keresahan terkait
dengan kerumitan posisiku tersebut berlanjut sampai saat ini. Rasa kurang
nyaman dengan posisiku sebagai perempuan kulit putih yang tak jarang
diuntungkan dalam hal tertentu, diasumsikan mewakili nilai budaya tertentu,
atau bahkan diharapkan membawa pencerahan atau menjadi penolong bagi perempuan
non-Barat, cukup mempengaruhi pilihan-pilihan hidupku, baik di ranah pribadi
maupun akademis. Khususnya berkaitan dengan kiprahku di dunia penulisan, hal
itu sempat semakin kusadari dan kuekspresikan dengan lebih eksplisit dalam
kasus perdebatan seputar Ayu Utami dan karyanya (lihat terutama eseiku
“Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas” dalam bukuku Sastra
Nasionalisme Pascakolonialitas, 2013). Kritikku terhadap karya Ayu,
terutama representasi seksualitas dalam karyanya, berawal dari kegelisahan yang
kira-kira sehaluan dengan yang kudeskripsikan dalam adegan pertama di workshop
di atas, namun lebih kukembangkan. Kemudian berdasarkan reaksi orang terhadap
tulisanku, baik di Indonesia maupun di Jerman, aku makin sadar betapa “aneh”nya
pemosisian diriku di mata sebagian orang. Sebagai perempuan Barat, aku
diharapkan mendukung usaha Ayu Utami untuk “membebaskan” perempuan dari tabu
dan larangan berkaitan dengan seksualitas, bukan malah mengkritiknya. Namun di
sisi lain, cukup banyak reaksi positif yang sampai kepadaku, terutama dari
teman-teman perempuan Indonesia. Mereka senang dengan kritikku, dan merasa
keresahannya terwakili.
Jadi di satu sisi aku menolak relasi
kekuasaan yang seakan-akan mengarahkanku untuk menggurui perempuan lain, atau
berbicara atas nama mereka. Namun di sisi lain, ternyata suaraku kadang-kadang
mampu menjadi wakil keresahan perempuan lain, dalam arti memberi bentuk pada
sesuatu yang tadinya sulit diekspresikan mereka. Aku rasa, hal itu pun
sebetulnya terkait dengan keistimewaan posisiku, antara lain aksesku terhadap
tulisan-tulisan teori (terutama feminisme pascakolonial), pendidikan yang
kuperoleh dengan relatif lebih mudah (sebagai perempuan Eropa kelas menengah),
dan keakrabanku dengan lebih dari satu budaya. Dengan kata lain, posisiku yang
agak istimewa ini memiliki dua potensi yang berlawanan: pertama, potensi
menjadi “wakil budaya Barat” yang bersikap menggurui yang merasa dirinya lebih
maju; kedua, potensi untuk memudahkan akses terhadap wacana kritis bagi
orang/perempuan lain (terutama non-Barat).
Di tengah keseharianku, misalnya
saat mengajar atau saat menulis, aku kerapkali terombang-ambing antara kedua
posisi itu. Apakah aku sedang menyediakan akses terhadap wacana yang dibutuhkan
(misalnya oleh mahasiswaku), atau aku sedang bersikap sebagai orang Barat yang
memaksakan perspektifnya sendiri dan sok lebih memahami segala sesuatu? Kedua
hal itu tidak selalu mudah dibedakan satu sama lain.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak
workshop yang kuceritakan di atas. Dalam waktu yang cukup lama tersebut,
kerumitan posisiku menjadi semakin nyata bagiku, dan aku semakin menemukan
medium dan perspektif yang tepat untuk mengungkapkannya. Justru perspektif
tersebut, yaitu terutama feminisme pascakolonial, sekaligus merupakan modal
yang bisa kutawarkan pada orang di sekitarku. Meskipun demikian, sampai saat
ini aku tetap berjuang untuk secara lebih spesifik memahami posisiku sendiri,
dan menempatkan diri di tengah lingkunganku. Hal itu terjadi lebih-lebih karena
sejak kira-kira 4 tahun lalu, posisiku diperumit sekali lagi setelah aku
menjadi Muslim. Sejauh mana itu mengubah posisiku di tengah relasi kekuasaan
global? Dan apa implikasinya dalam keseharianku? Pertanyaan
itu, bersama sekian pertanyaan lain seputar posisi diriku yang kompleks dan
unik, menjadi tantangan (dalam arti positif) dan penggerak dalam pekerjaan dan
pencarian akademisku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar