cahaya

cahaya

Kamis, 13 Juni 2019

Seksualitas dan Kekuasaan: memahami Sejarah Seksualitas karya Michel Foucault (bagian I)







22 April 1969, di Universitas Frankfurt. Theodor W. Adorno, salah satu pemikir Mazhab Frankfurt yang paling tersohor, sedang memberi kuliah dengan judul “Estetika II”. Di tahun 60an yang penuh pergolakan di kalangan mahasiswa tersebut, sebetulnya sebagai pemikir dan teoritikus kiri, Adorno menjadi figur penting. Namun sebagian mahasiswa dan aktifis kiri, terutama dari kelompok-kelompok yang paling radikal, kecewa dengan sikap Adorno yang tidak bersedia mendukung aksi-aksi kekerasan, dan tetap memberikan kuliah-kuliah teoritis yang bagi mereka terkesan tidak relevan. Berkali-kali kuliahnya diprotes dan diganggu.

Pada 22 April 1969 tersebut, terjadi sebuah aksi protes dalam bentuk yang sedikit berbeda. Di tengah kuliah, tiga orang mahasiswi berpakaian jaket kulit naik ke podium tempat Adorno sedang memberi kuliah. Mereka mengelilinginya, lalu membuka jaket mereka dan mempertontonkan payudara telanjang mereka. Mereka juga mencoba menciumnya dan mengolok-oloknya. Adorno, yang pada saat itu sudah berusia 65, terlihat syok dan terpukul. Beliau mencoba melindungi diri dengan menggunakan tasnya. Akhirnya beliau meninggalkan ruang kuliah dalam keadaan menangis.


Alasan mengapa saya menceritakan ulang peristiwa memalukan itu di sini bukan untuk lebih lanjut membahas detail sejarah seputar hubungan Adorno dengan gerakan mahasiswa tahun 60an. Namun bagi saya, kejadian yang kemudian dijuluki “Busenattentat” (“serangan payudara”) itu menjadi menarik sebagai ilustrasi wacana seksualitas yang berkembang pada masa itu di negara-negara Barat. Mengapa protes terhadap sikap politis Adorno mesti diekspresikan dengan cara demikian? Apa hubungan antara payudara telanjang dengan radikalisme kiri?
Dalam pemikiran gerakan kiri pada masa itu, memang terdapat kaitan erat antara ideologi kiri dan “pembebasan” seksualitas. Budaya otoriter dan fasisme diyakini memiliki dasar dalam pengalaman personal manusia di masa kecilnya, terutama berupa sikap represif dalam keluarga dan moralitas seksual yang kelewat mengekang. Secara teoritis, pandangan tersebut didukung antara lain oleh ahli psikoanalisis Austria Wilhelm Reich dan para pemikir Mazhab Frankfurt (termasuk, ironisnya, pemikiran Adorno).
Dalam praktek gerakan, keyakinan tersebut membuahkan berbagai eksperimen untuk menemukan bentuk hidup bersama yang baru. Salah satunya adalah komune (Inggris: commune, Jerman: Kommune), dimana sejumlah orang hidup bersama dalam komunitas, dengan mencoba mensubversi struktur keluarga konvensional yang diyakini sebagai sumber represi. Berikut pernyataan Arbeitskreis Kommune oleh SDS (Persatuan Mahasiswa Sosialis Jerman), yang menjadi dasar pendirian Kommune 1 di Berlin pada tahun 1967:
Fasisme timbul dari dalam keluarga inti. Keluarga adalah sel terkecil dalam negara, dan sifatnya yang represif menjadi dasar bagi semua institusi negara. Suami istri hidup dalam ketergantungan satu sama lain, sehingga masing-masing tidak dapat menjadi manusia bebas. Karena itu keluarga harus dihancurkan.”
Antara lain, mereka berpandangan bahwa ketertutupan dalam hal seksualitas harus didobrak. Anggota Kommune 1 (yang terdiri, pada awalnya, dari 9 orang dewasa – 6 laki-laki dan 3 perempuan – dan satu anak kecil) tidur bersama di ruangan besar, sehingga tidak ada tindakan apa pun, termasuk tindakan seks, yang ditutup dari penyaksian orang lain.
Dengan semangat yang sama, sebuah komune lain, Horla Kommune di Köln (Cologne, Jerman), mengeluarkan sebuah koran anak-anak yang antara lain bertujuan mengajak anak-anak bertanya tentang seksualitas. Pada tahun 1969, koran itu memuat sebuah cerita berjudul “Inge dan lobang kunci”, yang menceritakan seorang anak kecil yang penasaran akan kelakuan orangtuanya di kamar tidur, kemudian mengintip dari lobang kunci.
Setiap malam orang tua Inge menonton TV. Ibu merajut dan ayah minum bir. Setelah ayah menghabiskan botol bir yang ketiga, Inge disuruh tidur. Biasanya dia mengantuk dan langsung tertidur. Tapi kadang-kadang dia tak bisa tidur. Dia mendengar ayah dan ibu naik tangga dengan hati-hati, lalu mengunci diri di kamar tidur. Awalnya tak ada suara, tapi tidak lama kemudian tempat tidur berderak-derak, dan seringkali Inge merasa mendengar desah dan jeritan tertahan yang menakutkan – malam ini dia memutuskan untuk mencari tahu rahasia apa yang tersembunyi di belakang pintu kamar tidur. Dan bagaimana dengan KALIAN?
Menurut Wilhelm Reich, individu yang seksualitasnya direpresi cenderung menyukai kekerasan dan senang hidup dalam struktur hierarkis; seksualitas bebas (yang membawa rasa puas karena hasrat dapat dipenuhi) akan membuat orang bersifat damai, kreatif, dan tidak menyukai hierarki dan kekerasan. Atas dasar konsep semacam itulah, kegiatan politis kiri radikal menjadi tidak terpisahkan dari “kebebasan seks” yang radikal pula, seakan-akan memang sudah “satu paket”. Keyakinan ini, yaitu bahwa “pembebasan seksual” merupakan bagian integral dari kegiatan politis berhaluan kiri, lama-lama menjadi bagian dari common sense yang berbekas sampai sekarang dalam budaya-budaya Barat.
Jadi demikianlah semangat zaman saat Foucault menulis jilid pertama karya terakhirnya, Sejarah Seksualitas. Jilid pertama yang berjudul La volonté de savoir (The Will to Knowledge dalam terjemahan bahasa Inggris) tersebut terbit pada tahun 1976. Kalau kita membaca kalimat-kalimat pembuka bab pertama buku Foucault itu tanpa mempertimbangkan konteks semangat zaman tersebut, mungkin kita akan kebingungan atau salah paham:
For a long time, the story goes, we supported a Victorian regime, […]
At the beginning of the seventeenth century a certain frankness was still common, it would seem.” (The Will to Knowledge, hlm. 3)
Lewat ekspresi yang saya garisbawahi di atas (“the story goes”, “it would seem”), Foucault mengindikasikan bahwa dia sedang menceritakan sesuatu yang konon benar dan diyakini banyak orang, tapi pantas dipertanyakan. Apakah yang konon benar tersebut ternyata hanya sebuah mitos?
Mitos alias “kebenaran” apa yang diceritakan Foucault di sini? Foucault bercerita tentang keyakinan sebagian orang Barat di zamannya bahwa seksualitas mereka direpresi lewat berbagai larangan dan kekangan yang merupakan warisan zaman Viktoria. Konon, begitu kisah yang disampaikan Foucault, sebelum zaman Viktoria manusia masih dapat mengekspresikan seksualitasnya dengan sangat bebas, baik secara verbal maupun dalam prilaku. Lalu datanglah zaman Viktoria dengan moralitas borjuisnya yang sangat kaku. Seksualitas “dirumahkan”, diizinkan hanya antara pasangan suami-istri dalam privasi kamar tidur, itu pun bukan demi kenikmatan, tapi hanya demi reproduksi. Meskipun psikoanalisis Sigmund Freud merupakan semacam perlawanan terhadap represi tersebut, itu hanyalah langkah kecil menuju kebebasan: Psikoanalisis tetap menempatkan seksualitas di ruang yang sangat pribadi, yaitu dalam dialog dengan sang dokter di atas sofa dalam privasi ruang praktek, dilindungi oleh kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan kisah sang pasien. Begitulah mitosnya, paling tidak menurut Foucault.
Siapakah yang sedang Foucault sapa dengan nada ironisnya itu? Orang sezaman dan sehaluannya, tentu saja, yaitu terutama kaum kiri yang sudah saya bahas di atas. Tepatkah sikap mereka, saat mereka menempatkan “pembebasan seksual” sebagai bagian integral dari aktivisme politik kiri, seperti misalnya dalam “serangan payudara” terhadap Adorno tahun 1969?
Foucault menamai keyakinan bahwa seksualitas sedang direpresi sejak zaman Viktoria sebagai “hipotesa represi” (“repressive hypothesis”). Represi tersebut dibayangkan beroperasi lewat pelarangan, penyensoran dan tabu. Lewat represi konon orang didiamkan, dan kebebasan yang dulu ada (wacana atau prilaku seks yang lebih bebas) dihapus atau dihilangkan.
Pembicaraan seputar represi seksualitas serta perlawanan terhadapnya, menurut Foucault, terkadang bahkan punya ciri yang mirip wacana agama. Ada imaji utopis tentang kebebasan seks yang akan terwujud di masa depan (prophecy), disampaikan lewat “khotbah seks” (sexual sermon). Lewat wacana semacam itu, revolusi, yang umumnya kita kaitkan dengan kekerasan, bisa dibayangkan akan membawa kebahagiaan dan kenikmatan.
Setelah mendeskripsikan hipotesa represi tersebut, Foucault kemudian mengemukakan kritik dan keraguannya terhadap hipotesa itu secara lebih eksplisit. Langkah yang dilakukan Foucault adalah mengambil jarak dari wacana yang ada, dan memandang persoalan dari perspektif baru. Hipotesa bahwa seksualitas direpresi dihadapinya bukan dengan membantahnya (= dengan mengatakan bahwa seksualitas tidak direpresi), tapi dengan memandang wacana seputar represi tersebut dari luar. Dia mengajak pembacanya melihat betapa wacana tersebut sebetulnya sangat unik dan ganjil:
“Why do we say, with so much passion and so much resentment against our own most recent past, against our present, and against ourselves, that we are repressed? […] It is certainly legitimate to ask why sex was associated with sin for such a long time […], but we must also ask why we burden ourselves today with so much guilt for having once made sex a sin.” (The Will to Knowledge, hlm. 8-9)
Orang tidak lagi merasa berdosa karena melanggar norma moral, melainkan sebaliknya: orang kini merasa berdosa karena merepresi seksualitasnya. Bukankah itu sangat aneh? Mengapa wacana seputar seksualitas bisa berbalik demikian rupa?
Foucault kemudian mengajukan tiga keraguan terhadap “hipotesa represi”:
  1. Benarkah represi seksualitas merupakan fakta sejarah? (historical question)
  2. Apakah kekuasaan (power) memang beroperasi terutama lewat represi, misalnya lewat larangan atau sensor? (historico-theoretical question)
  3. Benarkah ada dua kekuatan yang berlawanan, yaitu represi seksualitas yang telah lama berkuasa dan berakar tanpa perlawanan yang berarti di satu sisi, dan wacana kritis terhadap represi tersebut di sisi lain? Bukankah keduanya menjadi bagian dari jaringan historis (historical network) yang sama? (historico-political question)
Foucault menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukannya dalam bab-bab selanjutnya dalam buku tersebut, bukan sekadar bertujuan untuk membuktikan bahwa “hipotesa represi” ternyata keliru. Foucault lebih tertarik meneliti wacana seputar seksualitas di budayanya secara keseluruhan, dengan “hipotesa represi” sebagai bagian dari wacana tersebut.
Maka di bagian 2 The Will to Knowledge (berjudul “The Repressive Hypothesis”), Foucault lalu memaparkan versinya sendiri tentang wacana seputar seksualitas sejak abad ke-17, dengan sekadar sekali-sekali merujuk pada hipotesa represi untuk menekankan perbedaan pandangannya sendiri dengan hipotesa tersebut. Pada akhir bagian 2 dia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa hipotesa represi terbukti tidak benar:
“We must therefore abandon the hypothesis that modern industrial societies ushered in an age of increased sexual repression.” (The Will to Knowledge, hlm. 49)
Selanjutnya, mari kita simak, bagaimana Foucault sampai pada kesimpulan tersebut.
Foucault mengakui bahwa dengan menguatnya peran kaum borjuis pada abad ke-17 di Eropa, cara orang berbicara tentang seksualitas mengalami perubahan. Muncul kode etis ketat yang mengatur di mana, kapan dan di depan siapa orang boleh berbicara tentang seks, dan bagaimana cara yang pantas untuk melakukannya. Kata-kata yang sebelumnya biasa diucapkan di mana-mana, tiba-tiba dianggap “cabul”.
Bukankah itu membuktikan bahwa memang benar terjadi represi? Benar, kalau dengan “represi” kita hanya memaksudkan perubahan cara berbicara tentang seksualitas. Tapi kalau kita membayangkan sebuah “represi” dalam arti bahwa seksualitas dan wacana tentangnya dibungkam dan dan dilarang, kita ternyata keliru. Foucault menunjukkan bahwa wacana tentang seksualitas bukan berkurang atau menghilang pada masa itu, namun sebaliknya justru bertambah, yaitu terjadi sebuah ledakan wacana (discoursive explosion).
Foucault kemudian menggunakan beberapa contoh untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan istilah “ledakan wacana. Yang pertama, dan yang dibahasnya dengan cukup panjang, adalah contoh pengakuan dosa. Menurut pengamatan Foucault, terjadi perubahan yang sangat berarti pada peraturan untuk pengakuan dosa di gereja Katolik, khususnya berkaitan dengan seksualitas. Tentu saja sejak dulu di antara dosa yang diakui ada yang menyangkut prilaku seksual, misalnya melakukan hubungan seks di luar nikah. Namun ternyata perlahan-lahan mulai abad ke-16 dan ke-17 cara dosa tersebut dipahami dan diakui mengalami perubahan besar. Di satu sisi, cara berbicara tentang dosa yang berhubungan dengan seksualitas dalam pengakuan dosa diperhalus: Baik pastor yang menerima pengakuan dosa maupun umat yang mengaku dosa dihimbau agar jangan menggunakan kata-kata “cabul” dan agar jangan mendeskripsikan persetubuhan secara mendetail. Pada waktu yang sama, di sisi lain, gagasan mengenai dosa seksual justru diperlebar. Yang dianggap dosa bukan lagi hanya apa yang dilakukan, tapi juga pikiran, khayalan, mimpi, atau sekadar hasrat yang terlintas. Umat dibimbing agar terus-menerus mengamati batin mereka sendiri, dan melaporkan pikiran “kotor”, khayalan “cabul” atau hasrat “tak senonoh” yang seminor apa pun dalam pengakuan dosa.
“An imperative was established: Not only will you confess to acts contravening the law, but you will seek to transform your desire, your every desire, into discourse.” (The Will to Knowledge, hlm. 21)
“Perintah” untuk selalu memeriksa batin sendiri dan tidak hentinya membicarakan seksualitas itu menurut Foucault berpengaruh sangat besar dalam budaya Barat. Hal itu berlaku sama sekali bukan hanya dalam konteks keagamaan (Katolik). Penerjemahan pengalaman dan hasrat seksual ke dalam wacana terjadi bukan hanya dalam pengakuan dosa. Maka setelah membicarakan pengakuan dosa, Foucault tiba-tiba melompat pada “pengakuan” yang berjenis sama sekali berbeda, yaitu teks-teks sastra dan otobiografi yang telah lama dianggap cabul dan tabu. Khususnya dia menyebut:
1. Donatien-Alphonse-François de Sade atau Marquis de Sade (1740-1814), pengarang Perancis yang menulis antara lain LES CENT-VINGT JOURNÉES DE SODOME OU L’ÉCOLE DU LIBERTINAGE (The 120 Days of Sodom, 1785) dan JUSTINE OU LES MALHEURS DE LA VERTU (Justine, or Good Conduct Well Chastised, 1791). Novel-novelnya yang mengisahkan penyiksaan dan eksploitasi seksual, menyebabkan dirinya dipenjarakan pada tahun 1801.
2. sebuah “otobiografi seks” berjudul My Secret Life (pengarang anonim) yang terbit akhir abad ke-19. Dalam 11 jilid, buku tersebut dengan rinci mengisahkan petualangan seks sang pengarang.
Mengapa Foucault melakukan lompatan seekstrim itu dalam tulisannya, yaitu dari pembahasan seputar pengakuan dosa, kepada teks-teks yang justru membanggakan dan mengabadikan “dosa” tersebut? Ada ciri khas yang menyatukan keduanya, yaitu timbulnya keyakinan bahwa seks perlu dan relevan dibicarakan secara mendalam dan rinci. Apa yang paling aneh dan mencolok pada My Secret Life menurut Foucault bukan isi bukunya, yaitu pengalaman-pengalaman seksual yang dikisahkan, melainkan kenyataan bahwa pengarangnya merasa perlu mencatat semua itu dengan begitu teliti dan mendetail. Itulah ledakan wacana yang dimaksudkannya.
Foucault kemudian menyebut beberapa wilayah lain di mana ledakan wacana juga dapat diamati:
  • demografi. Rakyat mulai dipandang bukan sekadar sebagai “kawula”, melainkan sebagai populasi yang perkembangannya (berkurang atau bertambah) dapat dipantau dan diarahkan. Dalam rangka itu yang perlu dipelajari terutama prilaku seksual rakyat: pada umur berapa orang menikah dan punya anak, berapa jumlah anak mereka, apakah mereka membatasi kehamilan (kontrasepsi, aborsi), dst.
  • seksualitas anakanak dan remaja. Meskipun benar seperti kata para pembela “hipotesa represi” bahwa mulai zaman Viktoria pembicaraan dengan topik seks dihindari (atau paling tidak: sangat dibatasi) dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak-anak, di sisi lain wacana seputar seksualitas anak dan remaja justru meluas. Anak-anak dan remaja diyakini perlu diawasi secara ketat agar mereka tidak melakukan tindakan seksual. Khususnya masturbasi sangat ditabukan, dengan alasan kesehatan. Di sekolah-sekolah, keyakinan akan perlunya pengawasan tersebut bahkan mempengaruhi arsitektur, bentuk mebel (meja belajar misalnya) dan peraturan sekolah.
  • wacana medis, psikiatris dan hukum. Seksualitas dan segala macam bentuk “abnormalitas”nya mulai dipelajari dan didefinisikan oleh para dokter, dan bersamaan dengan itu muncul undang-undang yang lebih ketat dan rinci menyangkut pelanggaran terhadap “normalitas” seksual.
Sebagai kesimpulannya, Foucault mengatakan bahwa mulai abad ke-17, wacana tentang seksualitas bukan direpresi atau dihilangkan, tapi justru dirangsang tumbuh (incitement to discourse). Lebih jauh lagi, wacana itu bukanlah sebuah wacana tunggal, melainkan terdiri dari beragam wacana yang timbul di berbagai institusi dan bidang.
Bab kedua dari bagian 2 The Will to Knowledge, yaitu bab yang dalam terjemahan Inggris berjudul The Perverse Implantation”, merupakan bab yang di kemudian hari (dan sampai sekarang) cukup sering dirujuk dalam tulisan-tulisan di bidang Kajian Gender, lebih-lebih dalam Kajian Queer. Penyebabnya adalah karena di bagian ini, Foucault menawarkan perspektif baru dalam memahami sejarah homoseksualitas.
Seperti yang sudah disampaikan di atas, wacana medis dan hukum mulai mendefinisikan batas antara seksualitas “normal” dan “abnormal”. Perkembangan seksualitas yang “normal” dari umur kanak-kanak sampai lansia didefinisikan, dan segala sesuatu yang menyimpang dari “normalitas” tersebut dianggap tidak wajar, atau disebut “perversi”.
“Our epoch has initiated sexual heterogeneities” (The Will to Knowledge, hlm. 37),
kata Foucault. Zaman kita telah menciptakan heterogenitas seksual? Apa maksudnya?
Tentu saja berbagai bentuk prilaku seksual yang tidak bertujuan reproduksi telah ada sejak dulu, misalnya masturbasi, seks anal, tindakan seks antara dua laki-laki atau dua perempuan, tindakan seks dengan hewan, dan sebagainya. Juga sudah ada gagasan bahwa prilaku seks semacam itu bersifat “berlawanan dengan alam”. Meskipun begitu, prilaku seks tersebut dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum yang tidak jauh berbeda daripada pelanggaran lain, seperti misalnya hubungan seks di luar nikah (dengan lawan jenis), atau pemerkosaan. Namun pada abad ke-19 mulai terjadi perubahan besar: Seksualitas yang “bertentangan dengan alam” kini dianggap bersifat sama sekali berbeda daripada pelanggaran seks yang lain. “Kelainan” seksual (perversion) mulai dilihat sebagai sebuah identitas.
Misalnya, mengenai homoseksualitas Foucault mengatakan:
“The nineteenth-century homosexual became a personage, a past, a case history, and a childhood, in addition to being a type of life, a life form, and a morphology, with an indiscreet anatomy and possibly a mysterious physiology. […] The sodomite had been a temporary aberration; the homosexual was now a species.” (The Will to Knowledge, hlm. 43)
Yang dibicarakan Foucault di sini adalah kelahiran homoseksualitas, dan oleh sebab itulah buku Foucault ini sangat berpengaruh pada Gay Studies/Queer Studies.
Kelahiran homoseksualitas? Benarkah sebelumnya tidak ada orang homoseksual? Bagaimana mungkin? Hubungan seksual antara dua laki-laki atau dua perempuan tentu sudah ada sebelumnya. Tapi tindakan memilih pasangan sejenis tidak dianggap sebagai sebuah orientasi seksual yang permanen, tapi sekadar sebagai “penyimpangan temporer” (temporary aberration). Namun dengan kelahiran homoseksualitas (lewat sebuah artikel yang ditulis Carl Westphal, seorang psikiater Jerman, pada tahun 1870), preferensi terhadap pasangan sejenis menjadi sebuah identitas yang permanen, dalam arti bahwa tubuh, batin dan kisah hidup seorang homoseksual diyakini bersifat berbeda secara mendasar dari “orang normal”. Itulah yang dimaksudkan Foucault dengan “the perverse implantation”: perversi “ditanam” dalam tubuh dan batin seseorang sebagai identitas permanen yang tidak bisa ditanggalkan begitu saja.
Buku The Will to Knowledge menjadi salah satu buku Foucault yang paling banyak dirujuk bukan terutama karena topik khususnya (seksualitas), tapi karena teori yang dikembangkan di situ. Di buku inilah, Foucault memaparkan konsep kekuasaannya secara cukup eksplisit dan mendetail. Konsep tersebut tidak akan dibahas lebih jauh di sini. Secara singkat saja dapat dijelaskan bahwa bagi Foucault, kekuasaan beroperasi lewat wacana. Dalam pembahasan di atas, tampak dengan jelas betapa lewat ledakan wacana seputar seksualitas, prilaku dan identitas manusia diatur dan dibentuk. Proses itu berlangsung bukan terutama lewat larangan atau tabu, tapi justru secara aktif: diri dirangsang untuk terus-menerus membicarakan dan memikirkan seksualitas, atau bahkan mendefinisikan diri lewat seksualitas. Maka dengan demikian, apa yang berlangsung di masa hidup Foucault sendiri, yaitu “revolusi seksual” ala gerakan kiri mulai tahun 60an, bisa dipahami sebagai kelanjutan dari proses yang sama: seksualitas tetap terus-menerus dibicarakan, dan tetap digunakan untuk mendefinisikan identitas diri.

Daftar Pustaka
Michel Foucault, The Will to Knowledge, Penguin Books: London dll, 1990

Selasa, 07 Mei 2019

Doing masculinity - tapi yang mana?

Seorang laki-laki meraih ponselnya, menelpon seseorang. Di tempat lain, ponsel seorang laki-laki lain berdering, dan dia mengangkatnya. Laki-laki yang ditelpon tersebut tersenyum, lalu terjadi pembicaraan. Sebuah janji untuk bertemu, tampaknya. Kedua laki-laki itu berjalan ke lemari pakaian masing-masing, memilih baju. Penampilan mereka rapi dan terawat – sepertinya mereka berasal dari kelas menengah. Kemudian masing-masing berangkat dengan naik sepeda motor sport yang lumayan besar. Di tengah jalan, mereka bergabung. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan bermain golf, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Salah satu dari mereka sempat jatuh, dan segera ditolong dengan sikap penuh kecemasan oleh temannya. Selanjutnya, mereka mampir di sebuah masjid untuk sholat. Hari mulai gelap. Mereka memasuki sebuah pusat perbelanjaan, atau mungkin semacam pasar kerajinan. Di situ mereka duduk sambil berbincang, masing-masing dengan segelas jus di hadapannya. Saat mereka bangkit, yang satu merangkul bahu yang lain dengan akrab, sambil berjalan. Mereka kemudian berpisah, masing-masing berbelanja. Ternyata yang dibeli adalah kado. Di depan pusat perbelanjaan itu, mereka berjumpa kembali, untuk saling menyerahkan kado yang baru saja mereka beli, berbungkus kertas kado berkilauan berwarna emas dan perak. Tanpa membuka kado tersebut, mereka berangkat kembali dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Masing-masing kemudian berhenti di tempat yang terpisah di pinggir jalan, untuk membuka kado yang mereka terima. Kedua kado itu berisi barang kerajinan sebagai wadah Al Qur’an. Dan kedua laki-laki itu ternyata menambah tulisan tangan yang sama pada barang kerajinan itu, yaitu sebuah ayat Al Qur’an tentang persaudaraan antar orang mu’min (QS 49:10).
Apa yang saya deskripsikan di atas adalah alur sebuah videoclip nasyid berjudul “Tawam Hanaya”, karya Abdul Karim Mubarak dan Abdur Rahman Al-Qaryouti asal Amman, Yordania. Setting videoclip itu pun di Yordania. Saya menemukan video tersebut secara kebetulan di youtube beberapa tahun lalu. Sebetulnya saat itu saya tidak sedang mencari bahan untuk mengajar atau untuk tulisan akademis. Tapi karena keunikan video “Tawam Hanaya” ini, saya kemudian beberapa kali memakainya dalam kelas atau seminar yang berkaitan dengan Kajian Gender. Apa alasannya?
Salah satu hal yang mungkin paling sering kita bahas dalam Kajian Gender adalah bahwa gender merupakan konstruk sosial. Namun meskipun tampak sederhana, hal itu tidak mudah dipahami. Penyebabnya adalah bahwa yang spontan kita rasakan kerapkali bersifat sebaliknya. Kita cenderung merasa menjadi laki-laki atau perempuan, alias memerankan maskulinitas atau femininitas, secara alami dan apa adanya saja. Gender kita seakan-akan sudah terberi, dan terperankan dengan sendirinya berdasarkan apa yang sudah ada dalam diri kita.
Karena gender itu merupakan konstruk sosial, maka ia bersifat tidak statis dan tidak tunggal. Apa artinya menjadi perempuan atau menjadi laki-laki dapat berubah dari masa ke masa, dan tidak sama di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya, kalangan masyarakat yang satu dengan kalangan lainnya. Maka, salah satu cara yang relatif mudah dilakukan untuk mulai lebih bisa memahami (dalam arti: merasakan, menghayati) betapa gender merupakan konstruk sosial, adalah dengan mengamati budaya di tempat lain, kalangan lain, atau di masa lampau. Adakah yang terasa ganjil atau asing? Mungkin muncul pertanyaan spontan di benak kita, “laki-laki kok seperti itu, ya?” atau “perempuan mengapa bisa seperti ini, berbeda sekali dengan yang saya kenal?” Mungkin bahkan kita mengalami rasa jijik, risih, atau geli. Perasaan itulah yang dapat menjadi pengantara sebuah pemahaman baru. Seandainya ada semacam esensi femininitas atau maskulinitas yang dengan sendirinya terpancar keluar dari dalam setiap perempuan atau laki-laki, bukankah seharusnya tidak ada perbedaan? Maka dari situlah, kita mulai bisa menghayati betapa gender orang lain dan gender diri kita sendiri merupakan hasil konstruksi sosial, dan betapa konstruk tersebut berkaitan secara sangat spesifik dengan tempat tinggal kita, masa hidup kita, etnisitas kita, agama kita, kelas sosial kita, dan dengan berbagai faktor lainnya.
Saya sendiri geli dan agak bingung ketika pertama kali menonton video yang saya deskripsikan di atas. Lewat pencarian di google, saya mencoba memastikan: apakah yang dimaksudkan dalam video tersebut murni persahabatan, ataukah sebuah relasi homoseksual? Yang menambah kebingungan saya ada lirik lagunya, yang hanya bisa saya ikuti lewat subtitlenya yang berbahasa Inggris. Lirik itu begitu mesra dan berbunga-bunga, sungguh terasa tidak lazim (bagi saya) sebagai sebuah ekspresi persahabatan antara laki-laki. Di momen ketika salah satu dari kedua laki-laki itu jatuh, misalnya, lirik yang dinyanyikan adalah seperti berikut:
“If you would vanish for even one second, my eyes…
would not (be able) to see the world, come back to me…
You are the delight of my eyes, my joy and my sorrow.”
Duh, betapa romantisnya, seakan-akan rayuan antara dua orang kekasih! Namun sebagai hasil penelusuran saya, saya tidak menemukan indikasi apa pun bahwa ada unsur homoseksualitas dalam lagu nasyid yang unik ini. Komentar-komentar di youtube memuji lagu itu dari segi pesan religiusnya dan sebagai perayaan nilai persahabatan dan persaudaraan. Bahkan, ada beberapa komentar yang seakan-akan eksplisit menjawab respon spontan saya. Whoever says this is GAY are influenced by the West,” demikian bunyi salah satu komentar singkat tersebut. Di samping itu, terdapat lagu lain dari seniman yang sama, yang menggunakan bahasa berbunga-bunga yang serupa, namun kali ini untuk menggambarkan kecintaan terhadap Al Qur’an.
Saya dan mahasiswa saya umumnya berbeda latar belakang budaya, yaitu saya orang Jerman dan mayoritas mahasiswa saya orang Indonesia. Meskipun begitu, sejauh yang bisa saya nilai dari diskusi di kelas, bagi mereka pun video “Tawam Hanaya” terkesan ganjil. Misalnya, salah satu mahasiswi mengungkapkan bahwa baginya yang terkesan paling menggelikan adalah adegan ketika kedua laki-laki itu saling menyerahkan kado. Memang, kelas ramai dengan tawa tertahan di saat adegan tersebut diputar. Tampaknya, baik bagi mahasiswa, maupun bagi saya sendiri, prilaku semacam itu terkesan sangat tidak wajar antara dua orang sahabat laki-laki.
Jadi kesimpulan apa yang bisa kita tarik? Tepatkah kalau berdasarkan rasa asing yang kita alami saat menonton video “Tawam Hanaya”, kita kemudian menyimpulkan bahwa ternyata ada berbagai versi maskulinitas, di antaranya maskulinitas Yordania, maskulinitas Indonesia, dan maskulinitas Jerman, yang berbeda satu sama lain, dan eksis secara terpisah?
Saya rasa tidak sesederhana itu. Manusia hidup dalam keterhubungan satu sama lain, bukan dalam keterpisahan, alias terisolasi. Di Indonesia, misalnya, kita terekspos pada berbagai jenis produk budaya dari semua belahan dunia: Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Cina, Korea, Jepang, … Dalam hal itu, media massa memainkan peran vital. Dengan demikian, rujukan kita dalam proses doing gender tidak tunggal. Dengan mudah, misalnya, kita dapat membayangkan seorang laki-laki Indonesia yang dalam proses doing masculinitynya terpengaruh oleh kebiasaan di tempat asalnya, nilai etnis kedua orang tuanya (yang bisa saja berbeda satu sama lain), pendidikan sekolahnya, pendidikan agamanya (hidup di pesantren selama beberapa tahun, misalnya, atau menjalani pendidikan seminari), ditambah dengan pengaruh film Hollywood, artis Korea, sinetron religi, cerita-cerita wayang, iklan rokok, di samping sekian pengaruh lain yang hampir mustahil disebut satu per satu. Sekian nilai, sosok, dan imaji yang dapat menjadi rujukan, sama sekali belum tentu membentuk sebuah kesatuan yang utuh. Maskulinitas-maskulinitas itu sangat mungkin bertentangan satu sama lain. Begitu pun dalam diri setiap laki-laki, konstruksi maskulinitas kerapkali penuh kontradiksi.
Kalau gender ternyata sekompleks itu, bagaimana cara kita dapat mendekatinya? Menurut R.W. Connell (yang sekarang menggunakan nama Raewyn Connell), ahli kajian gender yang banyak menulis tentang maskulinitas, di antara sekian jenis maskulinitas, selalu ada yang bisa disebut dominan atau hegemonik. Maka salah satu pendekatan yang bisa kita lakukan adalah dengan bertanya, maskulinitas (atau femininitas) semacam apa yang menghegemoni dalam konteks tertentu? Lalu maskulinitas-maskulinitas lain (atau femininitas-femininitas lain) semacam apa yang terdesak ke pinggir, tapi tetap eksis, dan tetap potensial menjadi rujukan dalam doing gender? Potensi positif atau negatif apa yang terkandung dalam proses kompleks yang penuh kontradisi itu?
Kembali kepada video “Tawam Hanaya”. Apakah kita dapat mengasumsikan bahwa video “Tawam Hanaya” mewakili maskulinitas Yordania, atau mungkin maskulinitas Timur Tengah? Kita harus berhati-hati di sini. Sebuah produk budaya, misalnya teks media atau kesenian, tidak begitu saja bisa dianggap mengekspresikan nilai masyarakat secara keseluruhan. Saya belum pernah melakukan studi khusus tentang Yordania, sehingga saya tidak berani memberikan pernyataan apa pun mengenai permasalahan gender di negara tersebut. Namun yang berani saya simpulkan dari kehadiran nasyid “Tawam Hanaya” dan respon terhadapnya di internet adalah bahwa maskulinitas yang disajikan dalam videoclip tersebut dirasakan sebagai wajar, mainstream, dan positif oleh cukup banyak penontonnya. Kalau video yang sama terasa janggal bagi diri kita, maka itu adalah pengalaman menarik. Pluralitas dan kompleksitas gender menemukan bukti nyata dalam momen seperti itu. Maka justru momen-momen semacam itu yang kerapkali menyimpan potensi renungan-renungan menarik, sambil lebih mengenali cara kita doing gender dalam keseharian masing-masing.

Daftar Rujukan
R.W. Connell, Masculinities, edisi ke-2, University of California Press: Berkeley & Los Angeles, 2005

Catatan
Saya tidak dapat memastikan apakah “Tawam Hanaya” merupakan transkripsi yang tepat dari judul lagu yang berbahasa Arab tersebut. Saya juga menemukan versi “Tawan Hanaya” dan “Tanwan Hanaya”. Apa arti judul lagu itu pun saya belum tahu, mungkin yang mahir bahasa Arab bisa membantu.