cahaya

cahaya

Senin, 24 April 2017

Suman Gupta: Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies


Tulisan ini sekadar berupa rangkuman buku Suman Gupta berjudul Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies (Palgrave Macmillan, 2007), yang saya buat untuk keperluan matakuliah “Sastra dan Politik Identitas”, dan saya tempatkan di blog ini demi memudahkan aksesnya untuk mahasiswa saya. Rangkuman ini belum mendalam, dan belum dilengkapi refleksi kritis apa pun.

Penulis buku ini, Suman Gupta, adalah pengajar di Open University, Inggris. Bidangnya sastra dan kajian budaya. Dalam bukunya ini, Gupta membahas gejala menguatnya politik identitas, dan institusionalisasinya di dunia akademis, dengan contoh Kajian Sastra di Amerika Serikat dan Inggris. Gupta menyampaikan kritik yang cukup tajam terhadap perkembangan yang diamatinya.
Buku ini terdiri dari dua bagian: yang pertama membahas fenomena politik identitas secara umum, dan yang kedua meneliti wujudnya di bidang Kajian Sastra.

1 Introduction: Prelude to Definitive Elaborations
Seperti yang diindikasikan oleh judulnya, politik identitas yang dibahas Gupta adalah politik identitas yang bersifat konstruksionis sosial. Pada masa kini, dalam ilmu sosial dan humaniora umumnya identitas dipahami bukan sebagai sesuatu yang terberi, tapi sebagai konstuk sosial. Atau dengan kata lain, konsep identitasnya anti-esensialis. Gupta sendiri pun menganut paham yang sama. Kritik yang diajukannya berangkat dari dalam konstruktivisme sosial sendiri: menurut Gupta, ada beberapa kecenderungan yang kurang baik dalam pengembangan gagasan seputar identitas. Gagasan-gagasan tersebut mendasari praktek-praktek politik identitas dengan corak tertentu, yang makin lama makin dominan di dunia akademis (dan di luarnya, tapi hal itu tidak banyak dibahasnya).

Untuk memperjelas analisisnya, Gupta membedakan antara “posisi politis berbasis identitas” (identity-based political position) dan “politik identitas” (identity politics). Posisi politis berbasis identitas adalah posisi politis yang diambil seseorang berdasarkan identitasnya, misalnya sebagai perempuan, sebagai gay, sebagai orang kulit hitam, sebagai Muslim, dan sebagainya. Logika yang umumnya digunakan di sini adalah logika embodiment: yang boleh menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu adalah orang yang bisa mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang bersangkutan, sehingga suaranya dapat diterima sebagai “otentis” (msl., yang mengambil posisi politis sebagai perempuan harus bisa mengidentifikasikan diri sebagai perempuan, bukan sebagai laki-laki). Berbagai posisi politis berbasis identitas kemudian dikaitkan satu sama lain, dengan cara menggunakan bahasa teoritis yang sama untuk membahas berbagai jenis identitas. Misalnya, kaum lesbian dan kaum African-American sama-sama memposisikan diri sebagai minoritas yang perlu memperjuangkan haknya di Amerika Serikat, sehingga dibutuhkan kerjasama, tapi tanpa mempertanyakan logika embodiment untuk masing-masing posisi (artinya, lesbian tidak berhak mencampuri urusan kaum African-American dan sebaliknya). Penyetaraan dan kebersamaan itulah yang oleh Gupta dipahami sebagai politik identitas.

Pilihan untuk membedakan antara posisi politis berbasis identitas dengan politik identitas ini tidak umum dilakukan. Dalam tulisan-tulisan lain, apa yang oleh Gupta disebut sebagai posisi politis berbasis identitas pun kerapkali dirujuk dengan istilah “politik identitas”.


Part I: Social Constructionist Identity Politics

2 Identity-Based Political Positions
Di bab ini, Gupta sekilas mereview konsep identitas dari perspektif filsafat dan sosiologi. Berbeda daripada, misalnya, “kepribadian”, kata “identitas” mendeskipsikan individu dengan merujuk pada kelompok masyarakat tertentu. Dengan mengidentifikasi diri sebagai perempuan, misalnya, diasumsikan bahwa seseorang punya kesamaan dengan perempuan lain, dan berbeda daripada laki-laki. Kata “identitas” dipakai baik untuk kelompok maupun individu, namun identitas kelompok mendahului identitas individu. Maka identitas individu terbentuk (sebagai konstruk sosial) bukan secara bebas, tapi terjadi over-determination (hlm. 13). (Contoh: Saat seseorang lahir dan diidentifikasi sebagai perempuan, lalu dibesarkan sebagai perempuan, kelompok perempuan sudah ada lebih dulu, dan sudah ada pemahaman bersama tentang apa itu identitas perempuan. Pemahaman itu mempengaruhi pembentukan identitas anak perempuan tersebut.)

Lalu ketika basis identitas dijadikan sebuah posisi politis, cirinya seperti apa? Umumnya, kaum yang mengambil posisi politis seperti itu merepresentasikan diri sebagai terancam atau termarjinalisasi. Identitas dipersoalkan karena dianggap perlu dibela. Gerakan perempuan, gerakan LGBT, dan sebagainya, berangkat dari kesadaran bahwa kepentingan mereka kurang terakomodasi dalam masyarakat yang patriarkis/homofobia, sehingga perlu diperjuangkan. Meskipun demikian, retorika politis berbasis identitas tidak selalu bersifat emansipatif, tapi juga bisa sangat konservatif. Menurut Gupta, kelompok yang memperjuangkan emansipasi umumnya mempersepsi diri sebagai termarjinalisasi, dan menggugat untuk lebih diakui (misalnya, minoritas etnis/ras, gender, atau orientasi seksual yang memperjuangkan pengakuan dan haknya di tengah masyarakat umum). Sedangkan argumentasi berbasis identitas yang bersifat konservatif lazim ditemukan dalam konteks pertahanan status quo, misalnya ketika masyarakat kulit putih Eropa mempersepsi diri sebagai “terancam” oleh kedatangan imigran dari negara non-Barat. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa aksi politis berbasis identitas sama sekali bukan hanya wilayah gerakan kiri. Baik politik kiri, maupun kanan (konservatif), memanfaatkan retorika serupa.

Uniknya, terkadang kedua jenis argumentasi politis itu bercampur aduk, misalnya ketika George Bush dan Tony Blair beretorika mengenai perlunya melindungi budaya “kita” (Barat) dari ancaman yang datang dari luar, namun sekaligus mengadopsi pembicaraan mengenai pluralisme dan multikulturalisme di negara masing-masing.


3 Embodying Identity-Based Political Positions
Gupta mengamati betapa dalam sangat banyak pembahasan seputar identitas, perdebatan antara esensialisme dan konstruktifisme sosial dijadikan fokus utama. Esensialisme berangkat dari asumsi bahwa identitas manusia terdefinisikan oleh esensi tertentu dalam dirinya, alias bersifat terberi. Misalnya, bahwa seseorang menjadi perempuan karena memiliki rahim, vagina, dan payudara. Konstruktifisme sosial terus-menerus mengambil jarak dari esensialisme, dan mendefisisikan diri sebagai anti-esensialis. Namun menurut Gupta, ada elemen yang ganjil dan mengganggu di dalam posisi konstruktifis sosial sendiri, yaitu konsep embodiment. Meskipun identitas dianggap sebagai konstruksi, untuk menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu, orang mesti embody posisi itu. Di satu sisi konstruktifisme sosial memandang identitas sebagai sesuatu yang cair dan terus-menerus dikonstruksi ulang, tanpa adanya esensi atau sifat bawaan yang tertanam dalam tubuh, namun di sisi lain, orang yang tidak secara tegas teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok tertentu, tidak dipandang berhak untuk berbicara atas namanya (tidak dianggap otentis). Gupta mengamati betapa ambivalensi ini melahirkan sekian penjelasan teoritis yang kompleks yang rumit, yang menurutnya sering kurang bisa diterima.

Logika embodiment bermasalah menurut Gupta karena bersifat membatasi komunikasi. Yang dianggap berhak berbicara dalam mendefinisikan setiap posisi politis berbasis identitas hanyalah orang yang embody posisi tersebut. Orang lain dituntut untuk menghormati posisi tersebut, tanpa boleh ikut bersuara. Dengan demikian, yang terbentuk adalah situasi di mana berbagai kalangan sama-sama bersuara atas dasar identitas mereka, dituntut untuk saling mentoleransi, namun hanya secara sangat terbatas bisa saling berdialog karena masing-masing dianggap tidak memiliki otoritas untuk mencampuri urusan yang lain.

Gupta kemudian bertanya, apakah ada posisi politis berbasis identitas yang tidak menggunakan logika embodiment? Dalam pembahasan singkat, dia mengajukan pendapat bahwa posisi politis seperti itu memang mungkin, dan ada. Misalnya, orang bisa menentang diskriminasi terhadap siapa saja, atas dasar kemanusiaan secara umum, tanpa perlu embody identitas terdiskriminasi tertentu. Atau, misalnya, laki-laki bisa berpolitik feminis, meskipun dirinya tentu tidak embody posisi perempuan.


4 Analogues and Equivalences
Lalu bagaimana politik identitas tercipta, berdasarkan posisi politis berbasis identitas tadi? Hal itu, menurut Gupta, terjadi lewat analogi (analogues) dan ekuivalensi (equivalences). Gupta menganalisis tulisan-tulisan yang digunakan untuk mengkonstruksi dan mendasari politik identitas secara teoritis. Menariknya, kata “analogi” dan “ekuivalensi” sendiri justru hampir tidak pernah muncul di situ. Hal itu terjadi karena, menurut Gupta, logika analogi dan ekuivalensi memang disamarkan atau tidak disadari.

Lewat sekian konsep teoritis yang belakangan ini semakin menjadi mode, berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan dan dihubungkan satu sama lain, tanpa mengganggu logika embodiment. Gupta mengklasifikasinya menjadi tiga jenis konsep:

Pertama, in-between terms. Contohnya, koalisi, pluralisme, keberagaman (diversity), perbedaan (difference). Menarik diamati bahwa kini dalam wacana teoritis (maupun wacana publik), kata-kata seperti itu sering muncul tanpa penjelasan lebih spesifik. “Menghormati perbedaan”, misalnya, menjadi anjuran yang sangat biasa, tanpa ada yang bertanya “perbedaan antara apa atau siapa?” Dengan cara seperti itu, secara implisit berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan (ditempatkan sebagai analog, i.e. serupa, dan ekuivalen, i.e. setara). Gupta melacak betapa teori-teori kontemporer digunakan sebagai dasar untuk memberi validitas terhadap konsep tersebut. Salah satu contoh adalah konsep Derrida mengenai differance. Dengan merujuk pada konsep semacam itu, perayaan atas “perbedaan” mendapat nuansa radikal dan canggih.

Retorika mengenai pluralisme atau keberagaman menjadi sangat dominan, sehingga bahkan pemikir yang pada intinya berangkat dari konsep yang bertentangan (berbicara tentang nilai universal, misalnya), merasa perlu mengakomodasinya. Hal itu tidak jarang menghasilkan teori yang penuh pertentangan.

Kedua, encompassing terms. Contohnya adalah kata “identitas” sendiri, juga multikulturalisme dan gerakan sosial. Dengan penggunaan istilah-istilah yang sama ini untuk membahas fenomena-fenomena yang berbeda (gender, warna kulit, orientasi seksual, dst; gerakan gay/lesbian, perjuangan melawan penjajahan, feminisme, dst), tercipta kesan bahwa berbagai posisi politis berbasis identitas memang bersifat serupa (tanpa perlu ada pembuktian khusus tentang hal itu, karena sudah terasumsikan lewat penggunaan kata yang sama).

Ketiga, metatheoretical terms. Contohnya: pascamodernisme, pascakolonialisme, globalisasi. Tidak bisa dikatakan bahwa teori pascakolonial atau pascamodern didominasi politik identitas, atau mempersoalkan identitas sebagai topik utamanya. Namun teori tersebut menyediakan latar bagi politik identitas, misalnya lewat pendobrakannya terhadap grand narratives. Dengan demikian, berbagai posisi politis berbasis identitas sama-sama terkonstruksi sebagai bagian dari sikap atau gerakan kritis yang sama.


5 Identity Politics at Work
Politik identitas kini telah terinstitusionalisasi, bukan sekadar dalam arti bahwa ada lembaga yang menjalankannya, tapi dalam arti bahwa politik identitas terus-menerus terjadi lewat tindakan dan praktek yang dianggap wajar dan menjadi kebiasaan.

Di ranah politis, menurut Gupta pada masa kini apa yang disebut politik kiri pada dasarnya adalah politik identitas. Latar belakangnya adalah kemunculan gerakan kiri baru setelah gerakan kiri marxis yang lama dipandang tidak relevan lagi. Bagi Gupta, ini merupakan perkembangan yang memprihatinkan, sebab politik identitas mudah terkooptasi oleh kekuatan konservatif/kapitalis. Strategi yang umum digunakan adalah dengan memberi ruang dan hak tertentu bagi kelompok-kelompok berbasis identitas, sehingga semangat perlawanan memudar. Komersialisasi juga mudah terjadi, yaitu dengan menyediakan berbagai produk dan jasa khusus bagi anggota kelompok berbasis identitas tertentu.

Gupta kemudian secara singkat dan tegas merumuskan posisinya sendiri dalam menyikapi politik identitas:
1. Setiap ekspresi atau pemosisian politis harus bersifat terbuka, sehingga siapa pun yang merasa berkepentingan, boleh melibatkan diri dengannya.
2. Tidak ada orang yang lebih memiliki otoritas, atau yang suaranya lebih otentis daripada yang lain. Yang menjadi ukuran hanya akses terhadap informasi, pemahaman, dan integritas.
3. Diskriminasi dan prasangka perlu terus-menerus disikapi secara kritis, termasuk dengan cara bersikap kritis terhadap kecenderungen politik identitas yang dominan.


Part II: Literary Studies

6 Theory, Institutional Matters, Identity Politics
Bagaimana politik identitas terinstitusionalisasikan di kajian sastra? Gupta memulai pembahasannya dengan menggambarkan situasi kajian sastra sebelum dan di saat politik identitas mulai menjadi sangat berpengaruh. Sejak tahun 60an dan 70an, terjadi banyak pembaharuan di kajian sastra, akibat pengaruh teori-teori pascastruktural. Teori-teori yang kerapkali dirujuk dengan kata “Theory” (huruf besar) itu membentuk sebuah metalanguage tentang sastra, yaitu membawa pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar mengenai sastra dan penulisan daripada teori-teori yang ada sebelumnya. Di sini Gupta melacak adanya dua kecenderungan yang berbeda, yang dia bahas dengan merujuk pada dua tokoh, yaitu Paul de Man dan Edward Said. De Man melakukan dekonstrusi, dengan melacak pertentangan dan ambivalensi dalam teks. Baginya sastra merupakan jenis teks yang istimewa, karena sadar akan sifat retorisnya sendiri (bukan sekadar bertujuan menyampaikan pesan tertentu, tapi justru lebih berfokus pada eksplorasi bahasa). Said, sebaliknya, berbicara tentang worldliness setiap teks, yaitu bahwa di belakang setiap teks, termasuk teks sastra, ada kepentingan-kepentingan tertentu (msl., kepentingan kolonial). Kedua kecenderungan itu sebetulnya bertentangan, tapi sama-sama dipahami sebagai bagian dari “Teori”, sehingga lama-lama pertentangannya cenderung kurang disadari.

Perkembangan tersebut menurut Gupta memfasilitasi pembentukan politik identitas dalam kajian sastra. Argumentasi seputar worldliness menjadi penting sebagai alasan mengapa kritikus sastra perlu berbicara dengan berangkat dari basis identitas tertentu: karena karya sastra sering bersifat rasis, kolonial, atau patriarkis, maka dibutuhkan kritikus yang berbicara atas nama orang kulit berwarna, kaum terjajah, atau perempuan. Namun seperti yang dibahas di Bagian I, logika embodiment tersebut kemudian tersamarkan oleh penggunaan konsep-konsep anti-esensialis, yaitu konsep-konsep pascastrukturalis yang menciptakan analogi dan ekuivalensi.


7 Self-Announcements and Institutional Realignments
Di bab ini, Gupta membahas enam contoh buku kajian sastra untuk mengilustrasikan wujud politik identitas dalam praktek akademis. Di buku-buku tersebut, yang diberi perhatian oleh Gupta adalah pengakuan-pengakuan tertentu di pinggir teks, misalnya dalam pendahuluan, kata pengantar atau penutup. Pengakuan-pengakuan para akademisi yang berstatus sebagai penulis buku tersebut semuanya menyangkut identitas diri mereka masing-masing, yang dikaitkan dengan isi buku yang ditulis. Tiga contoh mengilustasikan momen dimana sebuah posisi politis berbasis identitas mulai di-embody, dan tiga contoh lagi mengilustrasikan politik identitas konstruktifis sosial dalam arti yang lebih luas.

Di antara tiga contoh pertama, ada buku The Apparitional Lesbian: Female Homosexuality and Modern Culture karya Terry Castle (1993). Di bagian awal bukunya, Castle menceritakan betapa pada mulanya dirinya tidak punya maksud untuk menulis buku tentang lesbian. Namun di tengah penelitiannya dalam rangka rencana penulisan dengan topik lain, dirinya merasa gelisah, gagal mengawali tulisannya dengan lancar, lalu spontan mulai menulis tentang identitas lesbian dengan nada otobiografis. Hal itu terasa melegakan dan lebih masuk akal baginya. Dirinya sadar bahwa tanpa diakui, topik tersebut telah lama menghantuinya. Dalam buku tersebut, Castle kemudian melacak ekspresi lesbianisme dalam karya sastra.

Gupta membahas pengakuan Castle tersebut dengan menekankan betapa logika embodiment dihadirkan secara sangat eksplisit di situ. Disebabkan oleh identitasnya sendiri sebagai lesbian, Castle dipandang (atau memandang diri) memiliki kemampuan lebih untuk membahas representasi lesbianisme dalam karya sastra. Pilihannya untuk meninggalkan gaya kerja akademisnya yang lama, lalu menulis dengan berangkat dari posisi dan pengalaman pribadinya, diberi kesan otentisitas dan dirayakan sebagai sikap yang berani dan kritis.

Sedangkan di antara tiga contoh berikutnya, ada buku Critical Condition: Feminism at the Turn of the Century karya Susan Gubar (2000). Dalam buku tersebut, Gubar mengevaluasi perkembangan kritik sastra feminis sejak tahun 70an. Setelah feminisme berhasil diterima dan terinstitusionalisasi dalam kajian sastra, kini perjuangan bergeser: identitas-identitas minoritas yang lebih khusus kini perlu diartikulasikan, seperti misalnya lesbian, atau perempuan Afrika-Amerika. Uniknya, seperti yang diamati Gupta, di satu sisi Gubar membahas feminisme atas dasar identitas dirinya sebagai perempuan (sehingga merasa berhak dan perlu berpolitik feminis), atau dengan kata lain, dia menggunakan logika embodiment. Namun ketika membahas feminisme lesbian dan feminisme kulit hitam, Gubar agak kesulitan karena dirinya bukan lesbian dan tidak berkulit hitam. Maka di situ, alasan yang diberikan adalah bahwa identitas bersifat cair dan tidak stabil, dan bahwa kritik terhadap rasisme dan homofobia tetap sah dilakukannya sebagai feminis. Tampak betapa politik identitas dilakukan dengan cara menyejajarkan berbagai posisi minoritas, dan betapa embodiment menjadi permasalahan dalam pekerjaan tersebut.

Contoh-contoh itu mengilustrasikan betapa kuatnya retorika yang berdasar pada identitas dalam kajian sastra. Identitas akademisi menjadi faktor penting, yang dipandang memberinya otoritas untuk berbicara tentang topik tertentu, misalnya kritikus gay bicara tentang homoseksualitas dalam sastra, atau kritikus kulit hitam membahas representasi ras. Pembenaran teoritis terhadap kecenderungan tersebut, seperti yang ditunjukkan Gupta, berusaha mempertahankan konstruktifisme sosial dengan cara yang kerapkali bermasalah dan penuh pertentangan.


8 Theory Textbooks and Canons
Textbook (buku ajar) merupakan genre teks yang khas, yaitu memiliki fungsi untuk “menginisiasi” pendatang baru ke sebuah bidang studi. Dengan demikian, buku teks berusaha menyampaikan hal-hal mendasar yang dianggap perlu diketahui oleh siapa pun yang ingin berkarya di bidang studi tersebut. Berdasarkan pengamatan tersebut, Gupta meneliti beberapa textbook kajian sastra, yaitu secara khusus textbook yang mengalami beberapa kali cetak ulang. Dengan demikian, tampak dengan jelas perubahan seperti apa yang terjadi dalam beberapa dekade ini.

Hasilnya adalah bahwa ternyata dalam textbook-textbook yang banyak digunakan, politik identitas semakin mendapat tempat. Misalnya, ditambahkan bab tentang kritik sastra queer, kulit hitam, atau pascakolonial. Hal itu umumnya dilakukan dengan cara yang oleh Gupta, dengan mengutip Jeffrey R. Di Leo, secara sinis disebut “cookie cutter approach”. Kritik sastra diajarkan dengan cara memperkenalkan sejumlah pendekatan, yang disejajarkan begitu saja untuk dipilih sesuai kebutuhan atau kesenangan mahasiswa/peneliti. Maka pendekatan yang berbasis identitas pun bisa diintegrasikan dengan mudah. Hal itu tidak berlaku untuk sejumlah kecil textbook yang tidak memakai cookie cutter approach, tetapi membahas kritik sastra sebagai sebuah kontinuitas perdebatan teoritis yang saling menyambung dan saling berinteraksi, seperti misalnya Literary Theory: an introduction karya Terry Eagleton (1983). Eagleton menolak untuk mengakomodasi politik identitas saat bukunya diterbitkan ulang tahun 1993.


9 Conclusion: Questions and Prospects
Dalam bab terakhir yang singkat ini, Gupta mempersoalkan implikasi kecenderungan-kecenderungan yang dibahas di atas untuk institusi kajian sastra. Sebagai pengajar di bidang tersebut, Gupta mengamati bahwa dalam interaksi sehari-hari di jurusan Sastra Inggris pun, politik identitas menjadi sangat berpengaruh. Misalnya, untuk pengajaran matakuliah tertentu, atau pembimbingan tugas akhir tertentu, dicari dosen yang identitasnya “sesuai”. Atau, dalam interaksi di kelas, masing-masing bertindak dengan sadar akan identitasnya: saat membahas teks tentang lesbian, misalnya, mahasiswi yang lesbian akan merasa lebih paham dan lebih berhak bicara daripada dosen dan teman-temannya yang heteroseksual. Dengan demikian, praktek kritik sastra terus-menerus dikaitkan secara langsung dengan identitas manusia yang menjalaninya. Sekian batasan pun terus-menerus dihadirkan, dalam arti bahwa berdasarkan logika embodiment, manusia tertentu dianggap kurang cocok atau kurang berhak untuk melibatkan diri secara akademis dengan topik tertentu. Itulah kritik utama yang disampaikan Gupta dalam bukunya: Pada masa kini, relevan dan sahnya sebuah kontribusi intelektual cenderung dinilai dengan memandang identitas penulisnya, bukan dengan berfokus pada substansi kontribusi tersebut.

Kamis, 06 April 2017

Berangkat dari Kegalauan (catatan singkat seputar proses kreatif)

Bayangkan situasi seperti berikut: Anda diwawancarai seorang wartawan dari sebuah media internasional, dan wartawan itu mengajukan pertanyaan sederhana, yang seharusnya mudah Anda jawab sebab pertanyaan tersebut berkaitan dengan bidang yang Anda geluti. Namun entah kenapa, Anda gagap menjawabnya. Jawaban yang meluncur dari mulut Anda sama sekali tidak memuaskan bagi diri Anda sendiri, dan kemungkinan besar juga bagi wartawan tersebut. Dapatkah Anda bayangkan, perasaan seperti apa yang tinggal di hati Anda setelah wawancara itu berakhir? Malu, tidak nyaman, kecewa pada diri sendiri... 

Apa yang sewajarnya kita lakukan dalam situasi semacam itu? Secepatnya berusaha melupakan pengalaman tidak mengenakkan tersebut, lalu melanjutkan hidup dengan kegiatan yang lebih menyenangkan – paling tidak, itulah yang pada mulanya saya lakukan, ketika situasi yang saya deskripsikan di atas terjadi pada diri saya. Namun, seperti yang tidak jarang saya alami, sekian waktu kemudian tiba-tiba saya menyadari betapa momen tidak menyenangkan tersebut menyimpan kerumitan tertentu, yang justru membuatnya menarik untuk diangkat dan direnungkan kembali. Mengapa saya gagap dan tidak bisa menjawab saat ditanyai oleh wartawan itu? Dan apa yang seharusnya saya jawab pada momen itu? Mengapa sampai saat ini pun saya tetap tidak tahu?

Adegan tersebut kemudian saya jadikan pembuka untuk mengawali esei pertama dalam buku terbaru saya, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial (2016):

“Makin banyak perempuan Indonesia yang memakai jilbab sekarang, ya?”, ungkap [wartawan itu], kemudian dia melanjutkan dengan mengutarakan keprihatinan akan hal tersebut. Terungkap dengan jelas betapa baginya, ada pertentangan antara jilbab, sebagai tanda semakin kuatnya nilai Islam dalam masyarakat, dengan emansipasi dan kemajuan perempuan. 
Saya agak kewalahan menghadapi situasi itu. Pada saat itu, saya sendiri belum berjilbab, dan tampaknya wartawan Jerman itu mempersepsi saya sebagai “sesamanya”, yaitu sebagai non-Muslim, atau lebih spesifik, sebagai sesama perempuan Eropa berpendidikan tinggi dan berpandangan sekuler. Komentarnya tentang jilbab mengasumsikan sebuah pengetahuan bersama yang seakan-akan sama sekali tidak perlu dipertanyakan lagi: Tentu saja menguatnya nilai Islam adalah hal yang buruk untuk perempuan, sedangkan melemahnya nilai Islam akan lebih baik untuk perempuan.
“Apa hubungan antara jumlah perempuan berjilbab dengan emansipasi?”, tanya saya. “Setahu saya tidak ada hubungan langsung.” Saya kemudian mencoba untuk sedikit mempertanyakan mindset wartawan itu. Namun dalam obrolan singkat dan tanpa persiapan khusus itu, saya berkesulitan menemukan titik berangkat yang tepat. Betapa kuatnya “pengetahuan bersama” yang diasumsikan wartawan itu! Bagaimana saya mesti menggoyahkannya? 

Mindset yang sulit digoyahkan itu kemudian membuat saya semakin kewalahan dalam lanjutan obrolan dengan wartawan itu. “Saat sang wartawan menanyakan kondisi hak-hak perempuan secara umum di Indonesia, spontan saya terdorong untuk menjawab bahwa keadaan perempuan pada umumnya sangat baik di Indonesia. Apakah itu benar? Belum tentu! Tapi itulah dilema yang secara intuitif saya rasakan pada saat itu: kalau saya menjawab bahwa masih ada sekian masalah ketidakadilan dan kekerasan gender dalam masyarakat Indonesia, jangan-jangan jawaban saya diterima sebagai pembenaran terhadap anggapan-anggapan tertentu seputar kejam, seksis, dan kolotnya masyarakat (bermayoritas) Muslim.” Demikian yang saya tulis di esei tersebut.

Sebuah pengalaman tidak menyenangkan yang pada mulanya ingin didesak sejauh-jauhnya ke sudut memori yang tak ingin dikunjungi kembali, akhirnya menjelma menjadi pembuka esei, dan dengan demikian bukan hanya diangkat kembali, tapi bahkan dibagi dengan publik yang luas. Saat menulis esei tersebut, saya tidak terlalu memikirkan keunikan strategi penulisan itu. Saya sekadar lega bahwa kejadian dengan wartawan tersebut akhirnya bisa lebih saya pahami, sehingga perasaan tidak nyaman yang pada mulanya menyertainya pun makin teratasi. Namun lewat tanggapan sejumlah pembaca, saya kemudian tergelitik untuk sedikit merefleksikan proses kreatif saya. Rupanya strategi saya tersebut, yaitu kecenderungan saya untuk mengangkat pengalaman pribadi yang sebagian besar bersifat meresahkan, tidak mengenakkan, atau membingungkan, menyulut perhatian pembaca. Kedua pembicara pada peluncuran buku saya tersebut 28 Februari 2017 di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Tia Pamungkas dan Wahmuji, pun sama-sama mengomentari gaya penulisan saya tersebut. Tia menggunakan kata “galau”, sedangkan Wahmuji berbicara tentang keberanian saya untuk menghadapi dan mempersoalkan realitas kehidupan yang kerapkali tidak koheren. Dalam hal penilaian, mereka tidak sepenuhnya sepakat satu sama lain. Wahmuji sangat apresiatif terhadap keunikan strategi penulisan saya, sedangkan Tia tampak agak ragu. Positif atau negatifkah “kegalauan” yang, menurut persepsinya, membuat arah tulisan saya cenderung kurang tegas? “Kalau membaca buku Katrin yang sebelumnya, di situ posisi Katrin jelas, yaitu Katrin adalah feminis pascakolonial. Tapi di buku ini, apakah Katrin masih feminis?”, tanyanya. 

Saya suka kata “galau” itu. Ya, saya memang kerapkali berangkat dari kegalauan dalam aktifitas penulisan saya. Dalam proses-proses membaca yang terjadi dalam keseharian, baik membaca tulisan maupun membaca pengalaman, saya cenderung selalu tertarik terhadap momen-momen yang membawa ketegangan. Perasaan tidak nyaman, ambivalensi, hal-hal yang bertentangan dalam diri saya tanpa ada solusi yang mudah, prilaku atau perasaan yang tidak terpahami… - hal-hal seperti itu yang membangkitkan gairah saya untuk menelusurinya lewat tulisan.


Saat melihat ulang buku saya tersebut menjelang peluncuran, saya tertarik untuk merenungkan kembali proses penggagasan dan penyusunannya. Mengapa yang hadir di bawah judul yang seakan-akan sangat umum itu (seperti judul sebuah textbook) adalah esei-esei sangat beragam, dengan nada yang terkadang personal, berangkat dari refleksi tentang persoalan-persoalan gender yang umum ataupun yang relatif khusus, dengan bacaan yang campur aduk antara referensi teori yang bisa dianggap utama, dengan bacaan yang lebih khusus, yang “kebetulan” menyulut perhatian dan keasyikan saya? Apa yang saya cari dan saya inginkan lewat buku semacam ini? Sejumlah pembaca pun mengekspresikan keheranan serupa: yang dibayangkan saat melihat judulnya adalah sebuah textbook alias bacaan yang cenderung “berat” dan kering, namun ternyata isinya sangat tidak sesuai ekspektasi. Apakah ketiadaksesuaian itu membuahkan kekecewaan atau justru keasyikan, tentu tergantung kepada masing-masing individu pembaca tersebut. Dari reaksi yang sampai kepada saya, yang dominan adalah rasa lega: buku dengan judul “berat” itu ternyata isinya tulisan yang kerapkali berangkat dari cerita-cerita pengalaman pribadi yang ringan dibaca.

Judul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial pada mulanya lahir dari refleksi perjalanan Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni (Anjani) yang bertugas saya kelola di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. Sekitar akhir 2015, kami (anggota pusat studi tersebut) memutuskan untuk mempertegas perspektif kajian yang ingin kami kembangkan. Kami memilih perspektif pascakolonial, dengan alasan bahwa perspektif tersebut sangat relevan dengan kondisi negara ini, tapi masih kurang dikembangkan di dunia akademis Indonesia sendiri. Sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan tekad pengembangan fokus baru itu, awal 2016 saya menyesuaikan materi matakuliah Kajian Gender yang sudah beberapa tahun saya ampu, dan judul matakuliah itu kemudian saya ubah menjadi “Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial”. 

Sambil mengajar, saya mulai menggagas sebuah buku dengan topik serupa. Awalnya saya memang sempat membayangkannya sebagai semacam buku ajar (textbook), berangkat dari matakuliah yang saya ajarkan tersebut. Namun menulis textbook adalah proyek yang membutuhkan sangat banyak waktu dan enerji. Agar mampu menulis pembahasan ringkas dan relevan tentang berbagai unsur Kajian Gender dalam konteks pascakolonial, bacaan harus sangat luas, dan fokus harus dipilih dengan cermat, lewat proses yang tidak mungkin singkat. Di samping itu, semakin saya renungkan, semakin saya tidak tertarik untuk memproduksi sebuah textbook. Bukankah sebuah textbook selalu punya nada otoritatif tertentu, yaitu berusaha memberi overview terhadap sebuah bidang, sambil mendefinisikan bidang tersebut? Bukan itu yang sedang ingin saya lakukan. Saya berniat membuka dialog tentang sebuah perspektif yang menurut saya relevan untuk membahas situasi di Indonesia, bukan berniat memberi definisi dan batas-batas kaku.

Niat tersebut juga terkait dengan pemosisian diri saya sendiri. Sebagai orang asing, lebih-lebih orang Eropa berkulit putih, saya kurang yakin apakah saya berhak menulis dengan suara otoritatif ala textbook. Saya lebih nyaman dengan tulisan yang bersifat “sharing”. Saya ingin berbagi tentang perspektif-perspektif yang menurut saya mengasyikkan, yaitu perspektif yang terasa “nyambung” saat saya menggunakannya untuk berusaha lebih memahami hidup saya sendiri. Saya tidak bisa dan tidak ingin menggeneralisasi apa yang saya peroleh dari proses refleksi yang berangkat dari pengalaman dan posisi diri saya yang khusus itu, tapi saya berharap agar refleksi saya meninspirasi orang lain, dan membawa refleksi tersendiri bagi masing-masing pembaca. Saya berharap untuk menularkan sebuah cara pandang, tanpa bisa memprediksi apa hasilnya saat orang lain, yang memiliki pengalaman hidup yang mungkin amat jauh dari pengalaman saya sendiri, menggunakan cara pandang tersebut.


Harus saya akui bahwa saya terharu saat membaca tulisan Wahmuji tentang buku saya. Saya bersyukur karena merasa dipahami, dan beberapa hal yang diungkapkan Wahmuji bahkan baru saya sadari. Salah satunya adalah persoalan keberanian. 

“Membaca pengalaman-pengalaman Katrin dalam Kajian Gender membuat saya bertanya-tanya: apakah saya berani dan mampu menautkan pengalaman hidup pribadi untuk saya refleksikan dan saya jadikan bagian dari sebuah penelitian? Apakah pengalaman pribadi saya penting dan layak dibaca orang? Kemanakah refleksi pengalaman hidup akan membawa saya? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa saya jawab, tetapi justru meyakinkan saya bahwa Katrin telah berusaha keras untuk bisa merefleksikan pengalaman hidupnya sendiri dalam Kajian Gender; menghadirkan pengalaman yang direfleksikan bukan hanya soal kemampuan untuk menautkan diri dengan sesuatu yang lebih besar, tetapi juga soal keberanian dan eksperimen diri – yang pertaruhannya cukup besar. Kita terhanyut dan tidak tahu akan bermuara di mana….”, 

demikian kata Wahmuji sebagai penutup ulasannya. 

Diskusi santai bersama perupa Arahmaiani di ruang Anjani 1 Maret 2017, yaitu sehari setelah peluncuran yang saya sebut di atas, memberi saya kesempatan untuk menggali persoalan itu lebih lanjut. Diskusi antara kami berdua terwujud atas usul Arahmaiani yang merasa “nyambung” dengan beberapa hal yang saya bicarakan dalam buku terbaru saya. Berangkat dari rasa nyambung itu, diskusi tersebut diberi tajuk “Memperbincangkan Identitas Hibrid”. Bukankah kami sama-sama perempuan hibrid? Saya berkebangsaan Jerman, berkulit putih, berkarya hampir selalu dalam bahasa Indonesia, menetap di Jogja, dan beragama Islam. Sangat campur aduk. Pengalaman Iani (demikian panggilan akrab Arahmaiani), sebagai seniman yang banyak berkarya di luar Indonesia, tak kalah campur aduk. 

Dari perspektifnya yang beridentitas hibrid itu, Iani mengutarakan keresahannya dengan apa yang disebutnya sebagai gejala menguatnya politik identitas. Makin lama, demikian persepsinya, orang makin dituntut untuk mendefinisikan identitasnya dengan sangat tegas dan tunggal. Orang mesti berafiliasi dengan pihak tertentu (kelompok tertentu yang berpolitik identitas), dan dengan demikian otomatis akan diasumsikan bukan bagian dari pihak yang lain. Menjadi sekian hal sekaligus, atau berdiri di tengah-tengah, bukan pilihan yang dianggap wajar. Kondisi tersebut terasa memprihatinkan bagi Iani, karena dengan demikian terjadi polarisasi dalam masyarakat, dan tercipta kelompok yang terpisah satu sama lain, yang kerapkali sulit untuk saling menghormati.

Renungan Iani itu memancing saya untuk ikut merenung. Bagaimana kita dapat memahami hasrat untuk mempertegas identitas diri itu? Sepertinya sebagian orang merasa lebih aman dan nyaman dengan ketegasan semacam itu. Saya kemudian sedikit fashback. Sejak kapankah saya asyik mempersoalkan hibriditas pengalaman dan identitas saya? Ketika saya mengingat-ingat masa remaja saya sampai usia 20an, saya menjadi sadar bahwa di masa itu, saya pun cenderung merindukan identitas yang lebih pasti, jelas, dan koheren. Ketertarikan saya pada budaya lain, terutama budaya Asia dan kemudian secara khusus budaya Indonesia, dimulai di masa itu. Namun apakah pada saat itu saya bercita-cita menjadi manusia hibrid? Justru sebaliknya, seingat saya. Berangkat dari keresahan dan ketidaknyamanan dengan budaya saya sendiri, saya mencari alternatif demi alternatif untuk berusaha larut di dalamnya. Saya ingin secara total dan utuh menjadi sesuatu yang baru, agar segala kegelisahan saya terselesaikan. Ingin menjadi zen buddhist di Jepang, ingin menjadi Hindu Bali, … 

Untuk pada akhirnya mengakui bahwa semua itu tidak berhasil membuat saya merasa utuh, dan bahwa apa yang ada dalam diri saya selalu campur aduk dan penuh pertentangan, dibutuhkan waktu panjang. Dan, tepat sekali seperti yang dikatakan Wahmuji, pengakuan itu butuh keberanian. Lebih-lebih untuk mengakui bahwa saya berdiri di posisi tertentu di tengah relasi kekuasaan global, yaitu sebagai bagian dari manusia Eropa dengan sejarah kelamnya sebagai penjelajah dunia yang menindas (menjajah) hampir seluruh planet bumi ini. Tidak mudah untuk meninggalkan hasrat untuk menyangkal realitas itu, lalu melarutkan diri dalam ilusi bahwa saya bisa menjadi apa saja yang saya mau, tanpa berurusan dengan relasi kuasa dan penenindasan. Keberanian untuk bersikap semakin jujur tumbuh lewat sebuah proses panjang, dan baru kini, di usia saya yang sudah kepala 4, pemahaman akan posisionalitas diri saya mulai terpetakan dengan agak lebih eksplisit. Entah proses itu akan membawa saya ke mana di masa mendatang.

Sebagai kesimpulan dari renungan saya dalam dialog dengan Arahmaiani itu, saya semakin meyakini bahwa keberanian untuk memandang dan mengungkapkan diri secara jujur merupakan bagian dari tanggungjawab kami sebagai intelektual. Kemampuan yang saya miliki saat ini untuk mengartikulasikan posisionalitas saya, tidak mungkin saya capai tanpa proses pembelajaran yang bersifat akademis, yaitu lewat bacaan teoritis, kerja penulisan, dan diskusi-diskusi akademis. Lewat refleksi tentang proses panjang yang saya butuhkan untuk sampai ke titik ini, saya merasa diingatkan untuk berhati-hati dalam menilai orang lain. Tidak semua orang perlu, mampu, dan berkesempatan menyibukkan diri dengan sekian ambivalensi dalam diri, dan tidak semua orang merasakan keasyikan dalam pekerjaan seperti itu, seperti yang saya rasakan.


Setelah peluncuran buku pada tanggal 28 Februari itu, beberapa kali saya teringat akan pertanyaan Tia. Apakah saya masih feminis? Yang menarik bagi diri saya bukan sekadar bahwa saya tidak tahu jawabannya, tapi juga bahwa ternyata saya hampir tidak pernah mengajukan pertanyaan semacam itu pada diri saya sendiri. Sekian tahun saya mempelajari Kajian Gender, dan tentu saja saya terus-menerus menghubungkan apa yang saya baca dengan pengalaman kehidupan saya sendiri. Namun di tengah kompleksitas renungan yang distimulasi oleh bacaan-bacaan yang beragam tersebut, pertanyaan “apakah saya feminis” jarang mengemuka. Mungkin karena pertanyaan itu bersifat terlalu besar, umum, dan abstrak. Daripada bertanya apakah bacaan-bacaan di bidang Kajian Gender membuat saya menjadi feminis atau tidak, saya lebih menikmati pertanyaan seputar pertentangan, ambivalensi, dan “kegalauan” yang lahir akibat perjumpaan antara bacaan tersebut dengan sekian aspek lain dalam diri saya.



Rujukan
Wahmuji, “Pengalaman, Posisionalitas, dan Kekuasaan”, literasi.co 9 Maret 2017, http://literasi.co/2017/03/pengalaman-posisionalitas-dan-kekuasaan/

Rabu, 08 Februari 2017

Kajian Gender dan aku, sebuah refleksi pribadi



Tulisan berikut awalnya kubuat pada tahun 2015, dalam rangka mengevaluasi dan merefleksikan kiprahku di Kajian Gender, dan secara khusus keterlibatanku di pusat studi gender milik Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, tempat aku bekerja. Lewat refleksi tersebut, aku mulai lebih menyadari betapa rumitnya hubungan diriku, dengan segala kompleksitas identitasku, dengan bidang studi Kajian Gender yang kini, pada akhirnya, makin aktif kugeluti. 


Pada tahun 2005, saat aku mulai mengajar di Sadhar dan Anjani (Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni) secara informal didirikan (dengan acara pertama berupa workshop “Tubuh Ini Milik Siapa?” bulan April 2005), pengetahuanku mengenai Kajian Gender masih sangat terbatas. Selain tidak pernah secara formal mempelajari Kajian Gender semasa kuliah sampai tingkat S3 di Jerman, keresahan seputar masalah gender tidak memainkan peran yang sangat besar dalam kehidupan pribadiku sampai saat itu. Aku tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku feminis. Aku pun tidak merasa memiliki pengalaman-pengalaman pahit yang membuatku dendam pada kaum laki-laki, dan jarang merasa dinomorduakan atau ditindas atas dasar genderku. Dengan latar belakang seperti itu, aku menyambut baik usul rekan-rekan di kampus untuk mendirikan pusat studi perempuan, namun tanpa adanya motivasi atau dorongan kuat yang berakar pada keresahan atau kepedulian pribadi. Apakah keperempuananku menjadi masalah? Adakah sesuatu yang perlu dibongkar atau direnungkan pada identitas genderku? Entah – pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang kupikirkan.
            Meskipun demikian, dalam keseharianku bukan tidak pernah ada masalah atau kegelisahan berkaitan dengan identitasku, atau konkritnya, dengan persepsi diri dan persepsi orang lain terhadap siapa diriku, dan posisi diriku di tengah lingkungan sosialku. Namun identitas tersebut umumnya bersifat lebih kompleks daripada sekadar identitas gender. Aku hampir tidak pernah secara terisolasi mengalami diri sebagai perempuan, namun yang cukup sering menjadi persoalan dalam kehidupan sehari-hari adalah identitasku sebagai perempuan bule. Dengan kata lain, aku jarang mempersepsi diri (dan merasa dipersepsi) sebagai bagian dari “kaum perempuan” berhadapan dengan “kaum laki-laki” secara umum, tapi aku cenderung secara lebih spesifik mengalami diri sebagai perempuan kulit putih di tengah masyarakat Indonesia. Seringkali dalam interaksi sehari-hari, aku merasa dibedakan dari perempuan lokal, atau bahkan diperhadapkan dengannya. Sebagai perempuan bule, aku cenderung dipandang “lebih bebas”, “lebih terbuka”, atau “lebih teremansipasi” daripada perempuan Indonesia, atau, dalam versi yang lebih negatif dan menyakitkan, dipandang sebagai objek seks yang mudah didekati, dengan asumsi bahwa perempuan bule tidak bermoral sehingga “bisa diajak”. Namun kejengkelan dan ketidaknyamanan terhadap asumsi-asumsi semacam itu baru bisa kuekspresikan seadanya pada saat itu. Aku belum memiliki bahasa dan pendekatan yang tepat untuk membicarakan pengalamanku.

            Aku gelisah bukan sekadar karena jengkel akan pandangan stereotipikal terhadap perempuan kulit putih yang seringkan tidak mengenakkan itu. Meski pada mulanya belum dapat mengartikulasikannya dengan jelas, kurasakan betapa ada persoalan yang lebih mendasar di balik stereotipe-stereotipe itu, dan bahwa permasalahan tersebut memiliki kaitan dengan relasi kekuasaan global dan pascakolonialitas. Sering kuamati atau kualami betapa prilaku atau nilai (yang dipersepsi sebagai) “khas Barat” dicitrakan sebagai “lebih maju”. Kaumku – perempuan Barat – konon punya ruang gerak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh adat dan aturan agama, bebas dalam hal seksualitas, berpakaian lebih terbuka dan merdeka, bebas berkarir tanpa perlu memikirkan keluarga, dan segudang “keistimewaan” lainnya. Pemosisian tersebut membuatku merasa tidak nyaman. Benarkah kami – perempuan Barat – demikian bebas dan bahagia? Berdasarkan pengalaman hidupku, aku kurang bisa membenarkannya. Di samping itu, mengapa nilai-nilai yang terdefinisikan sebagai “Barat” dipandang lebih “maju”? Lebih mulia dan teremansipasikah seorang perempuan bila dia berpakaian “terbuka” dan berganti-ganti pasangan seks? Dan kata siapa nilai-nilai “Barat” sudah pasti lebih baik daripada apa yang bisa ditawarkan oleh adat lokal atau ajaran agama? Kehadiranku di Indonesia tidak pernah dilatarbelakangi asumsi akan keunggulan budayaku sendiri, yang ingin kutularkan pada “saudara-saudaraku yang kurang beruntung” di “Dunia Ketiga”. Justru sebaliknya: sudah lama - minimal sejak usia remaja – aku kerapkali kurang puas akan apa yang bisa ditawarkan oleh budayaku sendiri.

          Ada beberapa adegan dari workshop “Tubuh Ini Milik Siapa?” tahun 2005 yang terekam dalam ingatanku, dan adegan itu dengan cukup jelas mewakili keresahanku. Workshop itu menghadirkan tiga orang perempuan Jepang, dua di antaranya seniman (performance dan komik), dan yang ketiga pemilik sebuah sexshop khusus perempuan. Dalam sesi diskusi, pemilik sexshop tersebut menjadi salah satu pembicara, dan sebagai ilustrasi atas presentasinya, dia membawa berbagai jenis produk sebagai contoh, terutama berupa dildo dan vibrator. Produk itu diedarkan, sehingga peserta bisa melihat-lihatnya sambil mendengarkan penjelasan pembicara mengenai gagasan di belakang sexshop khusus perempuan yang dikelolanya itu. (Kalau tidak salah ingat, gagasan tentang perlunya sexshop khusus perempuan berangkat dari pengalaman perempuan yang merasa tidak nyaman dan tidak leluasa saat berbelanja di sexshop umum yang banyak dikunjungi laki-laki.) Peserta workshop mayoritas mahasiswi yang masih relatif muda, banyak di antaranya dari universitas lain, mungkin UNY atau UIN. Terlihat dengan cukup jelas bahwa benda-benda yang diedarkan tersebut merupakan barang baru bagi mereka. Benda itu, beserta pemaparan tentang sexshop, dengan sendirinya menggiring diskusi pada topik masturbasi. Norma agama pun mulai dipersoalkan oleh beberapa peserta, khususnya dalam konteks agama Islam (di antara peserta banyak yang menggunakan jilbab, menandakan bahwa mereka sendiri Muslim). Apakah masturbasi itu terlarang dalam Islam, dan bagaimana larangan itu mesti disikapi? Beberapa peserta dengan cukup lantang memprotes norma agama berkaitan dengan masturbasi. Mendengarkan protes lantang itu, aku makin lama makin kurang nyaman, sehingga akhirnya merasa perlu berintervensi. Kutekankan betapa apa pun pendapat pribadi masing-masing, pilihan untuk tunduk pada norma agama perlu dihormati. Kata siapa bahwa perempuan yang bebas melakukan masturbasi adalah manusia lebih “maju” daripada perempuan yang menahan diri dalam hal itu atas dasar keyakinan bahwa masturbasi itu dosa?

            Aku mengingat adegan itu antara lain disebabkan oleh keganjilannya. Di saat perempuan-perempuan berjilbab itu mengungkapkan gugatan terhadap norma agama mereka sendiri, mengapa aku yang bukan Muslim (bahkan tidak memiliki agama saat itu) justru merasa perlu membela pilihan hidup yang diambil atas dasar ketaatan beragama? Yang mendasari tindakanku tersebut terutama satu hal: aku merasa sangat tidak nyaman dengan situasi dimana di antara perempuan yang beragam dengan pilihan hidup masing-masing, ada yang dianggap “lebih benar”, dalam arti lebih bebas, maju, dan teremansipasi, dan ada yang dicap “salah”, dalam arti tertindas dan kolot. Siapa yang berhak membuat penilaian seperti itu, atas dasar apa? Lebih jauh lagi, aku merasakan betapa penilaian seperti itu seringkali dibuat seakan-akan atas namaku, yaitu dengan merujuk pada nilai-nilai budayaku (yang konon lebih maju dan teremansipasi). Meskipun tidak mampu kuekspresikan seeksplitit ini pada momen tersebut, tampaknya ketidaknyamanan akan posisi yang diberikan padaku itulah yang menggerakkanku untuk berintervensi pada saat itu. Sebagai wakil lembaga yang mengadakan workshop itu, aku merasa bertanggung jawab akan pesan yang tersampaikan. Rasanya tidak rela kalau sebagian peserta workshop pulang dengan membawa kesimpulan bahwa nilai yang mereka yakini selama ini ternyata bersifat kolot dan seksis, atau bahwa diri mereka tertindas dan tidak maju. Dan  terutama sekali, kalau pesan seperti itu tersampaikan oleh lembaga yang dikelola oleh seorang perempuan Barat (yaitu diriku), bukankah akan kelewat sejalan dengan wacana dominan yang memang memposisikan perempuan Barat di atas perempuan “Dunia Ketiga”? Aku sangat tidak ingin mengambil bagian dalam wacana semacam itu.

            Masih ada adegan lain yang kuingat dari workshop yang sama. Adegan tersebut tidak membawa keresahan serupa, justru sebaliknya, terasa wajar-wajar saja. Dalam diskusi yang sama dengan perempuan Jepang yang berbicara tentang sexshopnya, sambil lalu pembicara tersebut menyebut tampon sebagai salah satu produk yang dijual di tokonya. Spontan di saat itu aku menginterupsi pembahasannya dan meminta waktu sebentar, sekaligus meminjam tampon yang dibawanya sebagai contoh. Aku mengangkat tampon itu sambil memberi penjelasan singkat tentang kegunaannya, yaitu bahwa fungsi tampon serupa dengan pembalut, tapi tampon dikenakan dengan cara memasukkannya ke dalam vagina. Setelah itu dengan suara rendah aku menjelaskan pada pembicara bahwa di Indonesia tampon jarang digunakan, sehingga kemungkinan besar sebagian peserta belum tahu tampon itu apa. Pembicara mengucapkan terima kasih, sebab tanpa intervensiku itu, dia tidak akan menyadari hal itu. Dia berasumsi bahwa perempuan Indonesia terbiasa memakai tampon, sama seperti perempuan Jepang.

            Dalam ingatanku, adegan tersebut terekam sebagai detail yang menyenangkan, sebab di situ kekhasan identitasku menjadi kelebihan yang membawa manfaat bagi orang di sekitarku. Komunikasi seputar tampon hampir gagal karena pembicara tidak tahu bahwa tampon tidak umum digunakan di Indonesia. Dengan latar belakangku yang bersifat lintas budaya, aku mengenal tampon, sekaligus juga mengenal kondisi di Indonesia. Maka dengan mudah aku bisa menfasilitasi komunikasi yang terhambat itu. Namun kali itu, hal itu terjadi tanpa kurasakan kerumitan ketimpangan relasi kekuasaan. Tampon tidak dicitrakan lebih baik atau lebih maju daripada pembalut pada momen itu. Maka aku pun nyaman-nyaman saja dalam posisiku sebagai pemberi penjelasan: Aku sekadar sedang berbagi informasi yang kebetulan kumiliki, bukan sedang memberi “penyuluhan”.

            Pada dasarnya, keresahan terkait dengan kerumitan posisiku tersebut berlanjut sampai saat ini. Rasa kurang nyaman dengan posisiku sebagai perempuan kulit putih yang tak jarang diuntungkan dalam hal tertentu, diasumsikan mewakili nilai budaya tertentu, atau bahkan diharapkan membawa pencerahan atau menjadi penolong bagi perempuan non-Barat, cukup mempengaruhi pilihan-pilihan hidupku, baik di ranah pribadi maupun akademis. Khususnya berkaitan dengan kiprahku di dunia penulisan, hal itu sempat semakin kusadari dan kuekspresikan dengan lebih eksplisit dalam kasus perdebatan seputar Ayu Utami dan karyanya (lihat terutama eseiku “Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas” dalam bukuku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, 2013). Kritikku terhadap karya Ayu, terutama representasi seksualitas dalam karyanya, berawal dari kegelisahan yang kira-kira sehaluan dengan yang kudeskripsikan dalam adegan pertama di workshop di atas, namun lebih kukembangkan. Kemudian berdasarkan reaksi orang terhadap tulisanku, baik di Indonesia maupun di Jerman, aku makin sadar betapa “aneh”nya pemosisian diriku di mata sebagian orang. Sebagai perempuan Barat, aku diharapkan mendukung usaha Ayu Utami untuk “membebaskan” perempuan dari tabu dan larangan berkaitan dengan seksualitas, bukan malah mengkritiknya. Namun di sisi lain, cukup banyak reaksi positif yang sampai kepadaku, terutama dari teman-teman perempuan Indonesia. Mereka senang dengan kritikku, dan merasa keresahannya terwakili.

            Jadi di satu sisi aku menolak relasi kekuasaan yang seakan-akan mengarahkanku untuk menggurui perempuan lain, atau berbicara atas nama mereka. Namun di sisi lain, ternyata suaraku kadang-kadang mampu menjadi wakil keresahan perempuan lain, dalam arti memberi bentuk pada sesuatu yang tadinya sulit diekspresikan mereka. Aku rasa, hal itu pun sebetulnya terkait dengan keistimewaan posisiku, antara lain aksesku terhadap tulisan-tulisan teori (terutama feminisme pascakolonial), pendidikan yang kuperoleh dengan relatif lebih mudah (sebagai perempuan Eropa kelas menengah), dan keakrabanku dengan lebih dari satu budaya. Dengan kata lain, posisiku yang agak istimewa ini memiliki dua potensi yang berlawanan: pertama, potensi menjadi “wakil budaya Barat” yang bersikap menggurui yang merasa dirinya lebih maju; kedua, potensi untuk memudahkan akses terhadap wacana kritis bagi orang/perempuan lain (terutama non-Barat).

            Di tengah keseharianku, misalnya saat mengajar atau saat menulis, aku kerapkali terombang-ambing antara kedua posisi itu. Apakah aku sedang menyediakan akses terhadap wacana yang dibutuhkan (misalnya oleh mahasiswaku), atau aku sedang bersikap sebagai orang Barat yang memaksakan perspektifnya sendiri dan sok lebih memahami segala sesuatu? Kedua hal itu tidak selalu mudah dibedakan satu sama lain.

            Sepuluh tahun telah berlalu sejak workshop yang kuceritakan di atas. Dalam waktu yang cukup lama tersebut, kerumitan posisiku menjadi semakin nyata bagiku, dan aku semakin menemukan medium dan perspektif yang tepat untuk mengungkapkannya. Justru perspektif tersebut, yaitu terutama feminisme pascakolonial, sekaligus merupakan modal yang bisa kutawarkan pada orang di sekitarku. Meskipun demikian, sampai saat ini aku tetap berjuang untuk secara lebih spesifik memahami posisiku sendiri, dan menempatkan diri di tengah lingkunganku. Hal itu terjadi lebih-lebih karena sejak kira-kira 4 tahun lalu, posisiku diperumit sekali lagi setelah aku menjadi Muslim. Sejauh mana itu mengubah posisiku di tengah relasi kekuasaan global? Dan apa implikasinya dalam keseharianku? Pertanyaan itu, bersama sekian pertanyaan lain seputar posisi diriku yang kompleks dan unik, menjadi tantangan (dalam arti positif) dan penggerak dalam pekerjaan dan pencarian akademisku.