cahaya

cahaya

Sabtu, 01 Februari 2020

Seri Pengalaman Mualaf #1

(Menjadi mualaf bule di tengah masyarakat bermayoritas Muslim di Indonesia ini, sering membawa pengalaman lucu. Berikut edisi pertama seri pengalaman unik, sekadar untuk hiburan.)


Juli 2013, bulan puasa. Malam itu saya sholat tarawih di sebuah mushola tidak jauh dari rumah saya, bersama beberapa tetangga. Seorang perempuan, ibu muda yang kelihatannya belum lama tinggal di kampung itu (dan belum mengenal saya), duduk di sebelah saya. Tampaknya pada mulanya dia tidak memperhatikan siapa yang ada di sampingnya. Namun kemudian mendadak dia sadar bahwa yang ada di sebelahnya ternyata seorang perempuan bule. Dia kaget bukan main, sebab tampaknya dia tidak begitu terbiasa melihat bule dari dekat. Tanpa malu-malu saya dipelopoti sepuasnya, juga ditanyai berbagai macam hal yang terkesan agak kurang ajar, sehingga membuat ibu-ibu lain menjadi tidak enak hati pada saya. Misalnya, dia menanyakan usia saya, lalu menuduh saya berbohong karena menurut persepsinya, tidak mungkin usia saya sudah setua itu. Mungkin baginya mualaf seperti saya tampak seperti anak kecil yang imut dan lucu. Dia pun bertanya, kuatkah berpuasa sampai maghrib? Lalu dia kembali menuduh saya berbohong saat saya mengaku kuat. Dengan perasaan antara geli dan jengkel, saya tidak tahu mesti berbuat apa selain sekadar bersabar akan sikapnya yang ganjil itu.

Rasa penasarannya terekspresikan bukan hanya lewat kata-kata. Dengan gemas pipi saya dicubitnya, hidung saya dipencet-pencetnya. Bahkan karena penasaran bagaimana rupa tangan seorang bule, mukena saya kemudian disingkapnya, agar tangan saya tampak dan dapat disentuhnya. Komentar saya bahwa ini toh sama-sama tangan, jarinya lima sama seperti tangannya sendiri, tampaknya sama sekali tidak berhasil meyakinkannya. Baginya, perbedaan jauh lebih menarik daripada persamaan.

Untungnya, sholat isya kemudian dimulai. Selama sholat, tentu dia “terpaksa” memandang ke depan tanpa mengusik saya. Namun begitu selesai mengucap salam, segera perhatiannya tercurah kembali pada saya. Padahal, saya masih sedang membaca wirid dan berdoa setelah sholat. Saat mulut saya masih sibuk membaca, mukanya didekatkan sedekat-dekatnya pada muka saya. Jarak antara matanya dan muka saya hanya beberapa sentimeter saja. Tak heran konsentrasi saya buyar, bacaan saya menjadi amburadul…

Beberapa hari kemudian kami bertemu sekali lagi saat tarawih di mushola yang sama. Kebetulan pada hari itu saya sudah datang lebih dulu, dan sudah duduk di antara dua orang perempuan lain, yaitu ibu-ibu tetangga kenalan saya. Namun karena sholat belum dimulai, maka hanya sajadah kami yang berderet rapi di situ. Sebagian perempuan masih sedang di luar atau sedang duduk-duduk bersantai. Saat perempuan itu tiba di mushola dan melihat saya sudah hadir, dia segera memberi isyarat agar saya pindah duduk di sebelahnya. Saya enggan karena tidak siap menghadapi sikapnya yang berlebihan itu sekali lagi. Namun dia pantang menyerah. Melihat bahwa saya tetap bertahan di tempat semula, dia kemudian nekat memaksakan kehendaknya dengan cara mengambil sajadah saya untuk dipindahkan ke sebelahnya. Karena tidak berniat pindah, saya mempertahankan sajadah itu. Maka terjadilah adegan tarik-menarik sajadah yang cukup seru dan tentu saja agak konyol...