cahaya

cahaya

Selasa, 07 Mei 2019

Doing masculinity - tapi yang mana?

Seorang laki-laki meraih ponselnya, menelpon seseorang. Di tempat lain, ponsel seorang laki-laki lain berdering, dan dia mengangkatnya. Laki-laki yang ditelpon tersebut tersenyum, lalu terjadi pembicaraan. Sebuah janji untuk bertemu, tampaknya. Kedua laki-laki itu berjalan ke lemari pakaian masing-masing, memilih baju. Penampilan mereka rapi dan terawat – sepertinya mereka berasal dari kelas menengah. Kemudian masing-masing berangkat dengan naik sepeda motor sport yang lumayan besar. Di tengah jalan, mereka bergabung. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan bermain golf, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Salah satu dari mereka sempat jatuh, dan segera ditolong dengan sikap penuh kecemasan oleh temannya. Selanjutnya, mereka mampir di sebuah masjid untuk sholat. Hari mulai gelap. Mereka memasuki sebuah pusat perbelanjaan, atau mungkin semacam pasar kerajinan. Di situ mereka duduk sambil berbincang, masing-masing dengan segelas jus di hadapannya. Saat mereka bangkit, yang satu merangkul bahu yang lain dengan akrab, sambil berjalan. Mereka kemudian berpisah, masing-masing berbelanja. Ternyata yang dibeli adalah kado. Di depan pusat perbelanjaan itu, mereka berjumpa kembali, untuk saling menyerahkan kado yang baru saja mereka beli, berbungkus kertas kado berkilauan berwarna emas dan perak. Tanpa membuka kado tersebut, mereka berangkat kembali dengan menaiki sepeda motor masing-masing. Masing-masing kemudian berhenti di tempat yang terpisah di pinggir jalan, untuk membuka kado yang mereka terima. Kedua kado itu berisi barang kerajinan sebagai wadah Al Qur’an. Dan kedua laki-laki itu ternyata menambah tulisan tangan yang sama pada barang kerajinan itu, yaitu sebuah ayat Al Qur’an tentang persaudaraan antar orang mu’min (QS 49:10).
Apa yang saya deskripsikan di atas adalah alur sebuah videoclip nasyid berjudul “Tawam Hanaya”, karya Abdul Karim Mubarak dan Abdur Rahman Al-Qaryouti asal Amman, Yordania. Setting videoclip itu pun di Yordania. Saya menemukan video tersebut secara kebetulan di youtube beberapa tahun lalu. Sebetulnya saat itu saya tidak sedang mencari bahan untuk mengajar atau untuk tulisan akademis. Tapi karena keunikan video “Tawam Hanaya” ini, saya kemudian beberapa kali memakainya dalam kelas atau seminar yang berkaitan dengan Kajian Gender. Apa alasannya?
Salah satu hal yang mungkin paling sering kita bahas dalam Kajian Gender adalah bahwa gender merupakan konstruk sosial. Namun meskipun tampak sederhana, hal itu tidak mudah dipahami. Penyebabnya adalah bahwa yang spontan kita rasakan kerapkali bersifat sebaliknya. Kita cenderung merasa menjadi laki-laki atau perempuan, alias memerankan maskulinitas atau femininitas, secara alami dan apa adanya saja. Gender kita seakan-akan sudah terberi, dan terperankan dengan sendirinya berdasarkan apa yang sudah ada dalam diri kita.
Karena gender itu merupakan konstruk sosial, maka ia bersifat tidak statis dan tidak tunggal. Apa artinya menjadi perempuan atau menjadi laki-laki dapat berubah dari masa ke masa, dan tidak sama di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya, kalangan masyarakat yang satu dengan kalangan lainnya. Maka, salah satu cara yang relatif mudah dilakukan untuk mulai lebih bisa memahami (dalam arti: merasakan, menghayati) betapa gender merupakan konstruk sosial, adalah dengan mengamati budaya di tempat lain, kalangan lain, atau di masa lampau. Adakah yang terasa ganjil atau asing? Mungkin muncul pertanyaan spontan di benak kita, “laki-laki kok seperti itu, ya?” atau “perempuan mengapa bisa seperti ini, berbeda sekali dengan yang saya kenal?” Mungkin bahkan kita mengalami rasa jijik, risih, atau geli. Perasaan itulah yang dapat menjadi pengantara sebuah pemahaman baru. Seandainya ada semacam esensi femininitas atau maskulinitas yang dengan sendirinya terpancar keluar dari dalam setiap perempuan atau laki-laki, bukankah seharusnya tidak ada perbedaan? Maka dari situlah, kita mulai bisa menghayati betapa gender orang lain dan gender diri kita sendiri merupakan hasil konstruksi sosial, dan betapa konstruk tersebut berkaitan secara sangat spesifik dengan tempat tinggal kita, masa hidup kita, etnisitas kita, agama kita, kelas sosial kita, dan dengan berbagai faktor lainnya.
Saya sendiri geli dan agak bingung ketika pertama kali menonton video yang saya deskripsikan di atas. Lewat pencarian di google, saya mencoba memastikan: apakah yang dimaksudkan dalam video tersebut murni persahabatan, ataukah sebuah relasi homoseksual? Yang menambah kebingungan saya ada lirik lagunya, yang hanya bisa saya ikuti lewat subtitlenya yang berbahasa Inggris. Lirik itu begitu mesra dan berbunga-bunga, sungguh terasa tidak lazim (bagi saya) sebagai sebuah ekspresi persahabatan antara laki-laki. Di momen ketika salah satu dari kedua laki-laki itu jatuh, misalnya, lirik yang dinyanyikan adalah seperti berikut:
“If you would vanish for even one second, my eyes…
would not (be able) to see the world, come back to me…
You are the delight of my eyes, my joy and my sorrow.”
Duh, betapa romantisnya, seakan-akan rayuan antara dua orang kekasih! Namun sebagai hasil penelusuran saya, saya tidak menemukan indikasi apa pun bahwa ada unsur homoseksualitas dalam lagu nasyid yang unik ini. Komentar-komentar di youtube memuji lagu itu dari segi pesan religiusnya dan sebagai perayaan nilai persahabatan dan persaudaraan. Bahkan, ada beberapa komentar yang seakan-akan eksplisit menjawab respon spontan saya. Whoever says this is GAY are influenced by the West,” demikian bunyi salah satu komentar singkat tersebut. Di samping itu, terdapat lagu lain dari seniman yang sama, yang menggunakan bahasa berbunga-bunga yang serupa, namun kali ini untuk menggambarkan kecintaan terhadap Al Qur’an.
Saya dan mahasiswa saya umumnya berbeda latar belakang budaya, yaitu saya orang Jerman dan mayoritas mahasiswa saya orang Indonesia. Meskipun begitu, sejauh yang bisa saya nilai dari diskusi di kelas, bagi mereka pun video “Tawam Hanaya” terkesan ganjil. Misalnya, salah satu mahasiswi mengungkapkan bahwa baginya yang terkesan paling menggelikan adalah adegan ketika kedua laki-laki itu saling menyerahkan kado. Memang, kelas ramai dengan tawa tertahan di saat adegan tersebut diputar. Tampaknya, baik bagi mahasiswa, maupun bagi saya sendiri, prilaku semacam itu terkesan sangat tidak wajar antara dua orang sahabat laki-laki.
Jadi kesimpulan apa yang bisa kita tarik? Tepatkah kalau berdasarkan rasa asing yang kita alami saat menonton video “Tawam Hanaya”, kita kemudian menyimpulkan bahwa ternyata ada berbagai versi maskulinitas, di antaranya maskulinitas Yordania, maskulinitas Indonesia, dan maskulinitas Jerman, yang berbeda satu sama lain, dan eksis secara terpisah?
Saya rasa tidak sesederhana itu. Manusia hidup dalam keterhubungan satu sama lain, bukan dalam keterpisahan, alias terisolasi. Di Indonesia, misalnya, kita terekspos pada berbagai jenis produk budaya dari semua belahan dunia: Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Cina, Korea, Jepang, … Dalam hal itu, media massa memainkan peran vital. Dengan demikian, rujukan kita dalam proses doing gender tidak tunggal. Dengan mudah, misalnya, kita dapat membayangkan seorang laki-laki Indonesia yang dalam proses doing masculinitynya terpengaruh oleh kebiasaan di tempat asalnya, nilai etnis kedua orang tuanya (yang bisa saja berbeda satu sama lain), pendidikan sekolahnya, pendidikan agamanya (hidup di pesantren selama beberapa tahun, misalnya, atau menjalani pendidikan seminari), ditambah dengan pengaruh film Hollywood, artis Korea, sinetron religi, cerita-cerita wayang, iklan rokok, di samping sekian pengaruh lain yang hampir mustahil disebut satu per satu. Sekian nilai, sosok, dan imaji yang dapat menjadi rujukan, sama sekali belum tentu membentuk sebuah kesatuan yang utuh. Maskulinitas-maskulinitas itu sangat mungkin bertentangan satu sama lain. Begitu pun dalam diri setiap laki-laki, konstruksi maskulinitas kerapkali penuh kontradiksi.
Kalau gender ternyata sekompleks itu, bagaimana cara kita dapat mendekatinya? Menurut R.W. Connell (yang sekarang menggunakan nama Raewyn Connell), ahli kajian gender yang banyak menulis tentang maskulinitas, di antara sekian jenis maskulinitas, selalu ada yang bisa disebut dominan atau hegemonik. Maka salah satu pendekatan yang bisa kita lakukan adalah dengan bertanya, maskulinitas (atau femininitas) semacam apa yang menghegemoni dalam konteks tertentu? Lalu maskulinitas-maskulinitas lain (atau femininitas-femininitas lain) semacam apa yang terdesak ke pinggir, tapi tetap eksis, dan tetap potensial menjadi rujukan dalam doing gender? Potensi positif atau negatif apa yang terkandung dalam proses kompleks yang penuh kontradisi itu?
Kembali kepada video “Tawam Hanaya”. Apakah kita dapat mengasumsikan bahwa video “Tawam Hanaya” mewakili maskulinitas Yordania, atau mungkin maskulinitas Timur Tengah? Kita harus berhati-hati di sini. Sebuah produk budaya, misalnya teks media atau kesenian, tidak begitu saja bisa dianggap mengekspresikan nilai masyarakat secara keseluruhan. Saya belum pernah melakukan studi khusus tentang Yordania, sehingga saya tidak berani memberikan pernyataan apa pun mengenai permasalahan gender di negara tersebut. Namun yang berani saya simpulkan dari kehadiran nasyid “Tawam Hanaya” dan respon terhadapnya di internet adalah bahwa maskulinitas yang disajikan dalam videoclip tersebut dirasakan sebagai wajar, mainstream, dan positif oleh cukup banyak penontonnya. Kalau video yang sama terasa janggal bagi diri kita, maka itu adalah pengalaman menarik. Pluralitas dan kompleksitas gender menemukan bukti nyata dalam momen seperti itu. Maka justru momen-momen semacam itu yang kerapkali menyimpan potensi renungan-renungan menarik, sambil lebih mengenali cara kita doing gender dalam keseharian masing-masing.

Daftar Rujukan
R.W. Connell, Masculinities, edisi ke-2, University of California Press: Berkeley & Los Angeles, 2005

Catatan
Saya tidak dapat memastikan apakah “Tawam Hanaya” merupakan transkripsi yang tepat dari judul lagu yang berbahasa Arab tersebut. Saya juga menemukan versi “Tawan Hanaya” dan “Tanwan Hanaya”. Apa arti judul lagu itu pun saya belum tahu, mungkin yang mahir bahasa Arab bisa membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar