Judul
novel Kedung Darma Romansha yang terbit tahun lalu (2017) ini mungkin
terkesan provokatif, lebih-lebih bagi orang yang akrab dengan bahasa
lokal yang digunakan: Telembuk: dangdut dan kisah cinta yang
keparat. Mengapa topik semacam
itu dipilih untuk sebuah karya sastra? Apa perlunya dunia para
pekerja seks, penyanyi dangdut, serta klien dan penggemar mereka,
digambarkan dalam sebuah
novel sepanjang 410 halaman? Dan
apa tujuannya? Apakah untuk mengajak kita mengecam prilaku
amoral mereka? Atau sebaliknya, untuk mendobrak nilai-nilai moral,
seperti yang dilakukan dalam beberapa karya sastra yang sempat
dihebohkan di ibu kota, seperti novel Saman
dan Larung karya Ayu
Utami, atau cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu? Saya
di sini akan berargumentasi bahwa kedua-duanya bukan tujuan novel
Telembuk. Novel
Telembuk menawarkan
sesuatu yang berbeda, yang justru menjadi alternatif menarik di
tengah kecenderungan-kecenderungan
dominan dalam sastra Indonesia kontemporer berkaitan dengan
representasi seksualitas.
Dua
trend yang
saling berhadapan: fiksi “pembebasan seksual” dan fiksi dakwah
Seksualitas
dan agama (Islam) merupakan dua “trending topics”
utama di dunia fiksi
Indonesia dalam beberapa dekade ini, khususnya sejak masa reformasi.
Yang saya maksudkan dengan istilah “trending topics”
bukanlah bahwa jumlah karya dengan kedua topik tersebut sangat
dominan. Saya tidak melakukan
evaluasi secara keseluruhan terhadap karya yang terbit
di era yang dimaksudkan, juga belum pernah menemukan data statistik
berkaitan dengan persoalan
tersebut. Dengan istilah
“trending topics”
saya merujuk pada wacana dominan: kedua topik itu hangat dibicarakan,
diperdebatkan, juga dirayakan. Karya
dengan topik lain terbit dalam jumlah yang tidak kecil, namun tidak
disambut dengan pembahasan yang seantusias itu, sehingga cenderung
tidak memasuki wacana publik di luar kalangan sastrawan dan pemerhati
sastra secara khusus.
Kedua
trend tersebut cenderung saling berhadapan, dalam arti bahwa
kedua-duanya bersifat sangat moralis, namun
pesan moral yang disampaikan bertentangan satu sama lain. Fiksi
dengan pesan “pembebasan seksual” mulai bermunculan pada akhir
tahun 90an, dengan novel Saman karya
Ayu Utami sebagai momen awal. Saya
telah menganalisis
trend tersebut secara kritis dari
berbagai perspektif dalam beberapa tahun belakangan ini.
Analisis tersebut tidak perlu saya paparkan ulang
di sini. Secara singkat dapat
diutarakan bahwa karya-karya tersebut merepresentasikan
norma seksual yang dianut
oleh mayoritas masyarakat
Indonesia sebagai kelewat tertutup dan kolot, dan membawa pesan yang
mengarah pada pendobrakan terhadap berbagai macam tabu seksual. Gaya
hidup yang “lebih bebas” tersebut direpresentasikan sebagai lebih
maju dan membahagiakan.
Kalau
pesan moral mengenai “pembebasan seksual” tersebut umumnya
tersampaikan secara implisit sehingga mayoritas pembaca tidak
mempersepsi karya-karya tersebut sebagai moralis, kasusnya sangat
berbeda dengan trend kedua, yaitu trend fiksi islami. Karya-karya
yang tergolong fiksi islami ini secara eksplisit diposisikan sebagai
alat dakwah, dan dengan demikian pesan moral dikemukakan
secara
terbuka. Pesan yang dibawa
tersebut seringkali bertentangan secara langsung dengan karya
“pembebasan
seksual” (dan mungkin memang dimaksudkan antara lain sebagai respon
terhadap jenis karya tersebut). Gaya
hidup yang dianjurkan lewat fiksi islami
adalah gaya hidup yang
didasarkan pada tuntunan agama, termasuk dalam hal norma seksual.
Dalam
kaitan dengan gaya hidup tersebut, saya menilai bahwa fiksi populer
yang berlabel “islami” semacam itu dapat dipahami sebagai bagian
dari politik identitas Islam yang menguat sejak berakhirnya Orde
Baru. Politik identitas tersebut ditandai
oleh membludaknya berbagai
produk khusus yang dapat dikonsumsi dalam rangka mengekspresikan
identitas Islam. Buku populer menjadi bagian dari kecenderungan
tersebut, dengan fiksi islami sebagai salah satu genrenya. Dalam
konteks itu, fiksi islami menjadi produk yang konsumsinya berstatus
sebagai bagian dari politik Islam (orang mengekspresikan keislamannya
dengan cara membeli dan membaca buku semacam itu), dan sekaligus,
lewat isinya dan cover bukunya,
menjadi afirmasi terhadap berbagai bentuk gaya hidup “islami”
yang lain, misalnya lewat plot yang menekankan pentingnya ekspresi
keislaman yang bersifat
publik, seperti busana,
sholat berjamaah, dan sebagainya.
Menurut
hemat saya, apa yang dapat ditawarkan lewat politik identitas semacam
itu cenderung sangat terbatas, dan agak bermasalah. Umumnya fiksi
islami mengandung pesan-pesan moral yang sangat kuat dan relatif
disederhanakan. Dengan
demikian, penggambaran menjadi hitam-putih, dan kompleksitas
kehidupan manusia tidak terepresentasikan secara utuh.
Mencari
alternatif, meninggalkan
moralisme
Kecenderungan-kecenderungan yang secara singkat saya bahas di atas,
terutama sekali trend wacana “pembebasan seksual”, sudah cukup
sering saya kritik dari berbagai perspektif. Pada saat ini, yang
ingin saya lakukan bukanlah melanjutkan pembahasan kritis tersebut.
Sebaliknya, saya memilih untuk mencari karya yang membawa perspektif
berbeda daripada yang umumnya kita temukan dalam novel atau cerpen
jenis mainstream, baik jenis “pembebasan seksual”, maupun
fiksi islami. Di antara karya yang saya anggap potensial dan relevan
dipandang sebagai alternatif, Telembuk karya
Kedung Darma Romansha merupakan salah satu yang paling menarik. Novel
ini membawa kita ke dunia pedesaan di pulau Jawa, khususnya daerah
Indramayu. Tokoh-tokohnya mayoritas orang-orang sederhana, misalnya
buruh, petani, atau pedagang, dengan catatan bahwa sebagian bekerja
di dunia hiburan (dangdut) dan di dunia prostitusi. Kalau diposisikan
di tengah sastra Indonesia secara lebih luas, pilihan tokoh semacam
itu sangatlah menarik, khususnya terkait representasi seksualitas.
Tokoh-tokoh “pendobrak tabu seksual” dalam jenis fiksi
“pemberbasan seksual” yang saya bicarakan di atas, umumnya
digambarkan sebagai bagian dari kelas menengah yang hidup di kota
besar. Trend budaya populer islami pun cenderung lebih berpengaruh di
perkotaan, di khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah yang
mampu berpolitik identitas lewat konsumsi produk-produk berlabel
islami. Saat kita meninggalkan setting metropolitan dan kelas
menengah tersebut, representasi seksualitas (dan representasi agama)
menjadi seperti apa?
Novel Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat karya
Kedung Darma Romansha (2017) memiliki tokoh yang sangat beragam.
Tokoh utamanya, Safitri, adalah seorang penyanyi dangdut dan pekerja
seks. Kisahnya diceritakan dari sekian perspektif, dengan melibatkan
orang-orang yang mengenalnya. Kisah mereka masing-masing penuh
kompleksitas, kerapkali juga penuh misteri (dalam arti bahwa mereka
menyimpan rahasia atau menyembunyikan aib, yang tidak selalu berhasil
digali oleh sang pencerita dalam novel tersebut). Yang mana
pahlawannya, dan yang mana penjahatnya? Sulit sekali ditentukan.
Kalau kita mencari sebuah pesan moral yang mudah ditangkap dalam
novel itu, kita akan kecewa. Seksualitas terus-menerus dibicarakan,
dan kata-kata yang relatif vulgar dan eksplisit bertebaran dalam
obrolan para tokohnya. Namun konteksnya bukanlah sebuah “pembebasan”
atau pendobrakan tabu. Kevulgaran tersebut tidak terhindarkan demi
sebuah penggambaran realistis atas lingkungan pergaulan yang
dijadikan fokus dalam novel tersebut. Pembaca diajak memasuki sebuah
dunia yang meriah dan gembira, sekaligus kasar dan kejam. Kenikmatan
dan penderitaan saling berdampingan, begitu juga eksploitasi dan
kesetiakawanan.
Di tengah lingkungan itu, apalah agama masih memiliki peran? Dalam
novel Telembuk, kita tidak menemukan dikotomi yang jelas dan
sederhana antara manusia taat dan manusia yang ingkar. Meskipun norma
agama kerapkali dilanggar oleh sebagian besar tokohnya, dan bahkan
dosa-dosa yang tidak ringan seperti berzinah dan minum alkohol sangat
umum dilakukan, agama tetap berperan dalam kehidupan mereka. Agama
menjadi salah satu unsur keseharian yang dengan sendirinya selalu
hadir di lingkungan pedesaan Jawa yang menjadi tempat berlangsungnya
kisah novel ini, dan membentuk tokoh-tokohnya sejak kecil. Di samping
itu, penggambaran yang disajikan cenderung mementahkan segala usaha
kita (sebagai pembaca) untuk mengambil kesimpulan mengenai
baik-buruknya tokoh yang kita hadapi. Ibadah bisa saja hanya
berfungsi untuk pencitraan, pendakwah bisa berubah menjadi pemabuk,
dan laki-laki jahat yang mengaku sebagai biang keladi segala
penderitaan tokoh utama, mendadak menyesali diri dan bertanya-tanya
tentang Tuhan.
Pemerkosaan
sebagai topik langka dalam
sastra Indonesia
Di tengah kemunculan seksualitas sebagai trending topic seperti
yang saya bahas di atas, apakah kita menemukan perhatian khusus
terhadap masalah kekerasan seksual? Sejauh yang saya amati, topik itu
sama sekali tidak menjadi fokus perhatian, meskipun terkadang
dimunculkan dalam karya. Misalnya, salah satu cerpen karya Djenar
Maesa Ayu yang cukup mendapat perhatian adalah cerpen “Menyusu
Ayah” (kumcer Jangan Main-Main (Dengan
Kelaminmu), 2004). Cerpen tersebut berkisah tentang
seks oral antara seorang ayah dan anak perempuannya yang masih kecil,
dimana sang anak meminum sperma dari penis ayahnya selayaknya anak
menyusu pada ibunya. Bagi saya, cerpen tersebut cukup ganjil, sebab
tidak ada ketegasan sama sekali dalam penilaian terhadap peristiwa
tersebut. Bukankah prilaku seorang ayah semacam itu merupakan
kekerasan seksual yang sangat mencolok? Namun tampaknya yang menjadi
fokus utama dalam cerpen itu, sejalan dengan karya Djenar lainnya,
bukanlah unsur kejahatan dan trauma seksual, tapi unsur keterbukaan
dan pendobrakan tabu. Cerpen-cerpen Djenar merayakan kebebasan untuk
membicarakan seksualitas dalam berbagai bentuk di ranah publik (lewat
karya sastra). Status pengalaman seksual yang digambarkan – apakah
sukarela atau dipaksa, traumatis atau menyenangkan – seakan-akan
menjadi sekunder.
Keadaan yang sangat berbeda berlaku untuk karya Kedung Darma
Romansha. Salah satu jenis kekerasan seksual yang paling ekstrim,
yaitu pemerkosaan, dialami oleh tokoh utama. Dan dalam novel
Telembuk, pemerkosaan bahkan menjadi titik awal keseluruhan
kisah perjuangan dan penderitaan tokoh utamanya, Safitri. Safitri
diperkosa, dan kemudian hamil akibat pemerkosaan itu, di usia yang
masih remaja. Karena stres, trauma, dan tidak tahu apa yang mesti
diperbuatnya dalam keadaan tersebut, Safitri minggat dari rumah, lalu
akhirnya menjadi pekerja seks (telembuk, dalam bahasa lokal)
dan penyanyi dangdut.
Alur cerita novel Telembuk secara keseluruhan berkaitan erat
dengan topik pemerkosaan tersebut. Pencerita (narator), yang
merupakan teman sekampung Safitri, berkisah penuh lompatan-lompatan
antara masa kini dan masa lalu, sambil berusaha menelusuri, tepatnya
apa yang terjadi pada Safitri. Siapa yang menghamilinya? Benarkah
yang terjadi adalah pemerkosaan, ataukah kehamilan itu merupakan
hasil pergaulannya dengan Mukimin, pemuda yang menjadi kekasihnya di
saat itu? Kalau memang ada sebuah pemerkosaan, maka siapa pelakunya,
dan tepatnya bagaimana kejadiannya? Agak mirip seperti dalam sebuah
novel kriminal, pembaca diajak berkenalan dengan sekian tokoh dan
menyimak sekian informasi, yang semuanya mungkin saja relevan dalam
menjawab teka-teki seputar peristiwa pemerkosaan Safitri, tapi
mungkin juga tidak berkaitan. Hanya saja, berbeda dengan novel
kriminal yang sesungguhnya, Telembuk tidak memberi jawaban. Di
akhir novel, kita tetap tidak memperoleh kepastian mengenai duduk
perkara pemerkosaan itu. Safitri akhirnya bercerita tentang apa yang
dialaminya pada malam kejadian, yang oleh Safitri kerapkali disebut
sebagai “malam keparat”, namun disebabkan oleh traumanya, ingatan
Safitri buram dan bolong-bolong:
“Aku mencoba mengingat siapa laki-laki itu.
‘Tidak! Bukan dia orangnya. Tidak mungkin!’
Aku berusaha lari dari kejaran sesosok wajah gelap yang selama ini mengintaiku. Aku tutup wajahku rapat-rapat. Aku coba mengingat-ingat tapi tak bisa. Malam itu aku seperti dibius.
Dengan gusar aku coba memberontak. Tanganku terus bergerak-gerak dengan berat, berusaha meraih benda entah apa di kanan-kiriku. Tapi tak bisa. Dengan cepat tangan si lelaki mulai mencengkeram kedua tanganku. Napas lelaki itu bagai anjing yang lapar. Bau debu basah, keringat, parfum murahan, tahi tikus, menguar di kamar itu. Selangkanganku sakit, tubuhku ngilu, dan napasku sesak. Aku terus menangis sambil menahan sakit.” (Telembuk, hlm. 379-380).
Demikian sepotong kisah Safitri mengenai kejadian tersebut. Sekian
detail kecil mengenai keadaan di kamar tersebut terekam dalam
ingatannya, namun karena kengerian yang amat sangat, sosok atau wajah
pelakunya tidak mampu diingatnya. Dengan demikian, trauma korban
membentuk alur cerita secara sangat substansial. Karena Safitri tidak
bisa atau tidak mau mengingat pelakunya, maka teka-teki yang dibawa
sepanjang novel, pada akhirnya tidak terjawab. Di samping itu, tidak
terjawabnya teka-teki tersebut juga dapat kita kaitkan dengan
kenyataan bahwa kasus pemerkosaan tersebut sama sekali tidak
ditangani oleh yang berwenang. Tidak ada laporan ke polisi, ataupun
sidang pengadilan. Bahkan, gagasan bahwa peristiwa itu merupakan
sebuah tindakan kriminal yang seharusnya dilaporkan, sekalipun tidak
muncul. Yang tertarik untuk memikirkan dan mengusutnya hanyalah sang
pencerita, seorang penulis muda yang tidak memiliki otoritas apapun
dalam hal itu.
Pemerkosaan hadir sebagai momen yang sangat mengerikan dan traumatis
dalam novel Telembuk. Namun dalam konteks lingkungan pedesaan
dimana kisah tersebut berlangsung, kengerian tersebut hanya disimpan
sendiri oleh korban atau orang-orang terdekatnya. Selain tidak ada
penyelesaian secara hukum, juga tidak ada pengakuan terhadap
penderitaan korban di tengah masyarakatnya, atau pendampingan apa pun
untuk meringankan trauma, misalnya secara agama atau secara
medis/psikologis. Pemerkosaan seakan-akan bersifat sangat mengerikan
pada satu sisi, tapi sekaligus sangat sehari-hari pada sisi lain.
Pemerkosaan hanyalah salah satu dari sekian musibah yang biasa
menimpa perempuan-perempuan di lingkungan yang digambarkan, yang
kemudian dihadapi secara pribadi tanpa diekspos secara lebih luas dan
ditangani secara lebih serius, seperti yang mungkin akan terjadi
dalam kasus serupa di lingkungan kelas menengah perkotaan.
Meskipun
tidak semua tokoh
digambarkan sebagai Muslim taat, bahkan
sebagian besar sangat jauh dari ketaatan, bukan berarti bahwa agama
tidak memiliki peran dalam kehidupan mereka.
Dalam
menghadapi berbagai persoalan hidup, tetaplah nilai agama yang
menjadi rujukan. Demikian pun
dengan persoalan pemerkosaan. Dalam
salah satu adegan yang cukup
menarik, dikisahkan
betapa salah satu tokoh, seorang laki-laki bernama Sondak, mengakui
keterlibatannya dalam musibah yang menimpa Safitri (meskipun
tampaknya bukan dia sendiri yang melakukan pemerkosaan terhadap
Safitri). Pengakuan tersebut terjadi dalam sebuah dialog antara
dirinya dengan Abah Somad, kemit
masjid setempat yang mungkin
bisa diklasifikasi sebagai “tokoh sufi”nya novel tersebut. Sondak
menangis di hadapan Abah Somad, menyesali dosa-dosanya. Kemudian
terjadi percakapan seperti berikut antara kedua laki-laki tersebut:
“Alloh Maha Pengampun, Dak. Kalau kamu memang sungguh-sungguh bertobat.”
“Lalu bagaimana tentang orang-orang yang aku sakiti, Bah?”
“Takdir itu bukan wilayah manusia, Dak. Wilayah manusia hanya di nasib.”
“Kenapa Alloh sepengampun itu ya, Bah? Tidak masuk akal menurutku.”
Abah Somad tertawa, lalu ia berkata, “Dak…, Dak…, jangan kamu pikirkan itu. Kayak Tuhan saja.” (Telembuk, hlm. 358)
Berkat eksperimen gaya penceritaan yang dilakukan oleh Kedung Darma
Romansha dalam novelnya tersebut, adegan tersebut kemudian
tertandingi. Di beberapa bagian novel tersebut, tokoh-tokoh cerita
mendadak muncul, berhadapan langsung dengan penceritanya, dan
berdialog mengenai kisah yang sudah diceritakan. Alasan kemunculan
mereka adalah karena mereka berkeberatan terhadap unsur cerita
tertentu. Demikian pun Safitri sendiri yang lantang mengutarakan
protes berkaitan dengan adegan di atas:
“Begini, An, kenapa Sondak dosanya diampuni?! Padahal dia sangat keji perlakuannya padaku. […] Enak sekali tiba-tiba bertobat, terus diampuni. Sementara aku ke mana-mana menderita, jadi telembuk, dihina, mau dibunuh, itu semua gara-gara dia awalnya. Nah, sekarang dia seenaknya saja diampuni seluruh dosa-dosanya. Apa-apaan itu?” (Telembuk, hlm. 371)
Apa yang diutarakan dengan agak jenaka lewat eksperimen gaya tulis
ini, tentu pada dasarnya sama sekali bukan persoalan sederhana.
Masalah agama yang pelik seputar keadilan dan pengampunan dilontarkan
lewat kedua adegan tersebut. Allah Maha Adil dan Maha Pengampun
sekaligus – bagaimanakah kedua sifatNya itu dapat dipahami secara
bersamaan? Tampaknya, perspektif seorang korban pemerkosaan dengan
perspektif pelakunya (dalam arti: biang keladinya) tidak tersatukan
dalam permasalahan pelik semacam itu.
Pelanggaran norma: buat apa dibicarakan?
Masyarakat pedesaan yang digambarkan dalam novel Telembuk
bersifat cukup agamis, dalam arti bahwa kegiatan agama memainkan
peran yang tidak kecil dalam kehidupan bersama. Sebagian penduduk,
termasuk beberapa di antara tokoh yang berperan penting di novel itu,
belajar di pondok pesantren selama beberapa tahun. Namun bersamaan
dengan itu, pelanggaran norma sangat umum dan lazim dilakukan dalam
keseharian. Sebagian laki-laki digambarkan gemar berkumpul sambil
minum-minum, tidak jarang sampai mabuk. Hubungan seks di luar nikah,
juga nelembuk alias menggunakan jasa pekerja seks, pun
umum dilakukan. (Bahkan, disebutkan bahwa sebagian istri yang sedang
bekerja di luar negeri sebagai buruh migran, sengaja menyediakan
anggaran buat nelembuk
sebagai bagian dari kiriman bulanannya, dengan harapan agar dengan
demikian sang suami terpuaskan, dan tidak tergoda untuk menjalin
hubungan permanen dengan perempuan lain.)
Fokus
utama dalam novel Telembuk
adalah deskripsi
mendetail terhadap lingkungan sosial yang
digambarkannya, dengan
tujuan untuk memahaminya, bukan untuk menghakimi ataupun
merayakannya. Pelanggaran
norma digambarkan di tengah kompleksitas kondisi hidup, dimana segala
sesuatu terjadi bukan tanpa alasan, tapi juga bukan dengan penyebab
yang dapat diidentifikasi secara sangat sederhana. Di
antara faktor yang digambarkan sebagai pendorong bagi tokoh yang
secara substansial dan sengaja melanggar norma, ada kesulitan
ekonomi, masalah keluarga,
kekecewaan dalam relasi cinta, dan pengalaman traumatis. Namun
identifikasi terhadap faktor tersebut tetap direpresentasikan sebagai
hal yang sangat subjektif, yang
sulit diverifikasi ketepatannya. Misalnya, sambil lalu tokoh Aan
(selaku narator) memunculkan pertanyaan mengenai kehidupan salah satu
tokoh perempuan, Wartiah (tokoh
yang tidak memainkan peran penting dalam novel tersebut):
mengapa Wartiah menjadi telembuk?
Menurut pendapat salah
satu teman mereka yang bernama Keriting, “desakan ekonomi yang
membuatnya seperti itu” - “alasan yang klise” menurut Aan, dan
di samping itu, keluarga Wartiah tidaklah miskin. Menurut analisisnya
sendiri, Wartiah kecewa setelah menyaksikan suaminya berselingkuh,
kemudian setelah bercerai dari suami tersebut, dia akhirnya memilih
menjadi pekerja seks.
Karena ingin lebih
memahami persoalan tersebut, Aan akhirnya menemui Wartiah:
“‘Sudah kerjanya enak, dapat duit lagi,’ ujar Wartiah sambil tertawa kecil. Aku sendiri tidak tahu apakah waktu itu dia berkata jujur atau tidak. Tapi aku lihat di raut wajahnya tidak tampak ada beban.” (Telembuk, hlm. 261)
Terekspresikan
dengan jelas lewat kasus Wartiah ini betapa sulitnya menilai
kehidupan manusia. Aan dan Keriting masing-masing punya analisis
terhadap kesulitan hidupnya, sedangkan Wartiah sendiri seakan-akan
menjalani pekerjaan yang bertentangan dengan nilai agama tersebut
dengan enteng dan tanpa beban. Namun jujurkah Wartiah? Pendapat siapa
yang benar? Tidak ada kepastian mengenai hal itu.
Namun
meskipun penilaian terhadap prilaku manusia menjadi demikian sulit,
tetap saja ada pola tertentu yang terlihat, yaitu bahwa umumnya
pengalaman buruklah yang digambarkan sebagai penyebab mengapa
seseorang terjerumus ke dalam kehidupan yang menyalahi norma agama.
Hal itu terlihat dengan paling jelas dalam kasus tokoh utamanya
sendiri, Safitri, yang menjadi telembuk disebabkan pemerkosaan
yang dialaminya. Dan meskipun pengalamannya
setraumatis itu,
di tengah pekerjaannya sebagai penyanyi dangdut dan pekerja seks,
Safitri
terus-menerus
merindukan kemunculan laki-laki yang dapat dipercaya dan diajak
membangun sebuah
rumah tangga baik-baik. Artinya,
apa yang diimpikan oleh tokoh perempuan tetaplah kehidupan yang
sesuai dengan norma – mirisnya, dia terus menerus ditipu
dan
dibohongi, dan impiannya tidak pernah terwujud.
Penggambaran
pengalaman perempuan tersebut, yaitu
representasi
penderitaan perempuan yang disebabkan oleh prilaku laki-laki yang
melanggar moralitas agama, menghadirkan aspek fungsi agama sebagai
pengekang hasrat yang sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan
perempuan. Aspek tersebut cenderung
diabaikan dalam karya mainstream,
terutama sekali dalam fiksi bercorak “pembebasan seksual”. Fiksi
mainstream
tersebut
menggambarkan pelanggaran norma sebagai pembebasan, baik
bagi tokoh perempuan maupun laki-laki. Realitas masyarakat dimana
perempuan dilukai dan dirugikan lewat pelanggaran nilai yang
dilakukan oleh laki-laki, seakan-akan boleh dilupakan begitu saja.
Padahal, bukankah justru pengalaman buruk semacam itu menjadi masalah
yang jauh lebih mendasar dan mendesak bagi mayoritas perempuan
Indonesia, daripada sebuah “pembebasan seksual”?
Pada saat yang sama, bagi saya novel Telembuk menawarkan
perspektif yang jauh lebih menarik daripada apa yang umumnya
ditawarkan novel-novel populer islami. Seandainya pun sebuah novel
dengan tujuan dakwah mengangkat tokoh pekerja seks dan penyanyi
dangdut, pastilah tokoh tersebut harus dibuat “taubat” dalam arti
mengubah gaya hidup secara mencolok sehingga mendadak menjadi
“perempuan baik-baik”. Telembuk berhasil membuat kita
simpati pada tokoh utamanya, tanpa adanya “pertaubatan” semacam
itu. Di samping itu, kita diajak untuk secara lebih realistis
mengenal kehidupan sang tokoh: Safitri bukan tidak mau menjadi istri
baik-baik, namun sekian kali dia dikecewakan saat berusaha meraih
kehidupan yang lebih baik dan sesuai norma.
Lalu
bagaimana dengan para laki-laki, yang kelakuannya juga digambarkan
dengan berbagai detail dalam novel Telembuk ini? Mengapa
begitu banyak laki-laki yang sibuk mabuk-mabukan, lepas kontrol
sambil menonton dangdut, nelembuk, berkelahi tanpa alasan yang
jelas, atau bahkan menjadi pemerkosa? Ada apa yang salah dengan
kehidupan mereka, sehingga prilaku mereka menjadi cenderung
destruktif seperti itu?
Karena
novel Telembuk lebih berfokus pada usaha memahami tokoh
perempuannya, terutama Safitri, pertanyaan mengenai prilaku para
laki-laki tersebut dibiarkan tetap terbuka. Sebagai pembaca, saya
tidak merasa diajak memahami mereka dengan cara yang sama seperti
saya diajak untuk memahami Safitri. Mungkin Kedung sebagai penulis
pun belum memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai
konstruksi maskulinitas yang kasar dan agresif semacam itu. Siapa
tahu topik tersebut bisa diperdalam dalam karya-karya lain di masa
depan.
Sebuah
jawaban tentatif mungkin bisa kita peroleh dengan cara
sekali lagi mengutip ungkapan Abah Somad, saat menasehati Sondak
dalam adegan yang sudah disebut di atas:
“Abah hanya kemit masjid. Tugasku itu hanya membersihkan masjid, mengurusnya sampai mati. Setiap kali membersihkan masjid, abah merasa sedang membersihkan diri sendiri.” (Telembuk, hlm. 356)
“Abah melakukan pekerjaan abah dengan sebaik mungkin. Kamu juga mesti begitu. Nah, kebetulan abah menjadi kemit masjid, maka abah harus menjadi kemit masjid yang terbaik. Karena pekerjaan kemit masjid itu kelebihan abah” (Telembuk, hlm. 357)
Sebuah
konsep menarik mengenai pekerjaan manusia diekspresikan di sini,
dimana pekerjaan dilakukan bukan demi uang atau status, tapi untuk
memberi makna pada kehidupannya dan demi pembersihan diri. Tentu
bukan itulah yang umumnya dijalani orang di tengah sekian desakan
ekonomi dan godaan konsumi dalam masyarakat kontemporer. Di sebuah
daerah dengan akses pendidikan terbatas, dimana demi pemenuhan
kebutuhan dan hasrat ekonomi sebagian perempuan berangkat menjadi
buruh migran, atau bahkan memilih menjadi telembuk,
mungkin para laki-laki pun semakin kehilangan arah dan makna dalam
kehidupan.
Kesimpulan:
Telembuk sebagai novel
dakwah
Bagi
saya, dengan judul yang mungkin terkesan cabul pada pandangan
pertama, novel Telembuk yang
mengajak kita memahami manusia tanpa menghakiminya, sambil
menyisipkan pesan-pesan spiritual yang sederhana tapi dalam, pada
dasarnya merupakan novel dakwah yang kuat dan menyentuh, dengan model
dakwah yang mengutamakan respek,
pemahaman, dan kasih sayang.
Daftar
Pustaka
Bandel,
Katrin, Sastra Perempuan Seks,
Jalasutra: Yogyakarta, 2006
-
Sastra Nasionalisme
Pascakolonialitas,
Pustaha Hariara: Yogyakarta, 2013-
Kajian Gender dalam Konteks
Pascakolonial,
Sanata Dharma University Press: Yogyakarta, 2016
Kedung Darma
Romansha, Telembuk: Dangdut dan Kisah
Cinta yang Keparat, Indie
Book Corner: Yogyakarta, 2017
Catatan Kaki