Tulisan ini sekadar berupa
rangkuman buku Suman Gupta berjudul Social
Constructionist Identity Politics and Literary Studies (Palgrave
Macmillan, 2007), yang saya buat untuk keperluan matakuliah “Sastra
dan Politik Identitas”, dan saya tempatkan di blog ini demi
memudahkan aksesnya untuk mahasiswa saya. Rangkuman ini belum
mendalam, dan belum dilengkapi refleksi kritis apa pun.
Penulis
buku ini, Suman Gupta, adalah pengajar di Open University,
Inggris. Bidangnya sastra dan kajian budaya. Dalam bukunya ini, Gupta
membahas gejala menguatnya politik identitas, dan
institusionalisasinya di dunia akademis, dengan contoh Kajian Sastra
di Amerika Serikat dan Inggris. Gupta menyampaikan kritik yang cukup
tajam terhadap perkembangan yang diamatinya.
Buku
ini terdiri dari dua bagian: yang pertama membahas fenomena politik
identitas secara umum, dan yang kedua meneliti wujudnya di bidang
Kajian Sastra.
1
Introduction: Prelude to Definitive Elaborations
Seperti
yang diindikasikan oleh judulnya, politik identitas yang dibahas
Gupta adalah politik identitas yang bersifat konstruksionis sosial.
Pada masa kini, dalam ilmu sosial dan humaniora umumnya identitas
dipahami bukan sebagai sesuatu yang terberi, tapi sebagai konstuk
sosial. Atau dengan kata lain, konsep identitasnya anti-esensialis.
Gupta sendiri pun menganut paham yang sama. Kritik yang diajukannya
berangkat dari dalam konstruktivisme sosial sendiri: menurut Gupta,
ada beberapa kecenderungan yang kurang baik dalam pengembangan
gagasan seputar identitas. Gagasan-gagasan tersebut mendasari
praktek-praktek politik identitas dengan corak tertentu, yang makin
lama makin dominan di dunia akademis (dan di luarnya, tapi hal itu
tidak banyak dibahasnya).
Untuk
memperjelas analisisnya, Gupta membedakan antara “posisi politis
berbasis identitas” (identity-based political position) dan
“politik identitas” (identity politics). Posisi politis
berbasis identitas adalah posisi politis yang diambil seseorang
berdasarkan identitasnya, misalnya sebagai perempuan, sebagai gay,
sebagai orang kulit hitam, sebagai Muslim, dan sebagainya. Logika
yang umumnya digunakan di sini adalah logika embodiment: yang
boleh menduduki posisi politis berbasis identitas tertentu adalah
orang yang bisa mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok
masyarakat yang bersangkutan, sehingga suaranya dapat diterima
sebagai “otentis” (msl., yang mengambil posisi politis sebagai
perempuan harus bisa mengidentifikasikan diri sebagai perempuan,
bukan sebagai laki-laki). Berbagai posisi politis berbasis identitas
kemudian dikaitkan satu sama lain, dengan cara menggunakan bahasa
teoritis yang sama untuk membahas berbagai jenis identitas. Misalnya,
kaum lesbian dan kaum African-American sama-sama memposisikan
diri sebagai minoritas yang perlu memperjuangkan haknya di Amerika
Serikat, sehingga dibutuhkan kerjasama, tapi tanpa mempertanyakan
logika embodiment untuk masing-masing posisi (artinya, lesbian
tidak berhak mencampuri urusan kaum African-American dan
sebaliknya). Penyetaraan dan kebersamaan itulah yang oleh Gupta
dipahami sebagai politik identitas.
Pilihan
untuk membedakan antara posisi politis berbasis identitas dengan
politik identitas ini tidak umum dilakukan. Dalam tulisan-tulisan
lain, apa yang oleh Gupta disebut sebagai posisi politis berbasis
identitas pun kerapkali dirujuk dengan istilah “politik identitas”.
Part
I: Social Constructionist Identity Politics
2
Identity-Based Political Positions
Di
bab ini, Gupta sekilas mereview konsep identitas dari perspektif
filsafat dan sosiologi. Berbeda daripada, misalnya, “kepribadian”,
kata “identitas” mendeskipsikan individu dengan merujuk pada
kelompok masyarakat tertentu. Dengan mengidentifikasi diri sebagai
perempuan, misalnya, diasumsikan bahwa seseorang punya kesamaan
dengan perempuan lain, dan berbeda daripada laki-laki. Kata
“identitas” dipakai baik untuk kelompok maupun individu, namun
identitas kelompok mendahului identitas individu. Maka identitas
individu terbentuk (sebagai konstruk sosial) bukan secara bebas, tapi
terjadi over-determination (hlm. 13). (Contoh: Saat seseorang
lahir dan diidentifikasi sebagai perempuan, lalu dibesarkan sebagai
perempuan, kelompok perempuan sudah ada lebih dulu, dan sudah ada
pemahaman bersama tentang apa itu identitas perempuan. Pemahaman itu
mempengaruhi pembentukan identitas anak perempuan tersebut.)
Lalu
ketika basis identitas dijadikan sebuah posisi politis, cirinya
seperti apa? Umumnya, kaum yang mengambil posisi politis seperti itu
merepresentasikan diri sebagai terancam atau termarjinalisasi.
Identitas dipersoalkan karena dianggap perlu dibela. Gerakan
perempuan, gerakan LGBT, dan sebagainya, berangkat dari kesadaran
bahwa kepentingan mereka kurang terakomodasi dalam masyarakat yang
patriarkis/homofobia, sehingga perlu diperjuangkan. Meskipun
demikian, retorika politis berbasis identitas tidak selalu bersifat
emansipatif, tapi juga bisa sangat konservatif. Menurut Gupta,
kelompok yang memperjuangkan emansipasi umumnya mempersepsi diri
sebagai termarjinalisasi, dan menggugat untuk lebih diakui (misalnya,
minoritas etnis/ras, gender, atau orientasi seksual yang
memperjuangkan pengakuan dan haknya di tengah masyarakat umum).
Sedangkan argumentasi berbasis identitas yang bersifat konservatif
lazim ditemukan dalam konteks pertahanan status quo, misalnya ketika
masyarakat kulit putih Eropa mempersepsi diri sebagai “terancam”
oleh kedatangan imigran dari negara non-Barat. Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa aksi politis berbasis identitas sama sekali bukan
hanya wilayah gerakan kiri. Baik politik kiri, maupun kanan
(konservatif), memanfaatkan retorika serupa.
Uniknya,
terkadang kedua jenis argumentasi politis itu bercampur aduk,
misalnya ketika George Bush dan Tony Blair beretorika mengenai
perlunya melindungi budaya “kita” (Barat) dari ancaman yang
datang dari luar, namun sekaligus mengadopsi pembicaraan mengenai
pluralisme dan multikulturalisme di negara masing-masing.
3
Embodying Identity-Based Political Positions
Gupta
mengamati betapa dalam sangat banyak pembahasan seputar identitas,
perdebatan antara esensialisme dan konstruktifisme sosial dijadikan
fokus utama. Esensialisme berangkat dari asumsi bahwa identitas
manusia terdefinisikan oleh esensi tertentu dalam dirinya, alias
bersifat terberi. Misalnya, bahwa seseorang menjadi perempuan karena
memiliki rahim, vagina, dan payudara. Konstruktifisme sosial
terus-menerus mengambil jarak dari esensialisme, dan mendefisisikan
diri sebagai anti-esensialis. Namun menurut Gupta, ada elemen yang
ganjil dan mengganggu di dalam posisi konstruktifis sosial sendiri,
yaitu konsep embodiment. Meskipun identitas dianggap sebagai
konstruksi, untuk menduduki posisi politis berbasis identitas
tertentu, orang mesti embody posisi itu. Di satu sisi
konstruktifisme sosial memandang identitas sebagai sesuatu yang cair
dan terus-menerus dikonstruksi ulang, tanpa adanya esensi atau sifat
bawaan yang tertanam dalam tubuh, namun di sisi lain, orang yang
tidak secara tegas teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok
tertentu, tidak dipandang berhak untuk berbicara atas namanya (tidak
dianggap otentis). Gupta mengamati betapa ambivalensi ini melahirkan
sekian penjelasan teoritis yang kompleks yang rumit, yang menurutnya
sering kurang bisa diterima.
Logika
embodiment bermasalah menurut Gupta karena bersifat membatasi
komunikasi. Yang dianggap berhak berbicara dalam mendefinisikan
setiap posisi politis berbasis identitas hanyalah orang yang embody
posisi tersebut. Orang lain dituntut untuk menghormati posisi
tersebut, tanpa boleh ikut bersuara. Dengan demikian, yang terbentuk
adalah situasi di mana berbagai kalangan sama-sama bersuara atas
dasar identitas mereka, dituntut untuk saling mentoleransi, namun
hanya secara sangat terbatas bisa saling berdialog karena
masing-masing dianggap tidak memiliki otoritas untuk mencampuri
urusan yang lain.
Gupta
kemudian bertanya, apakah ada posisi politis berbasis identitas yang
tidak menggunakan logika embodiment? Dalam pembahasan singkat,
dia mengajukan pendapat bahwa posisi politis seperti itu memang
mungkin, dan ada. Misalnya, orang bisa menentang diskriminasi
terhadap siapa saja, atas dasar kemanusiaan secara umum, tanpa perlu
embody identitas terdiskriminasi tertentu. Atau, misalnya,
laki-laki bisa berpolitik feminis, meskipun dirinya tentu tidak
embody posisi perempuan.
4
Analogues and Equivalences
Lalu
bagaimana politik identitas tercipta, berdasarkan posisi politis
berbasis identitas tadi? Hal itu, menurut Gupta, terjadi lewat
analogi (analogues) dan ekuivalensi (equivalences).
Gupta menganalisis tulisan-tulisan yang digunakan untuk
mengkonstruksi dan mendasari politik identitas secara teoritis.
Menariknya, kata “analogi” dan “ekuivalensi” sendiri justru
hampir tidak pernah muncul di situ. Hal itu terjadi karena, menurut
Gupta, logika analogi dan ekuivalensi memang disamarkan atau tidak
disadari.
Lewat
sekian konsep teoritis yang belakangan ini semakin menjadi mode,
berbagai posisi politis berbasis identitas disejajarkan dan
dihubungkan satu sama lain, tanpa mengganggu logika embodiment.
Gupta mengklasifikasinya menjadi tiga jenis konsep:
Pertama,
in-between terms. Contohnya, koalisi, pluralisme, keberagaman
(diversity), perbedaan (difference). Menarik diamati
bahwa kini dalam wacana teoritis (maupun wacana publik), kata-kata
seperti itu sering muncul tanpa penjelasan lebih spesifik.
“Menghormati perbedaan”, misalnya, menjadi anjuran yang sangat
biasa, tanpa ada yang bertanya “perbedaan antara apa atau siapa?”
Dengan cara seperti itu, secara implisit berbagai posisi politis
berbasis identitas disejajarkan (ditempatkan sebagai analog, i.e.
serupa, dan ekuivalen, i.e. setara). Gupta melacak betapa teori-teori
kontemporer digunakan sebagai dasar untuk memberi validitas terhadap
konsep tersebut. Salah satu contoh adalah konsep Derrida mengenai
differance. Dengan merujuk pada konsep semacam
itu, perayaan atas “perbedaan” mendapat nuansa radikal dan
canggih.
Retorika
mengenai pluralisme atau keberagaman menjadi sangat dominan, sehingga
bahkan pemikir yang pada intinya berangkat dari konsep yang
bertentangan (berbicara tentang nilai universal, misalnya), merasa
perlu mengakomodasinya. Hal itu tidak jarang menghasilkan teori yang
penuh pertentangan.
Kedua,
encompassing terms. Contohnya adalah kata “identitas”
sendiri, juga multikulturalisme dan gerakan sosial. Dengan penggunaan
istilah-istilah yang sama ini untuk membahas fenomena-fenomena yang
berbeda (gender, warna kulit, orientasi seksual, dst; gerakan
gay/lesbian, perjuangan melawan penjajahan, feminisme, dst), tercipta
kesan bahwa berbagai posisi politis berbasis identitas memang
bersifat serupa (tanpa perlu ada pembuktian khusus tentang hal itu,
karena sudah terasumsikan lewat penggunaan kata yang sama).
Ketiga,
metatheoretical terms. Contohnya: pascamodernisme,
pascakolonialisme, globalisasi. Tidak bisa dikatakan bahwa teori
pascakolonial atau pascamodern didominasi politik identitas, atau
mempersoalkan identitas sebagai topik utamanya. Namun teori tersebut
menyediakan latar bagi politik identitas, misalnya lewat
pendobrakannya terhadap grand narratives. Dengan demikian,
berbagai posisi politis berbasis identitas sama-sama terkonstruksi
sebagai bagian dari sikap atau gerakan kritis yang sama.
5
Identity Politics at Work
Politik
identitas kini telah terinstitusionalisasi, bukan sekadar dalam arti
bahwa ada lembaga yang menjalankannya, tapi dalam arti bahwa politik
identitas terus-menerus terjadi lewat tindakan dan
praktek yang dianggap wajar dan menjadi kebiasaan.
Di
ranah politis, menurut Gupta pada masa kini apa yang disebut politik
kiri pada dasarnya adalah politik identitas. Latar belakangnya adalah kemunculan gerakan kiri baru setelah gerakan kiri marxis yang
lama dipandang tidak relevan lagi. Bagi Gupta, ini merupakan
perkembangan yang memprihatinkan, sebab politik identitas mudah
terkooptasi oleh kekuatan konservatif/kapitalis. Strategi yang umum
digunakan adalah dengan memberi ruang dan hak tertentu bagi
kelompok-kelompok berbasis identitas, sehingga semangat perlawanan
memudar. Komersialisasi juga mudah terjadi, yaitu dengan menyediakan
berbagai produk dan jasa khusus bagi anggota kelompok berbasis
identitas tertentu.
Gupta
kemudian secara singkat dan tegas merumuskan posisinya sendiri dalam
menyikapi politik identitas:
1.
Setiap ekspresi atau pemosisian politis harus bersifat terbuka,
sehingga siapa pun yang merasa berkepentingan, boleh melibatkan diri
dengannya.
2.
Tidak ada orang yang lebih memiliki otoritas, atau yang suaranya
lebih otentis daripada yang lain. Yang menjadi ukuran hanya akses
terhadap informasi, pemahaman, dan integritas.
3.
Diskriminasi dan prasangka perlu terus-menerus disikapi secara
kritis, termasuk dengan cara bersikap kritis terhadap kecenderungen
politik identitas yang dominan.
Part
II: Literary Studies
6
Theory, Institutional Matters, Identity Politics
Bagaimana
politik identitas terinstitusionalisasikan di kajian sastra? Gupta
memulai pembahasannya dengan menggambarkan situasi kajian sastra
sebelum dan di saat politik identitas mulai menjadi sangat
berpengaruh. Sejak tahun 60an dan 70an, terjadi banyak pembaharuan di
kajian sastra, akibat pengaruh teori-teori pascastruktural.
Teori-teori yang kerapkali dirujuk dengan kata
“Theory”
(huruf besar) itu membentuk sebuah metalanguage tentang
sastra, yaitu membawa
pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar mengenai sastra dan
penulisan daripada teori-teori yang ada sebelumnya. Di sini Gupta
melacak adanya dua kecenderungan yang berbeda, yang dia bahas dengan
merujuk pada dua tokoh, yaitu Paul de Man dan Edward
Said. De Man melakukan dekonstrusi, dengan melacak pertentangan dan
ambivalensi dalam teks. Baginya sastra merupakan jenis teks yang
istimewa, karena sadar akan sifat retorisnya sendiri (bukan sekadar
bertujuan menyampaikan pesan tertentu, tapi justru lebih berfokus
pada eksplorasi bahasa). Said, sebaliknya, berbicara tentang
worldliness setiap teks, yaitu bahwa di belakang setiap teks,
termasuk teks sastra, ada kepentingan-kepentingan tertentu (msl.,
kepentingan kolonial). Kedua kecenderungan
itu sebetulnya bertentangan, tapi sama-sama dipahami sebagai bagian
dari “Teori”, sehingga lama-lama
pertentangannya cenderung kurang disadari.
Perkembangan
tersebut menurut Gupta memfasilitasi pembentukan politik identitas
dalam kajian sastra. Argumentasi seputar worldliness menjadi
penting sebagai alasan mengapa kritikus sastra perlu berbicara dengan
berangkat dari basis identitas tertentu: karena karya sastra sering
bersifat rasis, kolonial, atau patriarkis, maka dibutuhkan kritikus
yang berbicara atas nama orang kulit berwarna, kaum terjajah, atau
perempuan. Namun seperti yang
dibahas di Bagian I, logika embodiment tersebut
kemudian tersamarkan oleh
penggunaan konsep-konsep anti-esensialis, yaitu konsep-konsep
pascastrukturalis yang menciptakan analogi dan ekuivalensi.
7
Self-Announcements and Institutional Realignments
Di
bab ini, Gupta membahas enam contoh buku kajian sastra untuk
mengilustrasikan wujud politik identitas dalam praktek akademis. Di
buku-buku tersebut, yang diberi perhatian oleh Gupta adalah
pengakuan-pengakuan tertentu di pinggir teks, misalnya dalam
pendahuluan, kata pengantar atau penutup. Pengakuan-pengakuan para
akademisi yang berstatus sebagai penulis buku tersebut semuanya
menyangkut identitas diri mereka masing-masing, yang dikaitkan dengan
isi buku yang ditulis. Tiga contoh mengilustasikan momen dimana
sebuah posisi politis berbasis identitas mulai di-embody, dan
tiga contoh lagi mengilustrasikan politik identitas konstruktifis
sosial dalam arti yang lebih luas.
Di
antara tiga contoh pertama, ada buku The Apparitional
Lesbian: Female Homosexuality and Modern Culture karya
Terry Castle (1993). Di
bagian awal bukunya, Castle menceritakan
betapa pada mulanya dirinya tidak
punya maksud untuk menulis buku tentang lesbian. Namun di tengah
penelitiannya dalam rangka
rencana penulisan dengan topik lain, dirinya merasa gelisah, gagal
mengawali tulisannya dengan lancar, lalu spontan mulai
menulis tentang identitas lesbian dengan nada otobiografis. Hal
itu terasa melegakan dan lebih masuk akal baginya. Dirinya sadar
bahwa tanpa diakui, topik tersebut telah lama menghantuinya. Dalam
buku tersebut, Castle kemudian melacak
ekspresi lesbianisme dalam karya sastra.
Gupta
membahas pengakuan Castle tersebut dengan menekankan betapa
logika embodiment dihadirkan
secara sangat eksplisit di situ. Disebabkan oleh identitasnya sendiri
sebagai lesbian, Castle
dipandang (atau memandang diri) memiliki kemampuan lebih untuk
membahas representasi lesbianisme dalam karya sastra. Pilihannya
untuk meninggalkan gaya kerja akademisnya yang lama, lalu
menulis dengan berangkat dari posisi dan pengalaman pribadinya,
diberi kesan otentisitas dan dirayakan
sebagai sikap yang berani dan kritis.
Sedangkan
di antara tiga contoh berikutnya,
ada buku Critical Condition: Feminism at the Turn of the
Century karya Susan Gubar
(2000). Dalam buku tersebut,
Gubar mengevaluasi perkembangan kritik sastra feminis sejak tahun
70an. Setelah feminisme berhasil diterima dan terinstitusionalisasi
dalam kajian sastra, kini perjuangan bergeser:
identitas-identitas minoritas yang lebih khusus kini perlu
diartikulasikan, seperti misalnya lesbian, atau perempuan
Afrika-Amerika. Uniknya,
seperti yang diamati Gupta, di satu sisi Gubar membahas feminisme
atas dasar identitas dirinya sebagai perempuan (sehingga merasa
berhak dan perlu berpolitik feminis), atau
dengan kata lain, dia menggunakan logika embodiment.
Namun
ketika membahas
feminisme lesbian dan feminisme kulit hitam, Gubar
agak kesulitan karena dirinya
bukan lesbian dan tidak berkulit hitam. Maka
di situ, alasan yang
diberikan adalah bahwa identitas bersifat cair dan tidak stabil, dan
bahwa kritik terhadap rasisme dan homofobia tetap sah dilakukannya
sebagai feminis. Tampak
betapa politik identitas dilakukan dengan cara menyejajarkan berbagai
posisi minoritas, dan betapa embodiment menjadi
permasalahan dalam pekerjaan tersebut.
Contoh-contoh
itu mengilustrasikan betapa kuatnya retorika yang berdasar pada
identitas dalam kajian sastra. Identitas akademisi menjadi faktor
penting, yang dipandang
memberinya otoritas
untuk berbicara tentang topik tertentu, misalnya kritikus gay bicara
tentang homoseksualitas dalam sastra, atau kritikus kulit hitam
membahas representasi ras. Pembenaran
teoritis terhadap kecenderungan tersebut, seperti yang ditunjukkan
Gupta, berusaha mempertahankan konstruktifisme sosial dengan cara
yang kerapkali bermasalah dan penuh pertentangan.
8
Theory Textbooks and Canons
Textbook (buku
ajar) merupakan genre teks yang khas, yaitu
memiliki fungsi untuk “menginisiasi” pendatang baru ke sebuah
bidang studi. Dengan demikian, buku teks berusaha menyampaikan
hal-hal mendasar yang dianggap perlu diketahui oleh siapa pun yang
ingin berkarya di bidang studi tersebut. Berdasarkan
pengamatan tersebut, Gupta meneliti beberapa textbook
kajian sastra, yaitu secara
khusus textbook yang
mengalami beberapa kali cetak ulang. Dengan demikian, tampak
dengan jelas perubahan seperti apa yang terjadi dalam beberapa dekade
ini.
Hasilnya
adalah bahwa ternyata dalam textbook-textbook yang
banyak digunakan, politik identitas semakin mendapat tempat.
Misalnya, ditambahkan bab tentang kritik
sastra queer, kulit hitam, atau
pascakolonial. Hal itu umumnya dilakukan dengan cara yang oleh Gupta,
dengan mengutip Jeffrey R. Di Leo, secara sinis disebut “cookie
cutter approach”. Kritik
sastra diajarkan dengan cara memperkenalkan sejumlah pendekatan, yang
disejajarkan begitu saja untuk dipilih sesuai kebutuhan atau
kesenangan mahasiswa/peneliti. Maka pendekatan yang berbasis
identitas pun bisa diintegrasikan dengan mudah. Hal itu tidak berlaku
untuk sejumlah kecil textbook yang
tidak memakai cookie cutter approach,
tetapi membahas kritik sastra sebagai sebuah kontinuitas perdebatan
teoritis yang saling menyambung dan saling berinteraksi, seperti
misalnya Literary Theory: an introduction karya
Terry Eagleton (1983).
Eagleton menolak untuk
mengakomodasi politik identitas saat bukunya diterbitkan ulang tahun
1993.
9
Conclusion: Questions and Prospects
Dalam
bab terakhir yang singkat ini, Gupta mempersoalkan implikasi
kecenderungan-kecenderungan yang dibahas di atas untuk institusi
kajian sastra. Sebagai pengajar di bidang tersebut, Gupta mengamati
bahwa dalam interaksi sehari-hari di jurusan Sastra Inggris pun,
politik identitas menjadi sangat berpengaruh. Misalnya, untuk
pengajaran matakuliah tertentu, atau pembimbingan tugas akhir
tertentu, dicari dosen yang identitasnya “sesuai”. Atau, dalam
interaksi di kelas, masing-masing bertindak dengan sadar akan
identitasnya: saat membahas teks tentang lesbian, misalnya, mahasiswi
yang lesbian akan merasa lebih paham dan lebih berhak bicara daripada
dosen dan teman-temannya yang heteroseksual. Dengan
demikian, praktek kritik sastra terus-menerus dikaitkan secara
langsung dengan identitas manusia yang menjalaninya. Sekian batasan
pun terus-menerus dihadirkan, dalam arti bahwa berdasarkan
logika embodiment,
manusia tertentu dianggap kurang cocok atau kurang berhak untuk
melibatkan diri secara akademis dengan topik tertentu. Itulah kritik
utama yang disampaikan Gupta dalam bukunya: Pada masa kini, relevan
dan sahnya sebuah kontribusi intelektual cenderung dinilai dengan
memandang identitas penulisnya, bukan dengan berfokus pada substansi
kontribusi
tersebut.